Home BERITA Pahlawan dan Mercusuar Keutamaan

Pahlawan dan Mercusuar Keutamaan

0
Ilustrasi: Umat Paroki Jajag, Banyuwangi, mengadakan upacara dan doa untuk para awak kapal selam Pr KRI Nanggala 402, Senin 26 April 2021.Jika bumi tidak bisa menjadi tempat pelabuhanmu, biarlah surga menjadi dermaga yang penuh kasih dan damai untuk para pahlawanku. Terimakasih telah berjasa untuk Indonesia.

DI negeri ini, pahlawan dijadikan simbol kebaikan. Nama-nama tempat penting dan juga jalan-jalan utama menyandang nama para pahlawan. Pertanyaan lebih lanjut, apakah mereka hanya akan sekedar menjadi simbol?

Sudah saatnya memandang para pahlawan sebagai mercusuar keutamaan, sebuah lampu penerang yang mengingatkan kita akan jalan keutamaan yang semestinya dihormati oleh jiwa setiap warga negeri ini.

Tidak dari titik nol

Pahlawan dan sejarah kehidupannya menjadi pengingat kepada bangsa ini bahwa warga negeri ini pernah mencapai nilai-nilai luhur yang layak dikagumi oleh para penerus; bahkan oleh bangsa manusia secara keseluruhan. Dengan mengenang jasa para pahlawan, negeri ini tidak ingin terus-menerus memulai segala sesuatunya dari nol.

Kita sudah punya standard keutamaan diri yang tinggi dan oleh karenanya pantas untuk diikuti. Sayangnya, kealpaan kita akan pentingnya sejarah bangsa, ketidakjujuran kita terhadap kepahlawanan di masa lalu dan keengganan bangsa ini untuk hidup dalam standard tinggi menjadikan kisah-kisah kepahlawanan di negeri ini bisa jadi sia-sia.

Pahlawan seakan menjadi simbol bahwa negeri ini pernah punya orang baik. Tentang apakah negeri ini akan melahirkan orang-orang baik dalam diri Anda, saya dan segenap putera-puteri ibu-ibu pertiwi yang hidup di zaman ini tidak dipikirkan secara serius.

Di sisi yang lain, negeri ini juga tidak juga ingin belajar dari sejarah kelam di masa lalu; entah sejarah kelam pribadi-pribadi yang pernah hidup di masa lampau atau pun sejarah kelam institusi negara.

Moch. Dimas Galuh Mahardika dari FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, dalam jurnalnya yang berjudul Kepentingan Rezim dalam buku Teks Sejarah di Sekolah, mengkritik buku teks sejarah yang digunakan dalam pembelajaran di sekolah di Indonesia. Ia mengkritik penggunaan buku sejarah yang sering kali tidak memuat fakta sejarah yang obyektif, tetapi semata menceritakan apa yang mendukung kepentingan rezim.

Baginya, hal ini menciderai tujuan dari pembelajaran sejarah. Sejarah mestinya memberi kesadaran kepada peserta didik agar dapat mengenal identitasnya. Maka segala bentuk doktrin-doktrin yang cenderung politis di dalam pembelajaran sejarah perlu ditolak agar masyarakat negeri ini memiliki pola pikir lebih luas dan siap menerima kenyataan sejarah yang kompleks, luas dan tidak serba hitam putih (Mahardika, 2020).

Mercusuar keutamaan

Dalam berbagai macam bidang kehidupan dikenallah apa yang disebut sebagai mercusuar yang melambangkan petunjuk ke jalan yang benar. Mercusuar merupakan bangunan menara yang dilengkapi dengan cahaya lampu yang memberi bantuan arah bagi kapal-kapal yang berlayar. Juga menunjukkan kalau-kalau ada daerah yang berbahaya seperti karang dan daerah yang dangkal.

Mercusuar di dalam peradaban manusia, menunjukkan apa yang baik untuk dituju dan apa yang buruk untuk dihindari. Di banyak bidang kehidupan telah muncul pribadi-pribadi yang berhasil dengan gemilang menjalankan darma bakti hidupnya, sementara ada pula yang gagal menunjukkan kesetiaan kepada pengabdiannya.

Seperti halnya diungkap oleh Presiden Soekarno, negeri ini harus belajar dari sejarah. Ia mengatakan, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” (Jas Merah). Sejarah negeri ini pun pernah melahirkan pahlawan dan pecundang.

Di Hari Pahlawan, kiranya kita bisa belajar dari semangat dan perjuangan para pahlawan yang tak boleh sekedar dijadikan simbol. tetapi perlu dijadikan teladan; menjadi mercusuar yang menunjukkan jalan yang benar menuju kemuliaan diri sebagai manusia Indonesia. 

