BAHASA adalah urusan penting dalam peradaban manusia. Meniti hari demi hari di bumi Indonesia di masa kolonial Belanda, sudah barang tentu kemampuan Hollandse spreken (bisa omong bahasa Belanda) menjadi sangat vital bagi khalayak waktu itu. Bahasa tidak saja menunjukkan derajad sosial pemakainya, melainkan juga ikut mencerminkan tatanan nilai yang dianutnya.
Kegamangan jatidiri Caroline –tokoh sentral novel ini— terbaca jelas, ketika ambisinya mengadopsi kultur dan pendidikan Barat ternyata belakangan malah “menjerumuskan” dia pada persoalan rumit: konflik batin yang berkepanjangan.
Berbagai benturan emosional dan psikis akibat gencetan gegar budaya serta-merta langsung menyergapnya, bahkan di awal dia mulai merintis jalinan pertemanannya dengan Po Han, lelaki Tionghoa dari keluarga biasa yang kemudian mengawininya. Krisis keuangan keluarga dan demi gengsi sosial tak ayal ikut menjadikan Caroline serba tega menceraikan Po Han.
Pembaca langsung dibuat terhenyak. Barangkali, kita langsung menjadi kecewa lantaran menyaksikan rigoritas Caroline yang boleh dibilang intelek tapi nyatanya lebih mengutamakan gengsi daripada utuhnya hubungan keluarga sebagai suami-istri. Hasil pendidikan Barat yang mestinya mampu mengolah jiwa manusia dan membentuk pribadi Caroline yang manusiawi ternyata di ujung cerita justru sebaliknya: kepongahan yang dipertahankan demi sebuah gengsi sosial.
Pembaca sungguh dibuat “marah” oleh ulah Caroline. Bahkan hadirnya Jenny –putri semata wayangnya hasil perkawinannya dengan Po Han—juga tak membuat Caroline bergeming mengolah konflik batinnya berhadapan dengan Ocho, nenek Po Han yang sejak awal bersikap memusuhi dan tak merestui Caroline menjadi bagian keluarga.
“Jatidirinya sebagai anak keturunan Tionghoa yang harus meniti hari demi hari di teritori Indonesia ini menjadi beban besar, manakala di dalam keluarganya sendiri pun Caroline juga diperlakukan sebagai “warga kelas dua” hanya lantaran dia seorang perempuan.”
Konflik batin Caroline makin menjadi-jadi, ketika Jenny beranjak dewasa. Batinnya terpecah oleh dua kutub pemikiran. Satu sisi, Caroline sangat mendewakan gaya pendidikan dan kultur Barat. Namun, pada sisi lain era transisi dari penjajahan Belanda ke Jepang dan akhirnya pemerintahan republik mau tak mau telah memaksa khalayak –tak terkecuali Caroline dan Jenny—harus menerima keniscayaan ini. Yakni, menjadi bagian Indonesia, sebuah nation yang baru saja meretas lahir di bekas teritori Nederlands Indie.
Menjadi Indonesia
Ketika Indonesia resmi menjadi negara berdaulat dan bangsa baru ini memaknai Bahasa Indonesia sebagai identitas nasionalnya, tak ayal lagi Caroline pun terpaksa meninggalkan identitas sosialnya yang kebarat-baratan. Sekarang, jatidirinya sebagai anak keturunan Tionghoa yang harus meniti hari demi hari di teritori Indonesia ini menjadi beban besar, manakala di dalam keluarganya sendiri pun Caroline juga diperlakukan sebagai “warga kelas dua” hanya lantaran dia seorang perempuan.
Nanna, ibunda Caroline, menjadi titik pusaran konflik batin Caroline sejak usia dini.
Dua kali salah bagi Caroline, karena dia lahir sebagai seorang perempuan di sebuah keluarga tradisional Tionghoa. Tambah lagi, dia “terdampar” lahir di bumi Indonesia yang mengalami masa transisi pemerintahan dari kolonial Belanda, Jepang dan akhirnya pemerintahan bumi putera dimana posisi perempuan secara sosial juga dideterminasi hanya sebagai “pelengkap” dalam rumah tangga: mengurusi anak dan dapur.
Itulah yang dihadapi Caroline, setiap kali Nanna selalu menempatkan dia pada keniscayaannya sebagai anak perempuan dalam sebuah keluarga Cina tradisional. Padahal, Caroline merasa punya jatidiri sendiri: anak zaman yang ingin mengadopsi pendidikan dan kultur Barat yang dianggapnya lebih modern. Terhadap semua keniscayaan sosial ini, Caroline memilih sikap memberontak dengan keras.
