HARI itu sudah merupakan hari ke-8 keberadaan saya di Hepuba, Wamena, Papua. Kebetulan tanggal 11 April 2023 adalah peringatan nama baptis saya yaitu St. Stanislaus, Uskup Krakow Polandia.
Pagi-pagi sebelum puku 07.00 WIT pagi, saya sudah muncul berada di halaman SD St. Michael Hepuba. Belum ada siapa pun. Gerbang sekolah masih dihalangi balok pohon kayu agar babi tidak masuk. Jadi, saya loncat pagar saja. Ambil solusi cepat dan jalan pendek.
Tiga anak datang yaitu Santi Wetipo kelas 3, Doni Wetipo kelas 3, dan Sela Mulait kelas 2.
Penjaga sekolah Bapak Deba Wetipo akhirnya datang. Lalu, ia mulai memasang bendera merah putih dan membuka kantor dan ruang kelas.
Lalu datanglah Martha Asso kelas 5. Lalu semakin banyak anak yang datang dan mereka mulai bermain.
Guru pertama yang datang adalah Bu Fero Karoba guru kelas 4.
Sehari kemudian tanggal 12 April 2023
Di pagi hari, masih di pukul 07.00 WIT, sekolah belum ada anak-anak yang datang. Hari itu sedikit ada hujan. Pak Enius Lokobal datang pukul 07.26 WIT. Ia menjadi orang pertama sampai di sekolah. Lalu barulah kemudian ada murid-murid mulai berdatangan, meski kondisi hari itu masih hujan.
Pendidikan, jalan terang menuju masa depan Papua
Kalau jalan pendidikan adalah jalan masa depan Papua. Jalan yang kondisinya masih bocel-bocel oleh kondisi tanah yang juga terjal tak apa, karena di situ tentu masih ada harapan.
Pukul 08.00 WIT mulailah jam-jam pelajaran sekolah. Berlangsung sampai pukul 10.00 WIB. Saya berkeliling dari kelas ke kelas; memperhatikan proses belajar-mengajar di SD YPPK St. Michael Hepuba, Wamena, Papua.
Bertemu para guru pengajar
Di kelas 1, guru pengajarnya adalah Ibu Pelesina Bahabol. Ia lahir tahun 1987 di Ninia, Kabupaten Yahukimo, Papua; alumnus STKIP Abdi Wacana di Wamena Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Ia memutuskan berkarier menjadi guru, karena tumbuh dalam pelayanan di Gereja Injili Di Indonesia (GIDI). Karenanya, ia merasa terpanggil untuk menjadi guru.
Dengan sabar, begitu yang saya saksikan di depan mata, Bu Pelesina tekun dan setia mengajari anak-anak menulis.
Di kelas II ada Ibu Eti Lokobal. Ia mengajar anak-anak membaca. Juga mengajari mereka menyanyi dengan riang gembira. Ia kelahiran tahun 1974 dan alumnus SD St. Michael Hepuba. Juga alumnus program studi D2 PGSD Universitas Cenderawasih Jayapura.
Ayahnya adalah tokoh kepala adat. Kepada Bu Eti, ayahnya mengaku sangat menyesal tidak mau sekolah waktu kecil. Karena itu, bapak tokoh adat ini lalu semangat mendorong ketiga anaknya sekolah sampai tingkat sarjana. Bu Eti termasuk perempuan pertama dari Hepuba yang berhasil meraih gelar sarjana.
Perempuan-perempuan lain nasibnya lebih menyedihkan. Karena telah dinikahkan, saat mereka masih duduk di bangku SD; atau bahkan tidak pernah bersekolah.
Di kelas III ibu Yohana Nastasia Barek Awie yang lahir 1974 dan dari orang tua Papua Flores dan alumni S1 Kimia Universitas Padjadjaran di Bandung mengajar matematika. Motivasinya menjadi guru ingib murid muridnya pandai.
Di kelas IV dan kelas V ada Fr. Alan Romario Lalin. Calon imam ini lahir tahun 1993 di Papua. Orangtuanya berasal dari Tanimbar, Maluku Tenggara. Ia didapuk mengajar agama Katolik.
Di kelas VI hari itu sayang tidak ada guru yang datang, sehingga anak-anak harus mau belajar sendiri.
Guru lain adalah Ibu Fero Lokobal. Ia kelahiran tahun 1974 di Kabupaten Tolikara. Ia merupakan alumnus STKIP Abdi Wacana di Wamena Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Bu Fero jadi guru, karena ingin melihat semua anak bisa sekolah.
Sewaktu masih ngajar di SD Tolikara, guru-guru kadang tidak datang mengajar.
Ibu Rosalina Eti Pasati lahir 1988 di Mengkedek di Tana Toraja; alumnus S1 Bahasa Inggris di Makale. Ia memutuskan serius berkarier menjadi guru, karena senang mendidik anak-anak.
Mampu tiga “M”
Kepala Sekolahnya adalah Pak Enius Lokobal. Ia lahir tahun 1969; alumnus SD St. Michael Hepuba. Ia lulusan STFT (Sekolah Tinggi Filsafat Teologi) Abepura dan memutuskan menjadi guru, karena ingin membahagiakan anak-anak.
Pak Enius bersama para guru berjanji dan memastikan bahwa setiap murid SD bisa tiga “M” “Membaca, Menulis, Menghitung” dengan lancar. Pak Enius bermimpi bahwa SD St. Michael Hepuba sekali waktu nantinya bisa menjadi sekolah mandiri dalam keuangan.
Caranya ditempuh dengan beramai-ramai menanam pohon alpokat dan rencana melakukan gerakan usaha lainnya. Masih ada dua guru yang tidak hadir di hari itu. Yakni, Pak Bartimeus Asso karena ada saudaranya yang meninggal dunia. Juga Ibu Yustina Mugi yang bayinya sakit.
