KEHENINGAN Perbukitan Menoreh terusik oleh suara keceriaan anak-anak. Langkah-langkah kecil mereka menyibak rumput dan dedaunan kering sepanjang jalan setapak. Tapak-tapaknya menyatu erat dengan tanah-tanah padas. Tetumbuhan hijau menyambutnya ramah mempererat persahabatan manusia dan alam.
Mengenakan pakaian ala Jawa dan tongkat, lebih 250 peserta yang terdiri anak, guru, karyawan Sekolah Yayasan Kanisius cabang Magelang, dan para peminat lain mengikuti laku Napak Tilas Barnabas (NTB), Minggu (20/5).
Kegiatan laku tahunan SD Kanisius Kenalan ini diselenggarakan untuk memperingati pembaptisan Barnabas Sarikrama, Katekis Pertama Kalibawang 20 Mei 1904. Kali ini, kegiatan NTB ditempatkan pula dalam rangka merayakan syukur jelang 100 tahun berdirinya Yayasan Kanisius.
“Masih jauhkah Sendangsono, titik terakhir Napak Tilas Panjang ini?”,tanya Ibu Tria salah seorang ibu guru dari SMPK Temanggung selepas melewati titik perhentian kedua yang kira-kira baru sepertiga perjalanan. Laku NTB ini menempuh sejauh 4km jalan setapak menurun di sebagian lereng bukit Menoreh.
Alur perjalanan yang cukup panjang dan sulit menjadi tantangan tersendiri bagi para pelaku NTB. Kebersamaan dan keceriaan pelaku menghapus rasa lelah dalam menempuh laku panjang ini. Tenaga dan stamina pelaku terjaga dengan istirahat beberapa saat di empat perhentian.
Pada setiap titik perhentian itu, para pelaku NTB mendengarkan kisah Barnabas Sarikrama yang disajikan oleh anak-anak Republik Anak Kenalan, SD Kansius Kenalan. Diawali pengantar dari punakawan yang sekaligus pemandu kelompok, dilanjutkan dengan tuturan penggalan kisah, diakhiri dengan doa permohonan menggenapi laku Napak Tilas ini hingga di titik perhentian terakhir Sendangsono.
Barnabas Katekis Kalibawang
Barnabas Sarikrama dikenal sebagai katekis pertama di Kalibawang. Beliau berperan penting dalam peristiwa pembaptisan 171 orang di Sendangsono pada 14 Desember 1904. Baptisan pertama di Kalibawang ini merupakan tanda kebangkitan misi di Jawa, dan titik awal berkembangnya Gereja Katolik di Keuskupan Agung Semarang.
Berkat perjuangan Barnabas Sarikrama, Paus Pius XI menganugerahi Barnabas Sarikrama bintang emas “Pro Ecclesia et Pontifice” pada perayaan pesta Perak Misi Jawa pada tahun 1929. Penyematan bintang dilaksanakan bersamaan dengan pemberkatan Goa Maria Lourdes Sendangsono, 8 Desember 1929. Dialah orang pertama Indonesia yang mendapatkan penghargaan dari Paus.
Sebelum peristiwa baptisan pertama itu, Sarikrama yang punya nama kecil Sariman dibaptis menjadi Katolik oleh Romo Van Lith di Muntilan pada tanggal 20 Mei 1904. Tiga tokoh lain yang turut serta dibaptis adalah Lukas Surotirto (mertuanya Barnabas), Markus Sukadrana, dan Yokanan Surowijaya.
Baptisnya Barnabas Sarikrama berawal dari luka kakinya yang tidak kunjung sembuh. Suatu ketika, ia mendapat petunjuk untuk berobat ke Muntilan, arah ngalor ngetan (utara timur atau timur laut). Pergilah ia dan akhirnya dijumpailah Bruder Kersten, SJ. Berkat doa dan pelayanan Bruder Kersten, kakinya sembuh. Kakinya yang sembuh dari lukanya menumbuhkan tekadnya untuk melayani Tuhan. “ Tuhan telah membuat aku bisa berjalan lagi dengan kakiku, sekarang kakiku harus kupergunakan untuk melayani Tuhan.”
