Home BERITA Orangtua Gagal Mendidik Anak dalam Satu Garis Iman

Orangtua Gagal Mendidik Anak dalam Satu Garis Iman

0
Ilustrasi - Mendidik anak sejak usia dini agar punya kepedulian kepada orang lain. Inilah yang dipraktikkan di PAUD St. Theresia di Wedi-Klaten, Jateng. (L. Sukamta)

BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN.

Senin, 7 Maret 2022.

Tema: Jelaslah Sudah.

Bacaan

  • Im. 19: 1-2, 11-18.
  • Mat. 25: 31-46.

“MO, saya merasa berdosa. Saya tidak bisa mendidik anak-anak. Saya gagal. Tidak bisa meneruskan iman kepada anak-anak. Janji perkawinan tidak terwujud.”

“Kenapa punya pikiran seperti itu?”

“Saat kecil, saya selalu bersama orangtua ke gereja. Kami duduk bersama satu bangku. Hari Minggu adalah hari bahagia kami. Sepulang dari gereja, kami semua ke restoran.

Makan bersama. Restoran itu tidak mewah. Yang membuat kami gembira adalah kami boleh memesan makanan apa saja, asal dihabiskan.

Saat kawin, saya akan meneruskan iman orangtua. Melakukan yang sama. Minimal berjalan bersama dalam satu garis iman.

Tapi yang terjadi tidak seperti itu. Sekarang, di masa tua agak prihatin. Saya tidak bisa meneruskan apa yang terbaik; mengulang kenangan indah, ketika masa kecil saya.”

“Masalahnya apa bapak, ibu?”

“Iya, kami merasa gagal sebagai orangtua. Kami tidak bisa meneruskan estafet iman. Lagian, saya tidak bisa apa-apa di hari tua. Kami hanya berdoa dan minta ampun.”

“Apa yang menjadi keprihatinan?”

“Anak, mantu, dan cucu-cucu saya Romo. Mereka sudah mandiri dan cukup. Kendati masih berjuang. Kalau soal itu tidak begitu menggelisahkan. Keprihatinan saya justru iman mereka.

Semua dulu baptis bayi. Dari lima, dua yang Katolik. Tiga yang lain ikut pasangannya. Satu Muslim; satu Budhis, dan satu belum punya pegangan. Tapi sering pasang hio di rumah.

Apakah saya berdosa, Mo? Apa denda saya, supaya kalau mati saya diampuni?”

“Kenapa bapak ibu berpikiran demikian?”

“Kami sudah berusaha memberi teladan. Kami sudah merasa adil dengan semua anak. Kami pun tak kurang-kurang mengingatkan. Tetap meneruskan iman.

Saya merasa gagal romo. Mereka mendapat jodoh yang beda; dan harus mengikuti pasangannya.”

“Di mana letak dosanya?”

“Iya, sebagai orangtua, saya tidak bisa tegas. Saya berprinsip asal anak saya bahagia. Dan kalau beda pendapat, saya memilih diam.

Mereka selalu mengajukan argumen-argumen yang saya tidak paham. Daripada ribut dan dianggap orangtua yang kolot, saya pilih diam: Terserah mau apa. Itu pilihanmu.”

“Bukankah itu yang baik? Memberi kebebasan menjatuhkan pilihan hidup secara bebas.”

“Iya. Tapi tentunya sebagai orangtua, kami ingin satu perahu Romo. Sehingga kalau ada apa-apa, kami dapat membicarakannya dengan lebih baik.

Semua mantu saya memang baik. Tetapi juga ‘keras’ dalam penghayatan agama.

Jadi, bagaimana Romo? Apakah saya harus menerima denda? Apa penglipuran lara batin saya. Sekarang di hari tua, saya merasa bersalah. Bukan hanya janji perkawinan, beberapa hal tidak bisa saya penuhi. Saya mohon penitensi saja Romo.

Di hari senja kami ini, kami tidak menginginkan hal yang lain. Kamo ingin dekat pada Tuhan. Boleh dimasukan pada orang yang takut akan Tuhan.

Saya siap menjalani hukuman atas kelalaian saya. Bahkan, kalau itu merupakan suatu dosa.”

“Apakah mereka cukup rukun?”

“Sejauh ini rukun Romo. Mungkin karena kami, orangtua masih hidup.”

“Apakah kalau berkumpul semua datang?”

“Kebanyakan datang Romo. Kalau mereka tidak bisa, mereka memberi tahu sebelumnya hari H nya. Tetapi mereka tetap mengirim makanan pada saat berkumpul.”

“Apakah pernah satu sama lain saling menjelekkan?”

“Jarang Romo.”

“Apakah mereka menawari bapak ibu untuk tinggal bersama mereka di hari tua?”

“Semuanya menawari. Bahkan kadang agak ngotot, saya harus tinggal di rumah mereka.”

“Bapak, ibu ingatkah kata Yesus ini, “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” ay 40.

Mengikuti Dia adalah sebuah keputusan bebas. Percaya dan doakan saja mereka.

Tuhan, ajar aku percaya bahwa Engkau menyelinap dalam setiap hati yang mencari Engkau dengan tulus. Amin.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version