Home BERITA Para Simbok yang Heroik, Berjuang dan Berdoa demi Anaknya (2)

Para Simbok yang Heroik, Berjuang dan Berdoa demi Anaknya (2)

0
Para Ssmbok yang heroik, berjuang dan berdoa demi anaknya (Romo Koko MSF)

PENULIS Liem Tjay mendapat pencerahan tentang sosok Ibu yang menerima abu Romo Heru, lewat tulisan Romo Markus Marlon dalam bukunya Permenungan Kematian (2018).

Kisah-kisah tentang seorang ibu yang heroik sudah dikisahkan sepanjang masa.

  • Mulai dari Olympia, ibu Alexander Agung.
  • Maria, ibu Yesus yang terlukis dalam “Pieta”-nya Michelangelo (1475-1564).
  • Santa Monica, ibu Agustinus (345-430).
  • Tentu juga para ibu lainnya.

Mereka mau menderita demi anaknya. Sama seperti Rembrandt (1606-1669) yang melukis ibunya dengan wajah yang sangat menderita. Penderitaan sang ibu itu dari sejak dalam pangkuannya hingga ke liang kubur (bdk. “Pieta”).

Bahkan seorang ibu rela mengikuti via dolorosa– jalan salib yang dilalui puteranya. Seorang ibu akan rela menggantikan penderitaan yang sedang dialami anaknya. Bahkan ketika anaknya meninggal, seorang ibu rela berjaga dengan “lembah air matanya”.

Inilah yang pernah ditulis sastrawan Ingris, Rudyard Kipling (1865-1936): “Sekiranya aku digantung di puncak gunung tertinggi, o ibuku, ya ibuku.”

Tak heranlah bahwa lagu untuk Maria, senantiasa berujung pada “kematian”.

Doa bahasa Jawa,“Sembah Bekti” ditulis, “Nyuwun pangestu dalem samangke tuwin benjang dumugi ning pejah” – doakanlah kami sekarang dan waktu kami mati.

Ibu, moga-moga engkau mendampingi saya, waktu hidup, tetapi juga waktu saya harus memisahkan diri dari dunia ini “nunc et in hora mortis meae”.

Airmata seorang ibu untuk anaknya. (Ist)

Permenungan pribadi atas simbok

  • Pengorbanan ibu untuk anak-anaknya sungguh luar biasa dan amat mendalam. Hal ini dilukiskan dengan apik, dramatis oleh Iwan Fals, dalam syair lagu:

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki
Penuh darah penuh nanah
……………

Semua letih ibu buat anaknya adalah “ketulusan”.

  • Sebesar apa pun pengorbanan anak terhadap ibu, tak ada bandingnya dengan pengorbanan ibu kepada anaknya. “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak [cuma] sepenggalah”.
  • Tak ada apa-apanya, apabila kasih dari anak kepada ibu dibanding dengan kasih ibu terhadap anak.

Kasih ibu seperti “udara”, yang memenuhi seluruh ruang hidup, yang membuat kehidupan menjadi hidup.

  • Tatkala anak tengah terpuruk, kala itu ibu adalah tempat bersandar.

Ibu merupakan tempat “tetirah” yang tepat.

Pada pangkuan bunda segala keluh-kesah anak ditumpahruahkan.

  • Dalam syair lagu Gelas-gelas Kaca nyanyian Nia Daniaty dilukiskan dengan kalimat:

…………….
Gelas-gelas kaca
Bunyikan suara
Di manakah aku kini
Sepi yang mencekam
Menusuk hatiku
Kemana aku melangkah
Aku ingin pulang

Ke pangkuan ibunda sayang.

Permenungan pribadi atas “abu”

  • Abu mengacu pada sisa-sisa benda yang dibakar. Mengacu pada kemusnahan sesuatu yang ada menjadi tiada, Kesia-siaan dan tidak punya arti lagi. Kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia (Pengkhotbah 1:2).
  • Aku diciptakan dari debu tanah (Lihat Kej. 2, 7), dan suatu saat aku akan mati dan kembali menjadi debu.
  • Menjadi abu artinya aku meninggalkan kesendirian-ku, dengan segala kesombongan, sifat egois, segala hal yang merusak identitas-ku sebagai anak-anak Allah, yang telah ditebus oleh darah Kristus.

Makanya, aku jangan menjadi orang sombong, apalagi kaum berjubah seperti diriku sering jatuh dan terpeleset dalam kesombongan dan kepameran diri sebagai yang diberi kuasa, jabatan, fasilitas, yang disegani dan dihormati.

Begitukah diriku?

  • Kesadaran bahwa aku adalah abu membantuku untuk melihat orang lain.

Aku dan semua umat manusia berasal dari abu tanah dan akan kembali ke abu, maka tidak perlu ada yang disombongkan. Tidak perlu seorang pun merasa lebih hebat dari orang lain lalu memandang rendah orang lain.

Musoleum di Kaliori, Kabupaten Banyumas, yang menjadi tempat peristirahatan para imam OMI yang sudah meninggal dunia. (Romo NIco Setiawan OMI)

Tidak pernah meminta balas

Memang, ibu tanpa pamrih, tak mengharap balas terhadap apa yang telah dilakukannya untuk anaknya, seperti tertulis dalam syair lagu anak Kasih Ibu karya Ibu Sud berikut ini.

Kasih ibu,
kepada beta
tak terhingga sepanjang masa

Hanya memberi,
tak harap kembali,
Bagai sang surya, menyinari dunia.

Meskipun ibu “tak pernah meminta balas” kepada puteranya akan segala pengorbanan (bakti) yang telah diberikan terhadap anaknya, tetapi adalah suatu “kewajiban’ bagi anak untuk berbalas bhakti kepada ibunya”.

Tepian Serayu, Banyumas

Pesta Malaikat Agung, 29 september 2021

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version