Seorang mama Papua, dengan jari tangan yang tidak lengkap, menghadapi karung yang digelar pada tanah basah. Ia duduk berjongkok pada tepian atap bangunan pasar. Sebagian titik hujan yang terpantul pada seng menimpa daun pepaya dan daun ubi yang dijualnya. Sementara, lima sisir pisang susu dan sepuluh tumpuk rica ia tudungi plastik terang. Ia diam beku, di antara lalu lalang orang bertelanjang kaki, yang hiruk pikuk berbelanja. Deru hujan di selingi oleh teriakan para pedagang ikan.
Mama itu diam di sana. Ia menanti siapa pun untuk singgah dan menjamah dagangannya atau untuk sekadar bertukar kata. Pagi itu, mama itu diam di sana, tinggal tak tersapa di pasar pagi yang ramai. Aku yakin, mama itu memegang harapan bahwa hari itu dagangannya akan laku habis dan ia akan pulang dengan uang yang tidak banyak tapi sangat berarti.
Lalu, tiga ikat daun singkongnya kami beli serta satu tumpuk rica yang sudah sangat tua. Dingin pagi itu mencair ketika hujan mulai reda. Lebih lagi, dingin pagi itu mencair dari hatiku, ketika menyapa mama yang sepanjang pagi diam di pasar itu.