Sejak saat itu, Barnabas Sarikrama memperdalam iman katolik dan mewartakannya bersama ketiga tokoh lainnya. Pengikutnya semakin banyak dan mereka menyediakan diri dibaptis.
Ngrukti Wiji Angesti Suci
Tergerak oleh peran Barnabas Sarikrama sebagai katekis, SD Kanisius Kenalan berupaya menggali dan mengumpulkan kisah hidupnya. Pilihan hidupnya untuk melayani Tuhan secara total merupakan warisan keutamaan tersendiri, khususnya dalam hal mengembangkan agama dan iman katolik di Kalibawang dan sekitarnya.
Maka, dalam rangka peringatan 100 tahun Yayasan Kanisius ini, tidak berlebihan bila kita bersyukur atas gerakan iman yang telah berkobar berkat karya misi Romo van Lith, SJ dan perjuangan Barnabas Sarikrama untuk hanjumenengaken Kraton Dalem. Perjumpaan keduanya berbuah rahmat bagi perkembangan Gereja dan pendidikan katolik.
Napak Tilas Barnabas Sarikrama telah menginspirasi terbangunnya komunitas Barnabas, Barisan Anak Pembawa Sukacita. Keutamaan-keutamaan hidup beriman Barnabas Sarikrama perlu diwartakan dengan penuh suka cita kepada siapapun. Dan, semoga anak-anak penerus bangsa ini semakin mampu hidup sebagai saksi Kristus dalam satu Barisan Anak Pembawa Sukacita (Barnabas).
Keutamaan hidup Barnabas Sarikrama antara lain cerdas, prihatin; bersedia hidup susah, tekun, berbagi, melayani, beriman percaya, kerjasama, berani, berjuang, peduli, sederhana, rendah hati, bertanggung jawab, mandiri, dan jujur.
Keutamaan-keutamaan hidup itu menjadi pegangan untuk hidup dalam terang. Terang itu adalah berkembang dan tegaknya Kerajaan Allah melalui karya Kanisius yang telah memasuki 100 tahun ini. Maka, tema yang diangkat adalah Ngrukti Wiji, Angesthi Suci, yang dapat dimengerti, merawat bibit keutamaan yang telah berkembang demi mekar dan kuatnya Gereja Suci.
Laku Belajar Menyenangkan
Para pelaku NTB yang datang dari berbagai penjuru kota Magelang, Temanggung, Semarang, Muntilan, dan Yogyakarta semula khawatir dengan stamina tubuhnya untuk sampai di titik perhentian terakhir. Namun, dalam napak tilas ini, rasa lelahnya terobati oleh udara segar pedesaan sepanjang perjalanan. Pemandangan hijau kiri kanan jalan setapak memberikan energi tersediri hingga berakhirnya perjalanan.
Hal lain yang didapat dalam napak tilas ini adalah pengetahuan baru sejarah singkat hidup Barnabas Sarikrama yang inspiratif. Perjuangan hidupnya sebagai katekis pada awal tahun 1900 an telah menumbuhkan komunitas katolik di Keuskupan Agung Semarang. Setia mewartakan kabar sukacita kepada siapapun selalu relevan sampai kapanpun untuk mengembangkan kehidupan berbangsa dan menggereja yang penuh damai.
Bagi anak-anak dan remaja, perjalanan laku ini menjadi alternatif cara belajar yang kontekstual dan menyenangkan. Kisah dan cerita tokoh inspiratif dipahami melalui tindakan dan bukti bukti yang masih ada. Secara langsung, mereka mengenali, memahami tokoh yang bersangkutan melalui sumber-sumber belajar yang autentik. Mereka juga mengkomunikasikan pengetahuannya kepada sesama pembelajarnya lebih ekspresif dan kreatif.
“Kegiatan ini inspiratif; ada muatan rohani, wisata alam yang menyenangkan, dan ada sisi edukatifnya, ditambah anak-anak cukup percaya diri ”, kesan singkat Ibu Ika Wardhani salah seorang pelaku NTB dari Semarang usai kegiatan yang ditutup dengan Ekaristi Syukur di Sendangsono.