ACARA Jubelium 50 tahun STFT Fajar Timur di Abepura, Papua menjadi momen bagus untuk menakar sejauh mana kita masing-masing menanggapi peristiwa itu secara positif. Memang, menjadi pekerja di kebun anggur itu artinyaa bisa bekerja dimana saja. Namun, di balik itu kita masih terus diajak berupaya menguasai diri untuk akhirnya bisa merebut simpati banyak orang.
Pesta syukur itu menjadi momentum untuk berefleksi, menggali lagi visi dan misinya yang relevan untuk kemudian menetapkan komitmen yang lebih intensif lagi. Misalnya merespon keinginan banyak orang sebagaimana muncul dalam forum sharing alumni dan umat agar STFT bisa semakin melibatkan diri dengan banyak urusan yang terjadi di masyarakat. Jangan sampai, kata mereka, STFT terisolasi dari masyarakat dan hal itu dirasakan sudah lama terjadi.
Baca juga: Papua: 50 Tahun STFT Fajar Timur, Tempat Para Frater Calon Imam Belajar Filsafat dan Teologi (1)
Usai perayaan misa, Uskup Keuskupan Timika Mgr. John Philip Saklil mengungkapkan hal ini. STFT Fajar Timur bisa berkembang berkat bertambahnya jumlah mahasiswa. Sebagai indikator, kata dia, sudah semakin banyak orang muda mau menjadi pelayan Gereja. “Sekarang sudah 200-an lebih mahasiswa dan jumlah itu terus bertambah banyak. Namun harus disadari juga terbatasnya sarana, termasuk tenaga dosen. Dalam kurikulum sekarang, STFT lebih prioritaskan pendidikan calon imam,” tambah Mgr. Saklil.
Namun, STFT Fajar Timur juga tak menutup pintu bagi kaum awam yang ingin belajar filsafat dan teologi untuk status non tertahbis. Usai studi, kapasitas dan komitmen mereka tetap berguna bagi Gereja Lokal untuk misi pewartaan.
Dalam menyiapkan calon-calon imam yang nantinya akan berkarya di Papua, demikian harapan Mgr. Saklil, para frater mahasiswa ini diminta tumbuh kreatifitasnya dengan kemampuan menganalisis kondisi sosial, mampu kritis melihat persoalan-persoalan Papua secara lebih komprehensif. Itulah sebabnya, STFT membekali para frater dan kaum awam yang menjadi mahasiswanya dengan ilmu-ilmu sosial seperti antropologi, sosiologi, dan metode penelitiansebagai bekal ilmiah untuk menyiapkan para imam dan awam itu punya sikap ilmiah pula.
Dulu jumlah mahasiswa sedikit
Dua alumninya adalah Mgr. Aloysius Murwito OFM dan Mgr. John Philip Saklil Pr. Mgr. Aloysius Murwito adalah mahasiswa angkatan ke-5 pada tahun 1973. Saat itu, kata dia, jumlah mahasiswa frater hanya berjumlah 12 orang. Satu kelas paling berisi 30 orang. Mereka berasal dari tiga Keuskupan: Merauke, Jayapura, dan Agats.
Dari 30 orang itu sebagian besar jadi adalah awam. Dari 12 calon imam tiga diantaranya jadi imam sementara lainya berkarya sebagai petugas awam Gereja. Lainnya lagi bekerja di pemerintahan.
Harapan terhadap STFT diungkapkan Diakon Didimus Temongmere, alumnus tahun 1973. “Ke depan lembaga pendidikan tinggi calon imam ini agar lebih memperhatikan kondisi orang-orang lokal Papua. Juga bisa memberi perhatian lebih kepada pembinaan keluarga dimana benih panggilan di keluarga-keluarga Katolik bisa tumbuh bersemai,” ungkapnya.
Dari keluarga-keluarga katolik itu akan muncul calon-calon biarawan-biarawati dan para imam. “Mereka yang kemudian menjadi imam tertahbis, kita wajib mengucapkan terima kasih. Sementara kepada mereka yang berkarya sebagai awam, kita tetap membutuhkan peran penting kaum awam katolik yang andal, yang bisa berkarya di semua area kehidupan, baik bisnis ekonomi maupun politik,” demikian harapnya.
“Kita tak boleh alergi dengan politik. Justru Gereja harus hadir di sana, menjadi ‘nabi’ untuk meluruskan dinamika politik ke arah yang lebih baik. Kita tak hanya bicara seputar altar, melainkan bicara politik sehari-hari yang berkembang di masyarakat, terutama membawa suara kenabian di pemerintahan,” tegas Didimus Temongmere.
