KOMUNITAS Relawan Grigak Napak Tilas Rama Mangun, hari Sabtu, 21-22 September 2019 berada di Grigak. Kegiatan ini merupakan orientasi kepada anggota baru Komunitas Relawan Grigak.
Inisiasi ini memang sengaja dilaksanakan di Grigak dengan kemasan semangat Rama Mangun yang senantiasa membara melalui Napak Tilas Rama Mangun, sejak Sabtu, pukul 14.00), sebelum akhirnya dirangkai dalam bingkai refleksi Ignatian.
Desain refleksi Ignatian ini menggunakan tiga panduan pertanyaan yaitu:
- Apa kesan Anda mengikuti rangkain dinamika Komunitas Relawan Grigak dan Napak Tilas Rama Mangun?
- Mengapa Anda tertarik dengan kesan teman terhadap rangkain dinamika Komunitas Relawan Grigak dan Napak Tilas Rama Mangun?
- Bagaimana Anda melukiskan simbol diri Anda setelah mengikuti rangkain dinamika Komunitas Relawan Grigak dan Napak Tilas Rama Mangun? Dengan macam-macam kesan yang dibagikan dalam lingkaran refleksi Ignatian,
Berikut ini adalah kesan-kesan Anggota Komunitas Relawan Grigak.
“Kuliah dan mengabdi kepada sesama menjadi satu bagian yang takkan terpisahkan dari Komunitas Relawan Grigak. Kegiatan komunitas ini adalah memanusiakan manusia.” — Aldi
“Kebersamaan saat Napak Tilas Rama Mangun menambah keakraban dan adanya niatan saling membantu satu sama lain.” — Haripina
“Saya merasa hebat dan senang menjadi anggota Relawan Grigak karena komunitas ini mengumpulkan mahasiswa-mahasiswa dari ras yang berbeda. Di Grigak kita bekerja sama untuk mewujudkan cita-cita Romo Mangun.” — Rinto
“Kagum dengan karya dan semangat Romo Mangun. Kekaguman ini karena Romo sebelumnya sudah bisa memikirkan potensi seperti apa yang ada di Grigak. — Arni
“Secara jujur, saya mau mengatakan bahwa demi mengikuti kegiatan Komunitas Relawan Grigak ini, khususnya Napak Tilas Rama Mangun, saya rela tidak kuliah dan absen turnamen futsal. Kebersamaan dengan seluruh Anggota Relawan membuat saya begitu terkesan. Dan kebahagiaan saya adalah kalian semua anggota Komunitas Relawan Grigak.” — Velix
“Saat sampai di Grigak, saya merasa berada di rumah sendiri. Perimaan dari warga dan anak² dgai Dusun Karang yang luar biasa.” Intinya, saya merasa mendapatkan keluarga baru yang berbeda dari tempat asal.” — Febi
“Hati saya sudah tertanam dan nyaman di Grigak melalui komunitas ini.” Serly
Bergitulah ungkapan beberapa anggota Komunitas Relawan Grigak saat membagikan kesannya setelah mengikuti Napak Tilas Rama Mangun.
Cinta segitiga
Grigak, Pedukuhan Karang, dan Rama Mangun adalah cinta segitiga yang tidak dapat dipisahkan.
Pantai Grigak menyediakan mata air di bawah tebing, Warga Pedukuhan Karang menjadi komunitas yang menjadi saksi kemurahan alam dan karya Dharma Bakti Rama Mangun, dan Rama Mangun adalah Manusia yang membantu sesama manusia di Grigak.
Demikianlah ilustrasi yang tepat saat membuat konklusi dari cerita Mbak Sukirno (Pelayan Rama Mangun di Grigak).
Sejak matahari berada arah di pukul 09.00 (Sabtu, 21 September 2019), Anggota Relawan Grigak sudah berkumpul di Realino, Kampus II Universitas Sanata Dharma. Bara semangat Rama Mangun untuk berdharma bakti berhasil mengumpulkan Anggota Relawan Grigak melalui berkas-berkas sinar mentari di antara sela-sela daun mahoni yang berbaris rapi tepat di garis luar Lapangan Realino. Titik kumpul itu mengindikasikan bahwa semua anggota Komunitas sebaiknya melakukan breafing terlebih dahulu dan berdoa bersama sebelum detik berdetak pada pukul 10.00 yang adalah waktu keberangkatan ke Grigak.