Konflik berikutnya juga tak kalah seru.
Pilihan hidup Caroline yang bergaya Barat itu di kemudian hari terbukti malah “salah” dan justru melahirkan konflik baru dengan Po Han, manakala hubungan suami-istri itu sudah tidak bisa didamaikan hanya lantaran kondisi keuangan keluarga muda ini tak mendukung. Belum lagi, Jenny yang sudah telanjur hidup dalam budaya Barat ternyata juga membuat banyak persoalan-persoalan baru dalam hubungan sosial. Jenny yang telanjur mengakrabi gaya pengasuhan Barat menjadi gamang begitu Indonesia memasuki periode pasca proklamasi dimana budaya Barat (Belanda) justru dipandang sebelah mata oleh anak-anak bumiputra.
Deskripsi dahsyat
Novel Lian Gouw yang aslinya berjudul Only a Girl ini berkisah secara lugas dan intens pengalaman Caroline dalam pergumulan batinnya yang tersiksa dan tertantang merespon tantangan hidup. Kemampuan Lian Gouw menerjemahkan konflik batin dalam formasi kalimat-kalimat sungguh menakjuban. Teks terjemahan yang dikerjakan Royani Ping boleh dibilang sempurna, karena mampu menghadirkan nuansa pergolakan batin Caroline ketika harus memutuskan perceraiannya dengan Po Han, menghadapi tekanan Nanna dan Ocho, menyikapi perkembangan putrinya Jenny yang ikut terhempas dalam pusaran konflik batin akibat gegar budaya.
“Pengalaman Caroline menghadapi tantangan hidup itu sungguh tak mudah. Dan kejelian seorang Lian Gouw mengagumkan, karena penulis ini berhasil membawa persoalan eksistensial ini ke tataran teks dalam bentuk sebuah buku novel.”
Only a Girl (Menantang Phoenix) karya Lian Gouw sungguh sebuah novel dahsyat. Tidak saja karena dengan kata-kata Lian Gouw berhasil memotret dengan elok dan lengkap detil suasana permukiman Bandung di era kolonial hingga tahun-tahun pertama pasca kemerdekaan Indonesia (930-1952).
Lebih dari itu, Only a Girl (Menantang Phoenix) juga menjadi cerminan persoalan sosial kala itu, yakni pergumulan setiap perempuan keturunan Tionghoa ketika harus menerobos tantangan hidup yang nyata. Yakni, keberanian mengingkari diri sebagai warga kelas dua dalam keluarga sendiri dan di antara sesama anak bangsa atau berani “unjuk kekuatan” melawan inferioritasnya sendiri untuk kemudian —seperti Caroline—berani mengadopsi pendidikan dan kultur Barat yang dia agung-agungkan.
Pengalaman Caroline menghadapi tantangan hidup itu sungguh tak mudah. Dan kejelian seorang Lian Gouw mengagumkan, karena penulis ini berhasil membawa persoalan eksistensial ini ke tataran teks dalam bentuk sebuah buku novel. Juga kejelian penerjemah yang berhasil membawa khasanah kekayaan bahasa Inggris dalam teks-teks deskripsi yang njlimet ke dalam kosa kata bahasa Indonesia yang enak dibaca.
Singkat kata, Only a Girl (Menantang Phoenix) karya Lian Gouw ini boleh dibilang catatan semi-sejarah mengenai tiga generasi perempuan Indonesia keturunan Tionghoa yang mengalami konflik batin di tengah pusaran situasi sosial politik di Indonesia era Perang Dunia I, Perang Dunia II dan Revolusi Kemerdekaan. Only a Girl (Menantang Phoenix) dengan jeli berhasil memotret jatidiri perempuan Indonesia keturunan Tionghoa dalam suasana serba tidak pasti tersebut, terlebih ketika konflik antargenerasi dan gegar budaya harus diselesaikan dengan tuntas dengan meminimalisirkan efek negatif pelaku peristiwa itu sendiri: Caroline.
Mathias Hariyadi, penulis blogspot http://mytitch.blogspot.com.
Judul : Only a Girl, Menantang Phoenix
Penulis : Lian Gouw
Penerjemah : Royani Ping
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : I, Oktober 2010
ISBN : 9789-979-22-6233-9