Guru adalah harapan masa depan
Mendengarkan kisah dan motivasi para guru yang saya temui di sekolah hari itu, saya menjadi bersemangat dan gembira.
Benang merahnya adalah panggilan Tuhan yang kuat dari para guru untuk berjuang agar murid muridnya kelas mampu menjadi pandai dan bahagia. Dengan modal panggilan yang kuat tersebut, saya yakin kualitas pendidikan di SD St. Michael Hepuba akan cukup bagus.
Kondisi berbeda
Situasi yang jauh berbeda terjadi di Stasi Semanage. Alamak, 3 SD tanpa kehadiran guru. Akibatnya, para murid sama sekali tidak belajar. Ini tentu saja merupakan kondisi yang ekstrem. Agaknya, situasi serupa sering terjadi dan ada di berbagai desa lain di Papua.
Kita masih punya harapan. Manakala ada uskup seperti Mgr. Yanuarius Yan Matopai. Karena beliau telah minta Romo Yohanes Anis Mangguwo selanjutnya menetap di Stasi Semanage dan menyiapkan rumah guru dan gaji guru agar ada guru yang mau tinggal di Semanage dan mengajar anak-anak.
Jepang membangun dari sisa-sisa perang
Ketika Perang Dunia II usai dan Jepang kalah perang dan hancur kena bom atom, Kaisar Jepang bertanya apakah Jepang masih punya guru-guru. Kalau masih ada guru, kita bisa membangun Jepang kembali.
Sistem pendidikan Jepang agaknya pantas ditiru yang mendidik anak anak dengan berbagai kebiasaan sehari-hari. Jalan membangun karakter dan nilai-nilai adalah jalan membangun kebiasaan sehari-hari yang baik.
Disiplin waktu itu penting dan fundamental
Mulailah hari dengan disiplin waktu. Anak anak dibiasakan menyimpan sepatu dengan rapi. Lalu kegiatan pertama adalah membersihkan kelas dan halaman. Lalu mulai belajar. Siang makan bersama.
Saya mengandaikan beberapa tambahan kebiasaan. PR harus bisa dikerjakan di sekolah dengan beberapa guru masih menemani.
Ada program olahraga dan seni; khususnya musik dan menyanyi. Lalu juga program menanam tumbuh-tumbuhan dan pohon. Seperti yang dilakukan Sr. Klemensia ADM di Desa Ponu. Hasilnya, suster biarawati Kongregasi Darah Mulia yang berpusat di Kotabaru, Yogyakarta ini mampu melahirkan kelompok musik anak-anak yang luar biasa.
Mencarikan dana untuk program investasi SDM
Dari mana dananya?
Harus ada yg mampu mendekati pemerintah, BUMN, dan berbagai perusahaan untuk membiayai semua upaya ini. Karena dana ini tidak bisa diandalkan datang dari uang sekolah. Orangtua bisa dilibatkan; misalnya dengan ikut memasak sayur dan ubi untuk menu makan siang.
Pak Enius Lokobal rupanya sedang disiapkan utk menjadi anggota Majelis Rakyat Papua Pegunungan (MRP). Kalau jadi, maka Pak Enius berjanji akan memperjuangkan perbaikan kualitas pendidikan di Papua Pegunungan.
Kalau kita mulai membenahi kualitas guru dan suasana pembelajaran, maka kita ada di jalan yang benar. Kualitas gizi ditingkatkan dengan makan bersama. Dengan kondisi murid-murid yang sehat, maka kualitas akademis bisa diupayakan semakin lebih baik.
Satu lagi tambahan adalah melanjutkan program baik seperti dulu ada Indonesia Mengajar.
Kita bisa mengundang orang muda yang baru lulus sarjana untuk menjadi guru sukarela di Papua selama 1-3 tahun. Siapa tahu beberapa bahkan akan menetap menjadi guru di Papua. Tentu harus ada program pelatihan, biaya transpor ke lokasi sekolah, dan tunjangan biaya kehidupan selama mengajar.
Gerakan Papua Mengajar
Itu adalah mimpi besar semua orang; tak terkecual saya. Tentu harapan dan mimpi masa depan ini membutuhkan uskup progresif dan visioner. Semacam Uskup Keuskupan Jayapura Mgr Yanuarius Yan Matopai. Karena beliau berani mengambil prakarsa memulai Gerakan Papua Belajar.
Lalu kita harus mengajak dan melibatkan pemerintah, BUMN, lembaga, dan perusahaan untuk ikut mendukung dengan dana.
Pihak lain yang sangat harus dilibatkan adalah orangtua sebagai pendidik pertama dan utama. Sementara itu, sekolah harus lebih aktif menyediakan suasana pembelajaran yang menyenangkan agar anak anak betah bersekolah.
Suatu sekolah adalah bermutu bagus, kalau sungguh mengusahakan pendidikan dan bukan hanya melaksanakan pengajaran. Tugas guru yang utama adalah mendidik murid-muridnya dengan penuh kasih.
Semoga kita bisa mencari dan mendukung guru-guru yang sungguh terpanggil Tuhan untuk menjadi guru. Dengan motivasi mereka agar tetap rela berjuang demi mengantar para muridnya jadi pandai, sehat, dan bahagia.
Di tangan para guru itulah kita bisa menjamin kualitas pendidikan. Juga bisa menjamin alumninya tetap senantiasa sehat, pandai, dan bahagia.
12 April 2023 di Hepuba, Wamena, Papua
Romo Ferry Sutrisna Widjaja Pr
Baca juga: Mengalami Keakraban Bersama Masyarakat Papua di Wamena Berkat Tradisi Bakar Batu (8)