DI tulisan sebelum ini, saya sampaikan bahwa sebaiknya kita menghindari makan dan minum yang mendung 3P: pemanis, pewarna, dan perasa. Sekarang ini saya mau tambahkan 1P lagi yang juga tidak sesuai dengan perkembangan tubuh kita. Yaitu, pengawet.
Pernahkah Anda berpikir sekarang ini, ada berapa macam pengawet yg digunakan untuk mengawetkan makanan dan minuman yang beredar di masyarakat kita? Di zaman dulu, orang tak butuh pengawet. Kalau pun ada, sifatnya masih serba alami. Misalnya dengan garam (ikan asin, telur asin), dengan dikeringkan (padi, jagung, tembakau, krupuk) dll.
Kini, seiring perkembangan iptek dan kebutuhan perut manusia, pengawet alami dirasa tidak mencukupi lagi. Oleh karena itu, orang beralih ke pengawet non alami. Dan ini persis masalahnya.
Ketika orang menyantap yang serba alami, relatif tanpa masalah, sebab alam punya hukumnya sendiri. Pengawet alami tidak serta-merta ada efek samping yang membahayakan. Sedangkan pengawet non alami, dampak buruknya -kalau tidak mengancam tubuh- ya membahayakan kita.
Sekarang ini, ketika hidup orang semakin jauh dari yang alami, manusia juga semakin bernafsu serakah untuk dirinya. Padahal kehidupan alam selalu mengarah keluar dari diri demi perkembangan seluruh alam ciptaan. Akibatnya, orang dan hidupnya makin tidak terkendali. Tak usah heran kalau orang yang mengkonsumsi bahan pengawet lewat menyantap makanan dan minuman secara tidak wajar, berkelebihan, justru hidupnya semakin tidak awet. Artinya, tujuan mengawetkan makanan dan minuman mungkin tercapai, tapi akibatnya justru malah tidak mengawetkan hidup dan kemanusiaannya.
Pertanyaannya, menghadapi kenyataan tersebut, lantas bagaimana kita mesti mensikapinya?
Barangkali cerita pengalam saya ini dapat dijadikan inspirasi atau comparasi. Tentu Anda juga punya jauh lebih banyak pengalaman juga. Setidaknya itulah kenyataan yang kami lakukan dalam hidup kami.
Pengalaman pribadi di keluarga saya, kami memilih melakukannya demikian. Kami memilih apa yang dapat lebih mengawetkan hidup dan kehidupan kami daripada apa yang mengawetkan makanan, minuman.
Kesatu, kami mengutamakan mengkomsumsi makanan/minuman alami yang masih segar. Kedua, kami meminimalisir konsumsi makanan/minuman atau jajanan dalam kemasan atau frozen-an. Kalau tak punya pilihan, dan harus menyantap makanan/minuman yang diawetkan secara non alami, dan kami yakini “kurang sehat,” maka sesegera mungkin kami imbangi dengan makan sehat alami.
Misalnya dengan memperbanyak makan sayur dan buah-buahan. Prinsipnya tubuh harus optimal sehat. Demikian sehingga kalau ada asupan yang kurang sehat, masih bisa ditangkal oleh daya sehat di dalam tubuh kita.
Yang ketiga, kami semaksimal mungkin menjalani dan menghyati doa Kristiani yakni Bapa Kami, khususnya bagian “Berilah kami rezeki, cukup untuk hari ini”. Yang untuk besok, itu urusan Tuhan. Yang pentimg kami terus-menerus berusaha berkanjang dalam upaya dan doa.
Doa yang muncul dari keyakinan iman: “Kasih-Nya cukup untuk hidup dan pengutusan yang dipercayakan Tuhan pada kami. Yakni dengan hidup sahaja dan berimankan kasih penyelenggaraan-Nya.”
Iman yang demikian mestinya berlaku untuk semua agama. Artinya, apa pun agamanya, asal dapat menghayati iman bahwa Tuhan memberi rezeki cukup untuk hidup kita. Di zaman nomad, ketika orang hidup berdasarkan dan menjaga alam, bukan merusak alam, terbukti bahwa alam menyediakan lebih dari cukup.
Walaupun St. Ignatius mengajarkan: “Tidak menginginkan hidup panjang, melebihi hidup pendek, asalkan Tuhan lebih dimuliakan dalam hidup kita. Namun usaha haruslah tetap optimal dilakukan. Jika sudsh demikian, cinta dan rahmat-Nya, cukuplah untuk kita. Lainnya Tuhan yang akan menyediakan dalam hidup dan pelayanan kita.”
Jika Anda berkenan dengan tulisan ini, dan ingin membagikannya, monggo silakan. Terimakasih.
Jika Anda berkenan dan tergerak hati untuk menanggapi goresan ini, kami tunggu dengan senang hati. Terimakasih sebelumnya.
YR Widadaprayitna
H 240501 AA