DALAM tiga hari terakhir ini telah ramai diperbicangkan bahwa sudah muncul sebuah ‘stasiun televisi katolik’. Menurut berita-berita yang isinya kurang akurat itu, ‘stasiun televisi katolik’ itu bernama Televisi Gereja Katolik Indonesia.
Itu jelas merupakan sebuah istilah yang salah kaprah dan tidak tepat. Bisa jadi, itu karena si penulis berita tidak mengerti persis bagaimana tata kelola pemerintahan Gereja Katolik. Begitu ada siaran audio-visual –sebuah saja ‘televisi’– yang merilis konten materi siarannya dengan menu-menu katolik, maka atas nama ketidaktahuan itu sang penuis berita dengan gampangnya mengatakan “Televisi Gereja Katolik Indonesia”.
Yang benar adalah “HIDUP TV”
Jadi, yang benar terjadi dan sudah ada adalah “HIDUP TV”, sebuah program siaran audio visual yang diproduksi oleh dapur Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) Keuskupan Agung Jakarta. Siaran-siaran bermateri khas katolik berupa renungan dan lain-lainnya itu bisa dinikmati secara visual berikut suara audionya melalui streaming dan dengan media TV konvensional dengan parabola mini KU-Band. Dengan demikian, hanya dengan ketersediaan jaringan internet dan antene khusus itulah, maka tayangan format audio-visual “HIDUP TV” itu baru akan bisa dinikmati pemirsa.
Tidak ada pembangunan tower antene “HIDUP TV”; pun pula juga tidak ada ‘kantor berita televisi’ katolik.
Sekali lagi, nama resminya adalah “HIDUP TV” dan bukan “Televisi Gereja Katolik Indonesia”.
Mencampuradukkan dua hal berbeda
Mengapa kami menganggap penting mengemukakan nama resmi siaran audio-visual dengan materi-materi khas katolik melalui jalur streaming dan media antene parabola mini KU-Band ini?
Kami berharap jangan sampai terjadi pemikiran salah kaprah. Yakni, dengan mencampur-adukan sebuah produk tayangan audio-visual yang dihasilkan oleh Komisi Komsos KAJ –yang tentu saja jelas katolik—dengan lembaga gerejawi bernama Gereja Katolik. Apalagi lalu ditambahi label lebih resmi: Gereja Katolik Indonesia.
Tata kelola pemerintahan gerejawi mengakui apa yang sering disebut ‘gereja lokal’ dan itu adalah keuskupan-keuskupan dengan Uskup sebagai pemimpin umat katolik ‘gereja lokal’ tersebut. Masing-masing keuskupan secara mandiri mengurus umat katoliknya dengan kepemimpinan Bapak Uskup yang juga mandiri memimpin umatnya.
Jadi, Keuskupan X –misalnya—tidak punya kuasa dan kewenangan apa pun untuk campur tangan dan mengatur –misalnya—Keuskupan Y.
Uskup Keuskupan X adalah ‘penguasa tunggal’ di keuskupannya dan begitu pula Uskup Keuskupan Y dan seterusnya.
KWI bukan lembaga super body
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) bukanlah lembaga ‘super body’ yang membawahi semua keuskupan di Indonesia. Melainkan, KWI hanyalah forum konferensi (berembug bersama, berkoordinasi bersama) agar masing-masing Uskup bisa saling bekerjasama dan saling membantu dan mendukung dalam tugasnya masing-masing memimpin umat dan ‘gereja lokal’ di wilayah territorial gerejani masing-masing (baca: keuskupannya).
Jadi, kalau kemudian muncul istilah “Televisi Gereja Katolik Indonesia” dalam sebuah laporan berita, sudah pastilah itu merupakan istilah yang salah kaprah dan tidak pada tempatnya.
Sekali lagi, namanya adalah “HIDUP TV” karena materi ‘siarannya’ diproduksi oleh Komisi Komsos KAJ. Namanya bukan “Televisi Gereja Katolik Indonesia”.
dear editor, istilah yg benar “gerejawi”
salam
terima kasih atas atensinya
Hendaknya Hidup TV dpt diterima di digital TV…melalui open box…. seperti TV Mu dsb