Home BERITA Pastor Herman Joseph Stahlhacke MSF: Misionaris di Kalteng dan Kalsel, Yang Penting...

Pastor Herman Joseph Stahlhacke MSF: Misionaris di Kalteng dan Kalsel, Yang Penting Kumpul (3)

0
Romo Herman Joseph Stahlhacke MSF.

“PADA umumnya Masyarakat Dayak waktu itu memiliki usaha atau pekerjaan dan terutama tinggal di ladang atau kebun dan hanya berkumpul pada kesempatan kematian atau upacara pernikahan.”

“Karena itu, imam misionaris senior, Pastor Zoetebier MSF mengajari saya, “Herman, yang penting adalah bahwa mereka berkumpul untuk sembahyang bersama; sembahyang apa saja, tidak penting,’ Hanya itu saja,” demikian kenangnya.

Dari kebiasaan kumpul untuk berdoa bersama, para misionaris dan dibantu awam mulai mengajarkan doa-doa dan membacakan Kitab Suci kepada mereka. Setiap kali mengadakan kunjungan atau torne, para Pastor tidak lupa membawa obat-obatan.

Tidak ada dokter pada waktu itu, sehingga pastor sekaligus menjadi dokter. Selain mengobati secara rohani yakni merayakan Ekaristi, para misionaris juga memberi pelayanan jasmani berupa pemeriksaan kesehatan dan pemberian obat-obatan.

Bantuan kesehatan diberikan kepada siapa saja tanpa memandang agama atau suku.

“Banyak yang mulai menjadi Katolik karena merasa bahwa pastor itu baik. Pastor selalu membawa obat-obatan dan melayani dengan senyum. Pengalaman itu mereka teruskan kepada anggota keluarga yang lain, sehingga banyak yang menjadi Katolik,” ujarnya.

Hal lain yang membuat banyak orang memilih menjadi Katolik adalah karena figur ‘teladan’ dari pemimpin agama.

Pernah suatu ketika, seorang Tetua Kaharingan mendatangi Pastor Stahlhacke dan mengungkapkan bahwa umat Kaharingan mengalami kekurangan Tukang Belian.

Peran Tukang Belian ini sangat penting, karena menjadi penghubung antara dunia bawah dan dunia atas.

“Warga membutuhkan Tukang Belian. Namun karena kekurangan, mereka mencari figur yang bisa membantu kerohanian mereka. Kebanyakan di antara mereka memilih menjadi Katolik,” kisahnya.

Mendatangkan umat, membentuk katekis wilayah

Pada tahun 1972 Paroki Buntok dimekarkan lagi sehingga menghasilkan Paroki Ampah dan Pastor Stahlhacke menjadi Pastor Paroki Ampah yang pertama. Pada waktu pemekaran, jumlah keluarga di pusat Paroki adalah 3 KK, umat yang lain menyebar di kampung-kampung.

Jumlah tersebut sungguh tidak ideal. Maka pada tahun itu juga, ia mengajak umat Katolik di daerah yang agak susah usaha-usahanya yaitu di Murutuwu dan Balawa (wilayah Tamiang Layang) dan mendatangkan 12 KK ke Ampah, Pusat Paroki.

Ia membeli tanah dan membantu membangun rumah mereka di Mantaliau.

“Mereka itu tukang gayat sehingga bisa membangun rumah sendiri, sambil jualan papan-papan dan sebagainya. Pada waktu yang sama, Br. Yan Lanslots MSF, Ketua Komisi PSE Keuskupan, membantu mereka dalam bidang pertanian dengan membuat sawah dan mendirikan PLP (Pusat Latihan Pertanian) di Ampah” ceritanya.

Dengan demikian, pada tahun 1975, jumlah keluarga di Pusat Paroki Ampah berjumlah 15 KK, sedangkan jumlah keseluruhan umat paroki Ampah waktu itu adalah 2.378 jiwa.

Tiga tahun kemudian, jumlah umat terus berkembang hingga mencapai angka kurang lebih 3000 jiwa. Dengan jumlah ini ditambah dengan medan yang luas, akhirnya tahun 1979, paroki ini dimekarkan sehingga lahirlah Paroki Tamiang Layang.

