Home BERITA Orang yang Bekerja Layak Mendapat Upah

Orang yang Bekerja Layak Mendapat Upah

0
Ilustrasi - Mengerjakan segala sesuatu dengan senang hati sebagai ungkapan syukur by ist

REVA membatin, benar peribahasa “ada gula ada semut”. Para saudaranya mulai merecoki dengan pesan, call, video call, bahkan mengunjungi Reva pada saat dia tengah bekerja. Beberapa kali Reva bisa berkelit, tetapi lama-lama sulit juga.

Mereka bermanis-manis untuk mengemis. Memuakkan. Menjadi kaya memang tidak enak, dikerubuti orang-orang yang ingin numpang enak, menikmati milik orang lain tanpa bekerja dan bersusah payah. 

Keponakan Reva juga sudah diajari oleh  orangtua mereka menjadi pengemis berkedok manis dengan bergaya  borjuis.  Minta dibelikan HP terbaru, tas branded, motor terbaru, bahkan ada yang minta biaya operasi wajah.

Buliknya lebih serakah lagi, minta biaya renovasi rumah yang dulu direbut darinya. Tidak tanggung-tanggung, rancangan arsitek dengan estimasi hampir 300 juta disodorkan kepada Reva.

Reva tegas menolak semua permohonan dan permintaan. Ia tidak peduli dicap pelit dan medhit. Kekayaan yang dikelola Reva bukan miliknya seutuhnya untuk dibagi-bagikan bahkan menjadi barang rayahan saudaranya yang selama ini mengabaikannya. Silau atas harta orang lain adalah sikap rendah, nistha, hina, dan kere.

Malam ini Reva mendaftar saudara dan keponakan yang pernah mengirim pesan, call, video call yang tersimpan dalam memori HP-nya. Pesan sok manis, menanyakan kabar, sampai yang paling terang-terangan minta uang, dan marah karena tidak ditanggapinya. Reva tidak tahu dari mana mereka mendapatkan nomernya.

Mungkin dari buliknya yang diberinya nomor saat dalam kereta. Hanya Melania, adik iparnya yang paling sederhana dan anaknya, Michael Eka Buana, yang belum pernah sekali pun menghubungi Reva.

Hal ini menggelitik Reva. Ia mencari di sudut sampul agendanya. kertas bekas struk pembayaran Alfamart yang di baliknya berisi nomer Melania dan ia menghubunginya.

“Selamat malam.”

“Selamat malam, juga. Maaf ini  siapa?,” tanya Melania.

“Ini Reva. Apa kabar?,” lanjur Reva.

”Ada apa Mbak, maaf saya selama ini tidak berani menghubungi Mbak,” jawab Melania dengan cepatnya membalas.

”Mengapa tidak berani?”

”Saya takut Mbak menganggap saya seperti yang lain, hanya menghubungi Mbak untuk memdapatkan sesuatu?,” jelasnya.

”O, begitu, bagaimana usaha catering-mu?,”

“Lancar Mbak.”

“Bisa saya dibuatkan 200 paket parcel berisi abon, ragi, rambak, intip, roti kecik, brem Wonogiri, mete Wonogiri dengan harga empat ratusan ribu, 50 dikirim ke Surabaya, 100 ke Pontianak, dan 50 ke Landak?,” pintaku.

“Bisa Mbak, saya usahakan. Saya minta waktu sepekan ya.”

Kesanggupan Melania yang realistis membuat Reva bangga. Ia juga lega bisa membantu adik iparnya dengan memberikan pekerjaan. Ia tahu adiknya pasti menolak bila diberi uang loko-loko.

”Baik, minta rekeningmu. Saya kirim 80 juta, belum termasuk ongkos kirimnya ya,” tambah Reva.

“Ya Mbak, nanti saya kirimkan.”  

“O, Iya. Bisa tanya kondisi Heru, benar dia kena PHK?,” tanya Reva.

“Kok Mbak tahu?,” tanya Melania.

“Deniya menghubungiku, memintakan modal untuk usaha, apa benar keadaannya seperti itu?,” lanjut Reva.

“Maaf, kalau boleh saya usul, Mbak bisa membelikan mobil agar Dik Heru bisa menjadi sopir online, sambil menekuni usaha tanaman hias yang sudah dirintisnya,” usul Melania yang realistis menurutku.

“Tetapi tolong jangan beri tahu kalau usulan dari saya ya Mbak”.

“Lho, mengapa?,” selidik Reva.

“Deniya dan istri Dik Heru mau menghubungi Mbak meminta modal untuk membuka usaha resto dan meminta saya jadi tukang masaknya. Tetapi saya sudah kewalahan menangani usaha saya.”

