Rabu, 17 Februari 2021
Bacaan I: Yl 2:12-18
Bacaan II: 2Kor 5:20-6:2
Injil: Mat 6:1-6.16-18
UMAT Katolik dari rumpun komunitas Dayak Taman di Kapuas Hulu, Keuskupan Sintang di Kalbar mempunyai tradisi pantang.
Pantang dijalankan untuk menunjukkan rasa berkabung, karena ada anggota keluarga yang meninggal.
Pantang ini dijalankan oleh seluruh warga Rumah Betang. Mereka tidak boleh menyalakan api, membunyikan musik, nonton TV, menggunakan perhiasan; bahkan jam tangan mereka tanggalkan untuk sementara.
Masa pantang akan berhenti setelah keluarga mengadakan acara Buang Pantang, mengundang semua sahabat kenalan; khususnya orang satu Rumah Panjang untuk makan bersama.
Tujuan pantang adalah menunjukkan menghormati orang yang telah meninggal dan memberi kesempatan keluarga untuk menata batin atas kepergian orang yang mereka cintai.
Rabu Abu
Hari ini, Gereja Katolik memasuki Masa Prapaskah yang ditandai dengan penerimaan abu.
Gereja mengajak kita memasuki Retret Agung dengan pantang dan puasa.
Tujuan berpantang dan puasa bukan untuk berkabung, melainkan menemukan kembali tujuan kehidupan kita di dunia ini.
Kita ini berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah.
Nabi Yoel menyerukan, “Sekarang,” beginilah firman Tuhan, “berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan mengaduh.”
Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang.
Allah kita pengasih penyanyang, Dia melihat apa yang tidak dilihat manusia. Dia menatap yang tersembunyi.
Maka hidup keagamaan kita hendaknya kita lakukan demi Allah, bukan untuk dipamerkan kepada sesama.
Pantang dan puasa ala Gereja bukan pada larangan ini-itu. Bukan soal boleh-tidak boleh. Tetapi sejauh mana kita semakin menemukan Tuhan dalam diri sesama; khususnya yang menderita, sakit, dan terlantar.
Pantang dan puasa mengajak kita untuk berbagi dari diri sendiri. Apa yang kita miliki untuk kesejahteraan bersama.
Pantang dan puasa seperti apa yang akan kita jalankan di masa pandemi seperti ini?