KECUALI “anak mami”, ada juga “anak eyang”.
Istilah ini saya pakai untuk menggambarkan pola asuh anak yang dimiliki “kakek nenek, embah, eyang, opung, oma opa”-nya. Seterusmya untuk menggantikan sebutan kakek nenek , dll dalam tulisan ini, saya sebut “eyang” saja.
“Anak Eyang” adalah suatu model pola asuh anak yang penting dan perlu kita sadari, ada dan potensi persoalannya.
Mengapa? Sebab pola asuh eyang ini termasuk pola asuh istimewa.
Anda, orangtua yang menitipkan anaknya pada eyang-nya, pernahkah bertanya: “Pola asuh eyang untuk anak kita bagaimana ya? Baik tidak untuk anak kita?”
Saya rasa sedikit saja yang bertanya-tanya dalam hatinya. Barangkali kebanyakan sudah yakin bahwa pola asuh orangtuanya sudah pasti oke, dan bisa diandalkan. Itu kan sudah terbukti berhasil untuk anak-anaknya.
Ini bukan momong anak, tapi momong cucu
Anak-anak yang diasuhnya, semua “jadi orang.” Padahal, sekurang-kurangnya ada satu hal yang penting untuk disadari. Yakni bahwa “momong anak” itu beda dengan “momong cucu“.
Pada masa lalu ketika eyang momong anak, mereka tak punya cukup waktu. Mungkin juga keuangan mereka saat itu masih serba pas-pasan. Hidup mereka masih penuh perjuangan.
Kini, ketika mereka diserahi momong cucu situasinya sudah berbeda. Mereka sudah pensiun. Hidupnya lebih santai karena tidak lagi terbebani tanggungjawab membesarkan anak-anak.
Secara finansial mungkin sudah mapan, setidaknya tidak banyak lagi pengeluaran. Artinya mereka punya waktu dan punya uang cukup untuk mengasuh cucunya.
Selain itu. kesempatan momong cucu dapat juga dimaknai sebagai kesempatan memenuhi kebutuhan batin eyang.
Salah satunya adalah kebutuhan untuk memberi silih atas kekurangan mereka dalam mengasuh anaknya dulu. Kalau ada rasa salah di masa lalu, sekaranglah saatnya untuk mengkoreksinya.
Kedua, kalau dulu gak bisa menuruti keingan anak karena keterbatasan waktu dan biaya, kini mereka pikir saat yang baik untuk menuruti keinginan cucunya. Keduanya senang. Cucu dan eyangnya senang
Ketiga, buat mereka cucu adalah hiburan hidup yang sangat menyenangkan.
Menyenangkan karena usia cucu biasanya, lagi masanya sanga kreatif, imut dan itu sungguh hiburan yang bagus buat eyang-eyang.
Secara spontan, kelihatannya ini saling menguntungkan, simbiosis mutualistis, Tetapi sebenarnya secara tidak sadar si cucu ini dimanfaatkan oleh eyangnya.
Bahasa negatifnya cucunya jadi alat pemenuhan kebutuhan batin eyangnya.
Jika benar demikian, kalau diaplikasikan pada tata nilai cinta-mencintai anak, sebenarnya, menitipkan anak ke eyang yang motivasinya “demi eyang”nya tidaklah bertanggungjawab.
Tidak bertanggungjawab kepada Tuhan dan pada anak-anak kita, bila kita tetap menitipkannya. Karena anak kita, justru jadi alat pemenuhan kebutuhan eyangnya.
Anak kita tidak lagi jadi subyek yang mesti dicintai. Maka meskipun kelihatannya mencintai cucu, nyatanya justru bukan mencintai cucu atau mecintai anak.
Orientasinya demi diri eyang, bukan demi cucunya.
Eyang biasanya tidak tegaan sama cucu
Tolong diperhatikan bentuk dan wujud cinta eyang pada anak kita. Jika Eyang tidak tegaan pada cucu yang diasuhnya, maka pola asuhnya tidak cocok untuk mencintai anak.
Sebab, eyang tersebut akan cenderung memanjakan, bukan memandirikan anak. Bila anak menangis, eyang akan berusaha keras untuk menghiburnya dan atau menuruti kemauan cucunya. Agar anak senang dan tidak nangis lagi.
Untuk itu, eyang akan menggendongnya. Akibatnya, anak lambat atau tidak bisa berjalan.
Jangan heran, jika eyang ini tidak mau makannya berantakan atau tak tega melihat cucunya kesulitan menyendok makanannya.
Kalau karenanya eyang ini akan mengambil alih proses belajar anak dengan cara menyuapi cucunya.
Padahal menangis, jatuh, sakit, gagal itu diperlukan sebagai kesempatan belajar bagi anak untuk tumbuh dan berkembang menjadi dirinya sendiri.
Di lain pihak bagi setiap anak, digendong, disuapi itu enak, menyenangkan, nyaman, maka, lain kali ia akan minta diulangi lagi.
Jika diulang-ulang lama kelamaan jadi kebiasaan. Kebiasaan yang diulang-ulang akan jadi kebenaran. Kebenaran yang diyakini dan akhirnya kan jadi karater-watak.
Bagi eyang, menggendong cucu itu memberi kehangatan, memberi peran dan kesempatan aktualisasi diri: berguna bagi orang lain maupun anak cucu.
Ini tujuannya demi eyang lagi.
Eyang yang tidak tega melihat cucunya menangis, akan mencoba cari tahu penyebabnya apa. Pikirnya: Jika keperluannya keturutan, pasti diam. Lalu eyang akan mati-matian menuruti, memenuhi keinganan anak.
Demikian apa pun keinginan cucunya akan dipenuhi. Bahkan kadang sebelum cucunya minta sesuatu, sudah ditawari atau dibelikan.
Jadi, singkatnya jika menitipkan anak pada eyangnya, sebelum, selama dan sedudahnya mesti diikuti, dimonitor terus menerus pola asuhnya. Kangen sampai orientasinya demi eyangnya.
Jangan sampai anak keblebeg cinta, karena cinta eyang cenderung memanjakan anak.
Tentu saja tidak semua eyang demikian.
Karena itu, jika kita tidak punya pilihan. selain harus memitipkan anak pada eyangnya, sebaiknya mesti dibuat semacam kesepakatan bersama sebelumnya.
Misalnya: Temani cucu untuk belajar mandiri. Maka cucu tidak boleh dimanja. Tidak digendong- gendong terus. Latihan makan sendiri, bukan disuapin. Boleh nangis, kecewa, kotor, lecet, jatuh, salah dll.
Tidak semua keinginan, kemauan hsrus dipenuhi. Biasakan tidur sendiri, bukan dikeloni. Sejak kecil mesti belajar disiplin, bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya.
Berilah contoh kata dan perbuatan: berterimakasih, permisi, bolehkah, minta dan memberi maaf.
YR Widadaprayitna
Baca juga: Mutiara Keluarga – Anak Mami