Home BERITA Papi Minggat tanpa Berita

Papi Minggat tanpa Berita

0
Ilustrasi - Orangtua mengajak anaknya jalan-jalan. (Parenting)

BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.

Rabu, 6 Oktober 2021.

Tema: Wajah manusiawi.

  • Yun 4; 1-11.
  • Luk 11: 1-4.

SANG Ilahi menapaki jalan-jalan kecil manusiawi. Ia berjalan dari desa ke desa. Dari satu kota ke kota yang lain. Ia mewartakan Kerajaan Allah. Kerajaan kasih dan keadilan. “Barangsiapa yang telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” Lih Yoh. 14: 9b.

Ia mengajari doa Bapa Kami.

Demikian juga bagi kita yang beriman kepada Yesus. Setiap gerak dan langkah kita, kendati kecil dan sederhana, menuju sesama dapat juga sekaligus menjadi sebuah jalan yang mendekatkan kita kepada Bapa dalam kasih-Nya.

“Mo, papi pergi. Gimana ini, Mo. Kami khawatir kalau terjadi apa-apa. Papi pergi begitu saja, tidak membawa apa-apa. Sudah dicari di tempat orangtuanya, tapi tidak ada.

Sudah pula tanya ke saudari Papi, juga tidak tahu. Sudah ditanya ke orang-orang dekat Papi, juga tak ada informasi. Kami sekarang bingung. Kami merasa kehilangan. Kasihan dengan Papi,” tangis seorang puteri.

“Lah, gimana dengan Mami?” tanyaku gugup.

“Mama pusing. Sekarang agak meriang, sakit demam memikirkan Papi juga. Mami menyerah. Takut sakitnya sendiri kambuh,” jawabnya terengah.

Kunjungan pastoral

“Apa sih yang telah terjadi?” tanyaku kemudian.

“Begini Romo. Hati saya lagi kesel. Saya capek banget. Hati saya tidak enak. Saya lagi marahan sama suami.

Memang suami saya orangnya baik. Orangnya lembut. Tapi mudah tersinggung. Saya memang tidak menuntut dia bekerja keras. Saya tahu dia gampang stres. Apalagi kalau bukan bidangnya. Saya hanya ingin dia membantu saya, memahami saya.

Kami sudah lama berkeluarga. Anak-anak mulai besar. Tentu mereka memerlukan figur seorang ayah yang lebih tegas. Ayah yang dapat memutuskan. Seorang ayah yang dapat mendidik anak.

Tidak menurut dan mengikuti apa kata anak. Semua permintaan anak selalu di-iyakan. Dia mengambil hati anak. Kalau dia tak sanggup, selalu berkata, terserah Mami. Namun kalau saya memutuskan sebaliknya, dengan ringan ia berkata, ‘Begitulah Mamimu. Papi bisa apa?.

Kami sering ribut. Seakan-akan saya jahat di mata anak. Ia selalu membela. Dia berdalih, kasihan anak, masa kecilnya bisa stres. Hanya soal kecil kenapa dilarang. Biarkanlah anak berkembang dengan aman dan nyaman. Biarkan mereka yakin dan  percaya, orangtua ada untuk mereka. Toh yang kita miliki akhirnya untuk anak sendiri,” demikian mami berkisah.

“Wah itu ide bagus. Bahan baik untuk bicara bersama demi kebaikan semua. Kenapa pergi?”

“Ya itulah Romo. Saya pun tidak mengerti. Memang, itu bisa menjadi bahan yang baik. Dia selalu memanjakan dan menuruti kata anak. Bahkan sebagai ‘pembantu’ anak-anak. Mungkin ia sedang sensi dan saya marah, temperamental. Saya memang marah dan dia tahu temperamen saya,” jelas mami.

“Maksudnya?”

“Iya. Saya dari keluarga yang sederhana. Saya kasihan ke Mama. Saya tidak meneruskan sekolah. Saya bekerja ikut paman di luar kota. Saya bekerja mati-matian. Saya diperlakukan sebagai pegawai. Bahkan malam pun harus menghitung bahan-bahan bangunan yang datang; menyeleksi mana yang bisa diterima mana yang tidak.

Pekerjaan dan kehidupan yang keras itu saya lakukan karena saya ingin membantu orangtua. Saya terbentuk mempunyai prinsip dan tegas.

Saya harus berani tidak menerima barang-barang yang cacat, tidak layak daripada saya dimaki-maki. Akhirnya saya menjadi pribadi berani dan percaya diri, berani mengambil risiko,” begitu mami berkisah.

“Saya lalu memberanikan diri berusaha sendiri. Apa pun saya lakukan asal mendatangkan untung. Saya mati-matian bekerja. Apa pun barang-barang yang dibutuhkan saya sediakan. Usaha saya sangat berkembang.

Suami, termasuk pribadi yang sederhana; menerima apa adanya. Tapi menurut saya kurang ulet dan gigih. Ia terlalu lembut dan baik. Itulah, satu hal yang saya suka dari dia. Tidak pernah macam-macam dan aneh-aneh.

Ia orang rumahan, selalu ada untuk keluarga. Mati-matian membela anak-anak. Baginya dan sebenarnya bagi saya juga, anak-anak adalah hadiah dan harta yang tak tergantikan.

Hanya cara mendidik kami yang berbeda. Keributan kami selalu masalah anak, bukan masalah pribadi atau relasi,” begitulah inti kisahnya.

Kalau Yesus mengajarkan doa Bapa Kami, bukankah segi ke-orangtua-an kita merupakan sebuah pelayanan cinta dan pengorbanan hati bagi keluarga kita?

Tuhan, temani dan kuduskan keluargaku. Amin.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version