Minggu, 23 Februari 2025
1Sam. 26:2,7-9,12-13,22-23
Mzm. 103:1-2,3-4,8,10,12-13
1Kor. 15:45-49.
Luk. 6:27-38
KITA sering menemukan orang yang berbuat baik karena mendapatkan perlakuan baik.
Tindakan itu adalah hal yang wajar dan bisa serta biasa dilakukan siapa saja. Bahkan orang yang dianggap jahat pun bisa membalas kebaikan dengan kebaikan.
Ada juga orang yang berbuat baik dengan harapan mendapat imbalan. Mereka memberi dengan maksud mendapatkan kembali.
Jika kita melakukan kebaikan dengan motivasi mencari balasan, kita ini tidak berbeda dengan orang lain. Yang melakukan kebaikan karena ingin mendapatkan kebaikan orang lain.
Kebaikan sejati tidak bergantung pada keuntungan pribadi, dari balasan amal bakti yang kita lakukan melainkan berasal dari hati yang tulus.
“Kalau saja mobil saya tidak bermasalah dan masih di bengkel maka kami tidak akan terlantar seperti ini,” ujar seorang bapak.
“Semua orang mau ikut numpang mobil saya jika ada acara, dan saya dengan senang hati membawa mereka. Namun giliran saya tidak ada mobil mereka meninggalkan saya dan tidak ada satu pun yang menawarkan atau mengajak kami bersama mereka.
Banyak teman yang punya mobil namun tidak pernah mau mengeluarkan mobilnya untuk kebersamaan. Mereka keluar mobil hanya untuk keluarga mereka sendiri.
Menjadi murah hati itu tidak mudah, karena harus berkorban dan itu sangat membanggakan setiap melakukannya. Berkurban itu tentu bukan tindakan murahan.
Biarlah ‘murahan’ itu menjadi milik mereka yang nyaman dengan dirinya sendiri, tidak mau bertindak lebih untuk orang lain, tidak mau berkurban bagi sesama, atau yang hanya mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, “keluh bapak itu.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Berilah kepada setiap orang yang meminta’ kepadamu, dan janganlah meminta kembali dari orang yang mengambil kepunyaanmu.”
Tuhan menantang kita untuk memiliki hati yang murah hati, memberi tanpa syarat, dan tidak terikat pada harta duniawi.
Murah hati menjadi unsur pokok untuk menjalankan sabda Tuhan ini. Ukuran murah hatinya adalah ‘sebagaimana Bapamu murah hati adanya’.
Maka kemurahan hati itu tidak ada batasannya, karena Allah Bapa bermurah hati kepada kita melampaui kemampuan manusiawi kita untuk melakukannya.
Kecenderungan kita adalah bermurah hati dengan batas-batas atau syarat-syarat tertentu.
Tindakan murah hati ini menjadi semakin jelas bentuknya ketika berhadapan dengan orang yang tidak mampu memberi apa-apa kepada kita.
Dari dia kita tidak mendapat keuntungan apapun. Tetapi kita justru diajak untuk semakin bermurah hati kepada mereka. Justru inilah yang menjadikan tindakan kita bernilai tak terhingga.
Sementara kalau bermurah hati kepada mereka yang banyak memberi kita saja, atau bermurah hati supaya kita mendapat banyak hal dari mereka. Tindakan seperti itu bukan murah hati melainkan tindakan murahan.
Memberi dengan tulus mencerminkan kepercayaan kita bahwa Tuhanlah yang mencukupi segala kebutuhan kita.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku memberi dengan tulus atau masih mengharapkan balasan?