SERING melihat Pak Wiwoho bertugas di depan kamar tiap pamong Seminari Mertoyudan. Seminggu tiga kali. Iseng saja bertanya, “Sedang tugas apa, Pak?”
“Membersihkan sepatu dan sandal para pamong. Sering kotor. Kena debu atau blethok, lumpur. Jadi, harus dibersihkan,” jawabnya.
Mungkin, cuma sandal Romo Martana saja yang mendapatkan perlakuan istimewa saat dibersihkan. Sandal beliau tak pernah butuh semir dan dilap secara khusus.
Yang dibutuhkan hanya sikat dan air untuk membersihkannya. Benar, sandal jepit dari bekas ban karet. Sandal bandol, ban bodhol, atau ban rusak.
Memang, sepatu atau sandal harus dibersihkan setelah dipakai dan diberi perlakuan khusus. Agar layak dipakai dan dan pantas. Pasti mengganggu kenyamanan ketika alas terpapar kotoran ayam, misalnya.
Baunya akan mengganggu teman di dekat. Dan si pemakai pasti dituduh sebagai orang yang jorok.
Seiring perputaran maju sang waktu, chronos, hidup terbawa ke mana-mana. Ia seperti daun yang tertiup angin. Jatuh ke comberan, kolam, dan, mungkin, jumbleng, tempat pembuangan tinja. Kotor.
Tak akan nyaman dengan kekotoran. Siapa pun tak akan tahan dengan hidup yang bau kotoran. Atau, bahkan, bau anyir darah.
“Jadi, harus dibersihkan,” kata Pak Wiwoho, pria berkumis tebal, gempal dan tinggal di Mantenan.
Si fuerint peccata vestra ut coccinum, quasi nix dealbabuntur ; et si fuerint rubra quasi vermiculus, velut lana alba erunt.
Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba – Yesaya, circa 700 SM.
02.12.2020. bm-1982. ac eko wahyono