Terus berubah untuk berkembang maju
Ketua STFT Fajar Timur, Pastor Neles Tebay Pr dalam sambutannya mengungkapkan, selama setengah abad ini, lembaga pendidikan tinggi calon imam dan kaum awam ini terus mengalami perubahan-perubahan. Dinamika perubahan menuju perkembangan yang semakin maju itu harus terus berjalan demi memenuhi tuntutan internal dan eksternal. “Antara kebutuhan Gereja sesuai konteks perkembangannya. Satu sisi lainnya adalah kebutuhan eksternal yakni menjawab tuntutan luar, misalnya, kebutuhan dari pemerintah lokal,” ungkap imam diosesan Keuskupan Jayapura lulusan Italia ini.
Catatan historis
STFT Fajar Timur sebagai lembaga pendidikan tinggi formal untuk pembentukan calon imam dan tenaga pastora awam sepanjang sejarahnya telah mengalami sejumlah perubahan sebagaimana tercatat dalam perubahan nomenklatur nama lembaga ini. Saat pertama kali berdiri tahun 1967, nama lembaga ini adalah Akademi Teologia Katolik( ATK).
Pada tahun 1973, namanya berubah menjadi Sekolah Tinggi Teologia Kayolik (STTK). Lalu 11 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1984, diberi nama baru Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur. Nama yang terakhir ini menjadi paten hingga sekarang.
Sebagai pimpina lembaga, Pastor Neles Tebay mengajak semua pemangku kepentingan untuk melihat kembali lima dekade perjalanan lembaga ini. “Kita berkumpul di sini untuk berbagi pengalaman dan menjadikannya kekuatan yang memampukan kita menatap ke depan, menghadapi tantangan dengan senantiasa terus memperbaharui diri,” paparnya.
Pastor Jhon Jonga Pr yang juga seorang aktivis kemanusiaan berharap agar para alumni punya semangat besar untuk berkontribusi memajukan masyarakat lokal di Papua. Di antaranya memikirkan pola pewartaan yang kontekstual untuk menjawab tantangan zaman. Di antaranya adalah kemampuan merespon isu-isu kemanusiaan seperti pelanggaran HAM dan pentingnya memajukan kesejahteraan umum.
Saatnya semakin dekat dengan masyarakat
“Setelah 50 tahun, saya pikir visi misi itu perlu direfleksikan kembali agar hal itu lebih menyentuh semakin membumi dengan kondisi sosial masyarakat. Cara penginjilan dewasa ini memang tak bisa disamakan dengan kondisi 50 tahun lalu,” ungkap Pastor Jhon Jonga.
Kondisi para penginjil atau petugas Gereja abad ini, ungkapnya, kadang masih berlaku, berjalan dengan cara-cara pendekatan misionaris zaman dulu. Padahal, pola pendekatan ini perlu diperbaiki. Penginjilan dewasa ini terjadi di tengah dunia makin global, dimana aspek-aspek kehidupan orang Papua semakin dirongrong, hak hidupnya makin terancam. Masalah lain berkaitan dengan kondisi ketahanan pangan lokal, budaya lokal dan sumber daya alam yang semakin terkuras habis.
Kondisi ini mengajak penginjil agar mampu menunjukkan keberpihakannya dimana Gereja harus lebih berpihak pada komunitas, pada kelompok umat komunitas basis yang ada di seluruh tanah Papua yang sering mengalami perilaku kekerasan, ketidakadilan, mengalami buruknya pelayanan publik di bidang pendidikan seperti yang masih terjadi saat ini.
Fokus pemikiran ini harus dijalani dan mendapat atensi oleh para sarjana alumni STFT Fajar Timut Teologia berorientasi pada pengembangan masyarakat Papua. Secara umum, kata dia, Otonomi Khusus Papua lewat Undang-undang No. 21 Tahun 2001, perlu ditegakkan. “Teman-teman pastor di lapangan harus berada pada posisi bagaimana hak-hak masyarakat Papua itu harus senantiasa diperjuangkan,” ungkapnya.
Rangkaian acara
Seluruh rangkaian peringatan jubelium 50 Tahun STFT Fajar Timur berlangsung dalam beberapa kegiatan. Di antaranya perayaan umat di semua paroki dalam bentuk misa khusus untuk STFT, kolekte khusus.
Rangkaian acara di Kampus Yerusalem Baru telah berlangsung sejak tanggal 8-11 Oktober 2017 berupa selebrasi, reuni alumni, aneka lomba, permainan, pertunjukan seni dan budaya, rekreasi hingga perayaaan liturgis sebagai puncak acara pada hari Selasa (10/10/2017) lalu di halaman Kampus Yerusalaem Baru Kompleks STFT Fajar Timur Abepura.