- Luk 5:1-11
RENUNGAN ini ditulis berdasarkan Injil hari Minggu 9 Februari 2025.
Saudara-saudari terkasih. Menarik untuk masuk dalam peristiwa yang terjadi dalam perikop bacaan Injil Lukas di atas. Ada beberapa gambaran dari peristiwa ini yang mengantar kita pada makna teologis, spiritual dan liturgi.
Perahu yang melambangkan Gereja. Yesus naik ke perahu Simon.
Simon yang akan menjadi Petrus yang kepadanya kelak dipercayakan kunci Gereja Kristus, pemimpin para Rasul. Lalu Yesus berada dalam perahu, duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu. Semua ini melambangkan sede, kursi, takhta, altra dan abone tempat di mana dirayakan dan diwartakan Sabda Allah yakni sabda kebenaran dan kehidupan kepada banyak orang.
Sangat menarik dan menggugah untuk merasakan pengalaman iman yang terjadi lewat perahu para nelayan yang mencerahi kenabian dan keagungan dari liturgi Gereja.
Jika kita mundur sedikit ke belakang, masuk dalam episod sebelumnya, ketika perahu ini melalui perjalanan yang panjang di Danau Tiberias tanpa menghasilkan apa-apa.
Kita melupakan keharuman wangi-wangian dari Gereja daripada kegagalan yang membawa bau busuk. Kita boleh berpikir dan berimajinasi. Ketika Gereja hadir tetapi membawa skandal, bau busuk, kegagalan, karena tidak membawa serta bersamanya Yesus yang senantiasa membawa keberhasilan, keharuman, sukacita dan keselamatan.
Perikop Injil di atas adalah suatu kesempatan yang mengisahkan kepada para murid dan para pengikut Yesus akan panggilan awal para rasul pertama. Di antaranya adalah Simon alias Petrus yang akan menjadi paus pertama.

Di mana Yesus menyambut dan menerima rasul-rasul yang pertama?
Di sepanjang pantai Danau Tiberias, Yesus memanggil mereka yang baru saja keluar dari kegagalan. Boleh jadi suasana kebatinan mereka diliputi keputusasaan, kelelahan, delusi. Itu karena mereka sama sekali telah gagal mendapatkan ikan.
Dari sini kita boleh menemukan kriteria-kriteria yang dapat kita katakan dengan penuh keyakinan bahwa panggilan adalah hanya merupakan kehendak Allah, gawenya Allah. Tidak ada sesuatu yang dapat dilakukan hanya dengan kebiasaan manusiawi yakni masuk dalam pribadi-pribadi manusia.
Hal ini menggarisbawahi bahwa Yesus tidak memilih Simon dan rasul-rausl pertama karena mereka itu hebat, tidak berdosa, memiliki intelektual tinggi, memiliki banyak keahlian, dan lain sebagainya. Simon yang akan memimpin Gereja, ketua dari para rasul tidak memiliki apa pun, tidak memiliki kesuksesan yang luar biasa. Namun Yesus memanggil dan memilihnya.
Keterpilihan yang imperfek, yang tidak sempurna ini dari pihak Yesus dijawab Simon dengan kepercayaan dan kejujuran. Kata Petrus menjawab Yesus: “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa. Tetapi atas perintah-Mu, aku akan menebarkan jala juga.”
Saudara-saudari terkasih.
Inilah yang dibutuhkan dan diharapkan oleh Yesus dari para murid-Nya, para pengikut-Nya dan siapa saja yang mau menanggapi penggilan-Nya. Yakni: kepercayaan kepada-Nya dan kejujuran.
Dua nilai ini menjadi penting dan harus dimiliki oleh setiap orang yang mau menanggapi panggilan Allah; untuk mau bekerjasama dengan-Nya dalam pewartaan Kerajaan Allah dari dalam perahu; dari dalam Gereja yang satu dan sama.
Bagi Yesus, keberhasilan, kepintaran, kekayaan, kehebatan bukanlah kriteria-kriteria yang utama dalam mengikuti panggilan-Nya. Kriterianya adalah kepercayaan selalu kepada=Nya dan kejujuran mengakui kekurangan, kelemahan, keterbatasan dan mau bertobat.
Teladan Bapa Serafik Santo Fransiskus Assisi
Kita bisa belajar dari Bapa Serafik yang juga menghidupkan dan memperjuangkan dua kriteria ini: kepercayaan dan kejujuran. Santo Fransiskus Assisi mempercayakan dirinya pada Allah dalam Gereja-Nya yang kudus.
Dan inilah kharisma Fransiskus Assisi dan para pengikutnya kelak: senantiasa taat kepada Gereja dan mempercayakan diri dan Ordonya dalam Gereja dan bersama dengan Gereja mewartakan Kerajaan Allah.
Fransiskus memperjuangkan kejujuran dalam perjalanan pertobatannya. Ia menyadari kelemahan dan keberdosaannya dan berekonsiliasi dengan Allah yang Ia imani mengampuni dan menghapus dosa-dosanya.
Di Poggio Bustone, Provinsi Rieti, ia berdamai dengan masa lalunya dan berdamai dengan Tuhan Maharahim yang mengampuninya. Perdamaian yang dialami oleh Santo Fransiskus membuatnya siap menjawab panggilan Allah dan menjadi pewarta sejati Injil Tuhan.
Mari para saudara terkasih, kita pun berjuang untuk menjawab panggilan Tuhan lewat mengembangkan senantiasa kepercayaan dan kejujuran. Kepada Allah, diri sendiri dan sesama dan senantiasa setia berada pada satu perahu yang didirikan oleh Yesus yakni Gereja-Nya yang kudus. Amin.