BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.
Jumat, 10 September 2021.
Tema: Sukacita perutusan.
- Bacaan 1 Tim. 1: 1-2, 12-14.
- Luk. 6: 39-42.
SIAPAKAH saya? Kita?
Saya, juga kita, adalah Gereja, kumpulan Umat Allah. Gereja yang sedang berziarah menuju Kerajaan Allah. Penggerak dan inisiatornya adalah Allah sendiri. Ia sendiri yang memilih kita; menarik kita sedekat mungkin dengan Putera-Nya.
Gereja pertama-tama adalah karya Roh Kudus. Rohlah yang mengubah dan memampukan kita menanggapi kasih-Nya.
Beriman berarti mensyukuri rahmat kasih Allah yang kualami, sekaligus hidup yang ber-keadilan. Ziarah Gereja, kita bersama-sama, selalu dalam proses dan ketegangan antara Kasih Allah dan hidup ber-keadilan. That’s all.
“Romo saya mulai stres nih. Semakin saya terlibat dalam kegiatan gerejani, menjadi salah satu pengurus, selalu ada hal-hal yang membuat bingung; tidak tahu bagaimana menjelaskan,” keluh seorang ibu penggiat paroki.
“Apa itu?”
“Begini romo. Saya ditunjuk menjadi anggota salah satu organisasi paroki. Bersama yang lain, kami membantu umat berjalan bersama dalam iman dan kebenaran.
Kami dipilih atas kehendak umat yang melalui komunitas memilih kami sebagai wakil mereka. Sekaligus bekerjasama dengan tim pastores pastor paroki. Artinya, bersama romo-romo di paroki.
Tentu setelah melalui pertimbangan dan disetujui oleh tim pastores paroki, kami disertakan dalam menjalankan pelayanan gerejani,” jelasnya mengawali kisah serunya.
“Bersyukurlah. Murnikan motivasi,” ujarku memberi semangat.
“Namun, begitu mau lebih terlibat, saya malah mengalami banyak kebingungan. Mendadak serasa menjadi orang bego. Bahkan juga sering di-bego-bego-kan.
Semestinya ‘kan mereka itu mau mendengarkan umat terlebih dahulu. Juga bersedia menemukan hal-hal baik yang juga perlu mereka dengar dan ketahui.
Tapi, ini malah terkesan mewakili kemauannya sendiri. Dan itu tampak muncul, setiap kali terjadi rapat. Selalu saja ada pendapat-pendapat keras yang seakan-akan hanya pendapatnya sendiri yang paling benar, yang harus dijalankan. Bahkan sering kali terkesan mau mengancam,” katanya.
Pundung, bila gagasannya lalu dipertanyakan dan kemudian tidak menjadi keputusan akhir rapat. Hal-hal sepele dan sentimen pribadi jurung lebih sering menyita waktu rapat.
Saya pribadi merasa lelah dengan semua kekonyolan macam ini.
Fungsi-fungsi kepemimpinan yang menyatukan, partisipatif, subsidiaritatif dan berorientasi pada pengutusan itu malah kadang terlupakan loh, Mo,” tegas ibu itu mengeluhkan karakter para pastor bermental sotoy.
“Gesekan-gesekan itu semakin terasa, bila kesediaan mau mendengarkan pihak lain dalam bimbingan Roh itu semakin menghilang. Tanpa sadar, budaya “luar” Gereja lalu ikut masuk dalam kebersamaan iman. Tidak mau hadir, bila sudah tersinggung. Kalau hadir pun, hanya duduk diam mengamati. Tapi tiba-tiba nyerocos berteriak, bila menemukan ketidaktepatan.
Belum lagi kepemimpinan pastor paroki. Reksa pastoral tim pastores pun tidak lepas dari corak dan minat pribadi pastor. Namun syukurlah di banyak keuskupan sudah ada buku “Pedoman Dewan Pastoral Keuskupan” yang menjadi acuan bersama.
Saya sih ingin melaksanakan pengutusan saya dengan menjalankan apa yang terbaik menurut job description. Saya tidak ingin masuk pada kelompok-kelompok tertentu yang kadang tanpa sengaja saling berhadapan. Pemurnian motivasi selalu saya usahakan. Dan kadang saya harus berjalan sendiri. Memanglah melangkah bersama itu tidak gampang, Mo.
Kadang saya berpikir harus netral. Kepada siapa pun, saya tidak berpihak. Hanya, apa yang membuat umat bergembira, mensyukuri Kasih Allah dan bersama-sama mengupayakan agar menjadi berkat bagi yang lain. Semakin saya konsisten pada apa yang saya yakini kadang para pelayan lain malah bentrok. Terkesan ada kubu-kubu. Bukankah itu melemahkan misi bersama.
“Apa yang harus saya lakukan pastor?” tanyanya kritis.
“Ikuti suara hatimu. Sesuatu yang berasal dari Roh Kudus tentu tidak akan bertentangan satu sama lain. Itulah rahmat kesatuan yang dialami Gereja Katolik sepanjang masa. Roh itu menjatukan, mendamaikan dan mendorong berjalan bersama menuju Tuhan. Tentu dalam sukacita injil dan kegembiraan manusiawi,” jawabku.
“Lalu, itu persisnya bagaimana? Apa yang sebaiknya saya lakukan?” tanyanya lagi.
“Percayalah ini. Paroki bukan bangunan asing bagi umat atau sekelompok orang pilihan yang hanya memperhatikan diri mereka sendiri. Gitu ya,” jawabku.
Paulus bangga akan pengutusan-Nya, “Aku bersyukur kepada Dia yang menguatkan aku, yaitu Kristus Yesus, Tuhan kita, karena Ia menganggap aku setia dan mempercayakan pelayanan ini kepadaku.” ay 12.
“Dapatkah orang buta menuntun orang buta?” Kata Tuhan, ay 39.
Tuhan, mampukan aku berjalan bersama. Amin.