Tontonan sekaligus tuntunan

Ketika mendengar kata pahlawan (inggris: hero), mungkin orang zaman sekarang lebih familiar kepada para superhero daripada kepada para pahlawan di negeri ini layaknya Soekarno, Hatta, Soetan Sjahrir atau pun Tan Malaka. Sementara, kisah-kisah para pahlawan ini tidak banyak dikenal publik, kisah para superhero terpampang jelas di berbagai platform media. Bahkan penayangan perdana beberapa karakter superhero yang difilmkan diserbu oleh para penonton yang tidak ingin menjadi yang kedua dalam menyaksikan aksi kepahlawanannya.

Situasi ini di satu sisi membawa kabar baik, tetapi di sisi yang lain kabar buruk. Kabar baik karena hal tersebut menunjukkan kerinduan banyak orang untuk melihat kebaikan menang atas kejahatan yang selalu menjadi alur umum dari hampir semua film superhero.

Kabar buruk karena superhero itu lebih sering datang dari negeri yang asing. Kita belum mampu untuk mengeksplorasi kepahlawanan lokal yang ada di negeri ini menjadi tontonan yang menarik. Seperti dinyatakan dalam ungkapan Jawa, “tontonan lan uga tuntunan,” tontonan semestinya juga menjadi tuntunan.

Bagaimana kepahlawanan di Indonesia bisa menjadi tuntunan kalau tidak pernah menjadi tontonan dan bahan belajar seni kehidupan?

Terciptanya jarak antara citra kepahlawanan dalam diri para superhero di luar sana dengan kenyataan kepahlawanan di negeri ini memiliki beberapa konsekuensi.

Pertama, orang lalu membiarkan kepahlawanan itu berjarak dengan dirinya. Ungkapannya, “Biarlah orang lain hidup baik, saya hidup biasa-biasa saja.”

Kedua, orang lalu kesulitan untuk menemukan citra kepahlawanan dalam hidup sehari-hari yang lalu dianggap tidak mulia. Padahal, Indonesia membutuhkan begitu banyak kepahlawanan: kepahlawanan orang-orang muda yang mencintai alam; kepahlawanan anak-anak yang memperhatikan orang-orang tua yang renta dan ditinggal anak-anaknya; kepahlawanan orang-orang yang membantu mereka yang terjerat pinjaman online; kepahlawanan  orang-orang yang berani menentang hukum yang tidak adil; kepahlawanan mereka yang membantu kaum adat yang tanahnya direbut oleh pengembang atau pihak negara; kepahlawanan mereka yang membantu anak-anak yatim dan berbagai bentuknya yang lain.

Pernah ada satu film superhero Indonesia yang muncul dan sangat terhubung dengan pergulatan masyarakat Indonesia berjudul Gundala. Film yang diangkat dari komik karya Harya Suramita ini terutama terhubung dengan pergulatan kaum buruh yang berhadapan dengan para kapitalis dan pemerintah yang korup. Di akhir film tersebut ada ungkapan yang menohok, “Negeri ini butuh patriot.” Sayangnya penerimaan atas film itu tak sesemarak film superhero asing.

Kepahlawanan zaman sekarang

Dalam situasi Indonesia saat ini, amat pentinglah bagi masyarakat kita untuk mengeksplorasi lebih kepahlawanan yang ada di sekitarnya guna mendorong lahirnya pahlawan-pahlawan baru. Orang-orang Indonesia yang sudah dinyatakan menjadi pahlawan oleh bangsa Indonesia tidak boleh sekedar menjadi simbol saja. Mesti ditemukan jalan-jalan konkret menuju kepahlawanan tersebut.

Satu kabar gembiranya adalah bangsa ini terus-menerus mengangkat pribadi-pribadi yang dianggap layak dijadikan pahlawwan. Artinya, pahlawan-pahlawan itu dekat secara tempat dan masa dengan kita. Selain itu, mereka juga bukan orang-orang yang sempurna. Hidup mereka penuh perjuangan yang layak untuk dijadikan teladan.

Dengan demikian, penduduk negeri ini dengan lantang memekikkan semangat, “menjadi baik di negeri ini masih mungkin” Semoga lebih lantang lagi, jiwa-jiwa di negeri ini berani meneriakkan, “Berbuat baik di negeri ini kian penting.”

Ilustrasi: Ibu adalah pahlawan (Romo Antonius Suhud SX)

Harapannya, bangsa ini tidak jatuh pada pesimisme hingga akhirnya memilih hidup tanpa mau peduli kepada hal-hal yang tidak benar di sekitarnya. Kalau itu yang terjadi, korupsi, kolusi, nepotisme, suap menyuap, penindasan kepada pihak yang lemah, atau berbagai tindakan jahat yang lain dianggap normal oleh generasi ini dan generasi setelahnya.

