Renungan Harian
Rabu, 27 April 2022
Bacaan I: Kis. 5: 17-26
Injil: Yoh. 3: 16-21
SUATU siang, saya menerima tamu pasangan suami isteri dan puterinya. Saat bertemu dengan pasangan suami isteri itu, saya melihat wajah bapak itu nampak seperti seorang yang menahan marah, sedang ibu itu matanya sembab, sementara anak perempuan itu wajahnya nampak dingin.
Saya menyapa mereka dengan senyum dan berusaha untuk mengusir ketegangan di dalam diri saya.
“Romo, saya tidak tahu harus ngomong apa dengan anak saya ini. Saya mohon nasihat romo untuk dia,” kata bapak itu dengan nada yang datar.
“Lho, ada apa mbak? Kok harus romo yang menasihati?” tanya saya dengan senyum.
“Sok (silahkan) kamu cerita sama romo,” bapak itu menyuruh anak perempuannya. Namun anak perempuan itu diam tetap dengan wajah yang dingin.
“Romo, saya bingung, sedih dan pengin marah, rasanya. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba anaknya bilang kalau mau menikah. Kami berdua orangtua ini belum tahu siapa dan yang mana calonnya. Tidak ada pembicaraan apa pun sebelumnya dan kemarin pulang langsung ngomong mau nikah.
Saya tanya laki-laki ini orang mana, kerjanya apa, dia tidak mau menjawab. Saya minta laki-laki itu untuk datang lebih dahulu, katanya tidak perlu. Romo, kami orangtua ini jadi bingung, ini mau nikah model apa?” bapak itu menjelaskan.
Saya sendiri sungguh-sungguh bingung tidak mengerti harus berbuat apa, karena anak perempuan itu tidak mau menjawab sepatah kata pun.
Ia hanya diam dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Kemudian saya bicara berdua dengan orangtuanya, untuk mencari tahu lewat teman-temannya yang ada di kota tempat anak perempuan itu kuliah.
Sebulan kemudian bapak itu menemui saya kembali dan mengatakan bahwa anak perempuannya sekarang tinggal di rumah. Bapak itu bercerita bahwa anaknya masuk dalam sebuah kelompok atau aliran tertentu yang aneh dan tidak jelas.
Beberapa anak perempuan sudah menjadi “korban” menjadi isteri dari anggota kelompok itu. Modusnya sama yaitu nekat, dan setiap ketemu orangtua hanya diam, tidak menjawab agar tidak ada banyak pertanyaan.
Artinya pokoknya nikah dan tidak membutuhkan orangtuanya. Dan beberapa kejadian biasanya tidak lama perempuan itu akan diceraikan.
Bapak itu bersyukur bahwa anaknya dapat “diselamatkan”, meski untuk beberapa saat masih harus didampingi seorang psikolog.
Mendengar cerita bapak itu, saya merasakan sebuah kengerian yang mendalam. Saya tidak mengerti itu kelompok apa dan tujuannya apa tetapi menurut saya ada “kejahatan” yang dibuat.
Modus diam seribu bahasa untuk memaksakan kemauannya menjadi cara menutupi ketidakjelasan akan banyak hal.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Yohanes: “Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak.”