Adalah Rama Y.B. Mangunwijaya, Pr. yang telah berhasil merajut persahabatan yang sangat harmonis dengan Warga Pedukuhan Karang bahkan semua makhluk hidup di Grigak.
Tokoh nasional ini menunjukkan semangat yang bernyala-nyala dalam berdarma bakti demi pencapaian martabat umat manusia. Kisah inspiratif Rama Y.B. Mangunwijaya, Pr ini akan menjadi ilham yang akan senantiasa membakar semangat Anggota Relawan Grigak agar bara semangat dalam berdarma bakti tetap terasa bernyala.
Dr. Ir. Paulus Wiryono Priyotamtama SJ pernah mengungkapkan bahwa Relawan Grigakadalah tim yang sungguh-sungguh dipersiapkan untuk mendampingi Karang Taruna Catur Manunggal dan warga Pedukuhan Karang dalam mengelola, menata, dan merawat Eco-Camp “Mangun Karsa” Grigak.
Sebagaimana terdapat pada sebuah kutipan isi makalah dalam Seminar Ignatian bertajuk Spirituality ss Spirituality, Sebuah Cara Untuk Memeluk Dunia Ramai Dengan Penuh Harapan (2006), Dr. Ir. Paulus Wiryono Priyotamtama SJ juga mengungkapkan demikian.
“Kekuatan baiklah yang kita gali dari api yang diharapkan masih tetap bernyala dalam diri kita masing-masing. Semoga spiritualitas Ignatian bisa kita dijadikan alat penghembus agar api itu tetap bernyala bahkan tambah berkobar.”
Kegitan Napak Tilang Rama Mangun ditemani oleh Mbah Sukirno menyusuri jalan setapat terjal, curam, dan di antara tebing dan hutan. Terkadang kami bertemu dengan kera-kera, terkadang juga kami menemui sarang landak di sebuah gua berlorong di bawah deretan tebing.
Mbah Sukirno begitu emosional menemani Napak Tilas ini. Bak berjalan bersama Rama Mangun sekitar tahun 1987 silam. Banyak kisah yang dikisahkan, terutama saat Rama Mangun jatuh tergelincinr di jalan curam di antara semak-samak.
“Waktu itu Rama Mangun sedang bersemangat menanam pohon, tiba-tiba Rama tergelincir dan terguling ke bawah di antara semak-semak. Akhirnya saya langung membantu pindah ke tempat aman, namun karena Rama tidak sanggup berjalan, saya bergegas ke kampung untuk memanggil warga agar bisa menggotong Rama ke perkampungan Karang, kemudian dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih,” tutur Mbah Sukirno.
Sekitar 100 meter jarak tempuh, di bawah pohon-pohon yang telah menggugurkan daun-daunnya dan aroma rerumputan kering yang telah dibakar, anggota Relawan Grigak hampir tiba di Pantai Grigak.
Terlihat masing-masing Anggota Relawan Grigak mulai mengeluarkan telepon pintardemi mengabadikan sesuatu di ujung jalan sebagai hasil perjalanan yang beralaskan bara semangat Rama Mangun.
Bekas pondok Rama Mangun, tebing-tebing menjulang, karang-karang berjejeran di bibir pantai, dan deburan ombak menampar karang sembari membelai aneka biota laut di pantai Grigak.
Hembusan angin dari samudera berhasil menepis keringat anggota Relawan Grigak yang terkuras dalam Napak Tilas. Namun perjuang itu benar-benar terbayarkan oleh hamparan pemandangan laut terlepas bebas.
Kesibukan ombak menari di antara deretan karang menampilkan sebuah tarian penyambutan yang berkesan. Beberapa anggota Relawan Grigak mengabadikan kesibukan para anggota relawan yang berfoto ria di antara karang tanpa takut mungkin mereka akan basah oleh deburan ombak.
Di tengah euforia itu, Mbah Sukirno menunjukkan sumber mata air di bawah tebing sembari mengisahkan lagi tentang Rama Mangun yang bekerja sama dengan Warga Pedukuhan Karang untuk membuat akses jalan menuju sumber air.
“Dulu, warga saya mengambil air di sini, jika laut sedang surut. Tetapi harus berhati-hati karena harus melangkah di atas karang-karang yang penuh dengan lumut. Kemungkin besar kita bisa tergelincir dan jatuh,” paparnya.