Sementara di peradaban yang lebih maju, tindakan salah dinyatakan salah, yang benar dinyatakan benar, di tempat kita kian sering terjadi yang sebaliknya: yang salah dibenarkan, yang benar disalahkan.

Salah satu yang menarik adalah kisah Subramanian Iswaran, seorang menteri senior Singapura, yang dijatuhi hukuman 12 bulan penjara salah satunya akibat mendapat tumpangan jet pribadi. Sikap tegas macam ini sangat dirindukan oleh jiwa-jiwa di negeri kita. Sudah waktunya menghadirkan pahlawan yang memberi harapan bagi tumbuh suburnya jiwa kebaikan di negeri ini.

Salah satu kisah kepahlawanan yang dekat dengan kita adalah kisah kepahlawanan tiga orang hebat dari PT Kereta Api Indonesia yaitu masinis Darman Prasetyo (25 tahun), asisten masinis Agus Suroto (24) dan teknisi Sofyan Hadi (21). Mereka adalah korban sekaligus pahlawan dari kecelakaan maut yang terjadi pada KRT rute Serpong-Tanah Abang pada hari Senin, 9 Desember 2013.

Saat itu KRL menabrak truk pengangkut premium berkapasitas 24.000 liter milik Pertamina di Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan. Dalam kecelakaan tersebut, terjadi ledakan yang menghanguskan gerbong paling depan. Tujuh orang meninggal dalam insiden tersebut, termasuk Darman Prasetyo, Agus Suroto, dan Sofyan Hadi.

Ilustrasi: Kereta Api. (Titch TV/Mathias Hariyadi)

Sofyan Hadi dan rekan-rekannya menunjukkan jiwa kepahlawanan. Salah satu penumpang yang selamat mengatakan bahwa Sofyan sempat keluar dari kabin masinis sebelum kecelakaan terjadi. Dia memberitahukan kepada para penumpang bahwa akan terjadi kecelakaan. Dia meminta penumpang yang ada di gerbong paling depan untuk menyelamatkan diri dengan berpindah ke gerbong di belakangnya.

Setelah itu, Sofyan sendiri tidak lari meninggalkan kedua rekannya di kabin masinis, tetapi memilih untuk kembali ke sana dan menutup pintu rapat sehingga semburan api yang terjadi tidak menjalar ke gerbong yang lebih jauh. Karena jasanya, jatuhnya korban lebih banyak bisa dihindari.

Meski bisa menyelamatkan dirinya, tetapi Sofyan dan kedua koleganya (sang masinis dan asisten masinis) mendahulukan kepentingan orang lain. Di usia yang sangat muda, ketiga pribadi ini sudah menunjukkan kemuliaan diri sebagai orang yang hidupnya layak diteladani. Kisah mereka tidak dikenal luas karena mungkin kita abai terhadap kepahlawanan macam ini.

Namun, kembali lagi, nama mereka diabadikan sebagai nama tempat penting. Nama Sofyan Hadi diabadikan di Balai Pelatihan Teknik Perkeretaapian di Bekasi. Sementara, nama masinis Darman Prasetyo terpampang di Balai Pelatihan Teknik Traksi Yogyakarta, dan nama asisten masinis Agus Suroto dipatrikan di Balai Pelatihan Operasional dan Pemasaran di Bandung. Terdapat juga prasasti di Stasiun tanah Abang untuk mengenang jasa mereka.

Sekali lagi, harapannya penyematan nama itu tidak sekedar sebagai simbol. Tapi untuk mengingatkan orang tentang jiwa kepahlawanan yang pernah hidup di hati pribadi-pribadi yang mengabdi di perkeretaapian Indonesia; masih tetap akan hidup di hati mereka yang melanjutkan darma pengabdian di jawatan yang sama.

Semoga saja, penyematan nama mereka tidak sekedar simbol semata.

Kiranya peringatan Hari Pahlawan menjadi sebuah panggilan bagi masyarakat di negeri ini untuk kembali mengingat jasa para pahlawan dan juga perjuangan hidupnya. Mereka tidak sempurna, dan perjuangan mereka tidak jauh beda dari perjuangan kita.

Beda antara mereka dan kita hanyalah mereka sudah terbukti mampu menjawab panggilan jiwa untuk mencintai negeri ini, sementara kita belum. Kelebihan kita adalah bahwa kita masih punya kesempatan, sementara mereka tidak lagi.

Teringat ungkapan besar yang dinyatakan oleh John F. Kennedy, Presiden Amerika, “Jangan tanyakan apa yang bisa negara berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang bisa kamu berikan kepada negara.”

Para pahlawan sudah menghidupi semangat ini, semoga kita pun juga. Pesannya hanyalah, “Menjadi baik di negeri ini masih mungkin dan kian penting.”

Martinus Joko Lelono

Pengajar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version