“Baiklah. Terima kasih. Salam untuk suamimu dan Michael ya,” tutup Reva.

***

Avanza Veloz Maroon terbaru dibeli Reva untuk adiknya Heru. Mobil tetap atas nama Reva. Dengan perjanjian yang jelas dan tegas, Heru mengoperasikan mobil dengan bergabung pada GoCar.

Setiap bulan ia harus mencicil  dua juta rupiah lewat rekening khusus yang disediakan Reva untuk menampungnya. Setiap transfer cicilan, Heru atau Sandrina selalu memberi tahu dengan mengirimkan bukti transfer dan berterima kasih.

Reva bangga dengan mereka yang mau berusaha dan bertanggungjawab atas hidupnya, bukan hanya menadahkan tangan meminta belas kasihan, alias mengemis.

Bisa memberi kail bagi kehidupan Heru yang telah berjalan empat bulan membuat Reva bersyukur.

Rasa syukur Reva itu terusik ketika Reno bersama Deniya datang dengan muka buthek.

Mengapa Mbak tidak adil?,” kata Deniya dengan lantang, tanpa basa-basi, bahkan lupa bersalam.

“Apa maksudmu?,” tanya Reva agak marah.

“Mbak membelikan mobil untuk Mas Heru, tetapi Mas Heri dan Mas Reno tidak. Kami menunggu, tetapi Mbak tidak membelikan kami?,” Deniya dengan canthas menuntut Reva.

“Anda punya sopan santun tidak? Ini rumah sakit dan Anda datang menuntut seakan aku ini ibumu tempat menyusu dan bank berjalan?,” Reva mulai menaikkan suaranya mengimbanginya.

Sungguh benar apa yang dulu pernah dibisikkan oleh Pak Amran, bahwa dua orang ini yang akan merecokinya dan ngirik-iriki hartanya.

”Maaf saya tidak ada urusan dengan Anda,” tatap tajam Reva kepada Deniya kemudian beralih kepada Reno.

”Apa yang mau kamu sampaikan Reno?,” tanya Reva kepada adik tertuanya yang sejak tadi  diam saja tetapi mukanya masam.

”Maaf Mbak saya hanya diajak Deniya, tetapi kalau mendapatkan mobil saya juga mau, ” jawabnya sambil menunduk.

”Isterimu tahu kalau Kau ke sini?,” lanjut Reva.

”Tidak, jangan beri tahu Melan, ya Mbak,” pinta Reno.

”Mengapa?”

”Dia pasti marah, kalau saya meminta-minta kepada Mbak,” jelas Reno.

“Bagus, harusnya kamu bangga punya isteri hebat dan bermartabat, tidak berjiwa kere,” jawab Reva sambil melirik Deniya yang melotot.

”Pulanglah. Heru tidak saya belikan mobil. Mobil yang dipakai Heru bekerja itu mobil saya dan setiap bulan ia membayar cicilan. Jangan silau dengan harta orang lain. Syukurilah apa yang ada. Apakah Kalian tidak melihat, Mbak tetap seperti ini, tidak berubah menjadi orang kaya baru (OKB), karena harta Mbak adalah titipan yang harus Mbak kelola sebaik-baiknya. Kalian sudah bisa hidup layak bahkan lebih dari layak dengan penghasilan kalian, syukurilah. Jangan serakah, tidak berkah,” Reva menutup pembicaraan dengan berdiri.

”Jadi kami pulang dengan tangan kosong?,” tanya Deniya dengan nada kecewa.

”Lihatlah dalam mobil. Ada tiga paket kebutuhan keluarga kalian bertiga, ada empat amplop untuk masing-masing keponakanku. BBM sudah penuh, Upah sopir dan e-toll sudah dibawa sopir, masih kurang?,” tantang Reva.

”Reno, Kau sebagai saudara tertua itu seharusnya mampu menjadi orang yang dituakan. Menjaga kerukunan, bukan menumbuhkan iri dengki, dan mengekor kepada orang luar yang datang belakangan. Selamat siang.”

Reva meninggalkan mereka dan kembali ke tempat kerjanya.

Dari balik gorden jendela dilihatnya Deniya yang berjalan tergesa-gesa, mengentak-entakkan kakinya, dan mengomel. Hal itu bisa terlihat dari gerak tangannya yang sraweyan.

Reno hanya diam saja. Reno memasuki mobil di samping sopir dan Deniya duduk di belakang.

Reva menarik napas dan berdoa,”Tuhan izinkan aku menjadi cambuk bagi adik-adikku, agar mereka  bisa menjadi umat-Mu yang tahu berterima kasih dan bersyukur.”

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version