“Ketika Rama Mangun datang, dia mengajak warga saya untuk membuat jembatan kayu di sepanjang tubuh tebing untuk sampai ke sumber mata air. Namun ketika ombak menghantam, jembatan kayu itu ambruk semuanya. Akhirnya kami berdiskusi dengan Rama Mangun untuk membuat jembatan dengan bahan semen, pasir, dan batu-batu di pantai,” kata Mbah Mangun lagi.
“Rama Mangun menggunakan penghasilan dari menulis buku untuk membeli btahan-bahan itu. Tiba-tiba sudah ada puluhan sak semen dan pasir. Akhirnya saya dan warga saya mengantar pasir dan semen dari Pedukuhan sampai ke Pantai Grigak dengan cara dijinjing. Kami mengerjakan jembatan di sana (arah sumber mata air Pantai Grigak) dengan gaya arsitektur Rama Mangun. Tetapi jembatan itu rusak lagi ketika gempa tahun 2006. Selain gempa, ada tragedi ombak dasyat di Pantai Selatan yang meruntuhkan semua bangunan jembatan itu,” demikian Mbah Sukirno mengisahkan babak sejarah.
Perjalanan Napak Tilas itu dilengkapi dengan diskusi Anggota Relawan Grigak bersama Mbah Sukirno. Tenyata tidak semua anggota Relawan Grigak mengenal tokoh Rama Mangun.
Apalagi karya-karya Rama Mangun termasuk karya sunyi di Grigak.
Terlepas dari ketidaktahuan beberapa anggota Relawan Grigak, Mbah Sukirno menjelaskan bahwa Rama Mangun ke Grigak tanpa ada misi menyebarkan agama Katolik, bukan karena Rama Mangun seorang pastor.
“Meskipun waktu itu masjid di Pedukuhan Karang masih dalam tahap pembangun, Rama Mangun selalu mengikuti saya sebagai Dukuh dalam pertemuan-pertemuan di Balai Pedukuhan. Di sana, Rama mengatakan bahwa dia adalah seorang pastor Katolik, tapi di Grigak ini, dia adalah seorang manusia yang mau membantu sesama manusia. Baik atau buruk itu adalah orangnya, bukan agamanya.” Mbah Sukirno.
Di akhir kisahnya, Mbah Sukirno mengisahkan bahwa Rama Mangun jarang makan nasi.
“Rama Mangun selalu memberikan saya uang untuk membeli kentang, sayuran, dan cabe. Rama hanya makan nasi dua kali dalam sepekan. Kadang kala Rama Mangun makan tiwul dengan sayur pepaya dan daun singkong yang direbus.”
Hadiah Napak Tilas Rama Mangun semakin semarak ketika anggota Relawan turun lagi ke pantai untuk menyentuh lembutnya pasir dan bersua dengan gulungan-gulungan ombak Pantai Grigak.
Akhirnya semua anggota harus menaiki anak sekitar 250-an dari bekas pondok Rama Mangun sampai ke area parkiran Eco-Camp “Mangun Karsa,” setelah puas menikmati jejak-jejak karya Rama Mangun.
Di tengah pendakian itu, tepatnya di sisi kira-kanan anakan tangga itu, ada dua kolam renang yang dikerjakan Anggota Relawan Grigak dan Karang Taruna Catur Manunggal Dusun Karang.
Sebelum sampai ke area parkiran, ada gardu pandang yang menyediakan pemandangan yang tak kalah menarik. Di sini, sekali lagi alam mengelarkan tontonan samudra lepas dengan tebing-tebing membentang rapi di ujung Pantai Grigak hingga Pantai Kesirat.
Terkadang Tuhan sengaja memamerkan karya-NYA, agar kita belajar tentang Bersyukur dan Mengabdi.
“Menuntut ilmu dan mengabdi kepada rakyat bukanlah dua perkara yang sepantasnya dipisah-pisahkan” — Rama Mangun dalam Burung-Burung Manyar
Grigak, 22 September 2019 – CorMa HuLK
Gambar 1: Kembersaman Mbah Sukirno dan Anggota Komunitas Relawan Grigak
Gambar 2: Napak Tilas Rama Mangun di Grigak
Gambar 3: Mbah Sukirno mengisahkan Rama Mangun, Pedukuhan Karang, dan Grigak.