Pastor Stahlhacke berkarya di Paroki Ampah sampai tahun 1981.

Pada pertengahan tahun 1981, Pastor Stahlhacke mendapat tugas di Paroki Pangkalan Bun menggantikan Pastor Josef Mohr MSF.

Di tempat baru ini, imam yang ramah tapi tegas ini tetap menerapkan sistim ‘Katekis Wilayah’.

Ia merekrut dan mengangkat orang-orang untuk menjadi katekis yang bertugas di wilayah yang ditetapkan. Mereka tidak hanya mempersiapkan katekumen atau mengajar agama tetapi juga menjadi Saksi utama perkawinan.

“Mgr. Demarteau, Uskup Keuskupan Banjarmasin waktu itu, mengusahakan untuk mendapat izin dari instansi resmi di Roma agar para katekis wilayah menjadi saksi resmi, testis qualificatus pada penyelenggaraan Sakremen Pernikahan dengan beberapa syarat. Sebab sebelumnya hampir semua pernikahan dilaksanakan secara adat dulu, karena Pastor sulit dihubungi. Mereka juga menjadi petugas pencatatan sipil yang diakui oleh negara,” kisahnya.

Perkembangan umat Katolik diwilayah ini cukup pesat. Dengan demikian, Paroki Pangkalan Bun dipecah sehingga menghasilkan Paroki Nanga Bulik.

Pada awalnya, seorang imam Maryknoll, P. Jerry Wickenhauser MM membantu di Nanga Bulik, tetapi tidak lama karena sakit dan kembali ke Amerika.

Pastor Dwija Iswara MSF dibenumkan di Pangkalan Bun untuk membantu Pastor Stahlhacke yang pada saat yang ssama melayani Paroki Nanga Bulik yang sangat luas.

“Peran para Katekis Wilayah menjadi sangat penting untuk Paroki Nanga Bulik,” tegasnya.

Pastor Herman merayakan Ekaristi. (Dok MSF Kalimantan)

Jumlah stasi dari paroki tersebut waktu itu berjumlah 50 stasi dan dilayani oleh satu imam. Oleh karena itu, para Katekis Wilayah diajak untuk membantu.

Masing-masing Katekis Wilayah bertanggung jawab untuk daerahnya, supaya kehidupan menggereja terus berjalan.

Setiap tiga bulan mereka berkumpul di Nanga Bulik selama 3 hari dengan agenda untuk evaluasi, rekoleksi dan membuat perencanaan untuk tiga bulan berikutnya.

Mereka juga dibekali dengan sejumlah obat-obatan sederhana untuk membantu masyarakat di wilayahnya.

Setelah tiga tahun berkarya di Paroki Pangkalan Bun, Pastor Dijiwa dipindahkan ke tempat lain dan untuk sementara Pastor Stahlhacke melayani seluruh Paroki di wilayah tersebut.

Tidak lama, terjadi pemekaran Paroki baru yaitu Sukamara, dan Pastor Heinrich Stroh MSF menjadi pastor paroki tersebut.

Sebelum Purna Karya

Pada Januari 1990, Pastor Stahlhacke dipilih oleh anggota-anggota MSF Kalimantan menjadi Provinsial.

Sejak saat itu beliau menetap di Banjarbaru, membangun Provinsialat MSF baru dan mendirikan Postulat MSF Kalimantan. Selama sembilan tahun atau tiga periode beliau menahkodai Kongregasi Imam Misionaris Keluarga Kudus (MSF) Provinsi Kalimantan.

Setelah menjabat provinsial, Pastor Stahlhaceke kembali bertugas sebagai Pastor Paroki Muara Teweh yang waktu itu masih meliputi wilayah Paroki Kandui dan Maranen atau PIR-Butong.

Selain karya pastoral biasa, ia membuka kembali asrama-asrama yang sudah lama ditutup. Ia juga terlibat aktif dalam mendirikan Credit Union (CU).

Tugas lain yang menyita banyak waktu dan tenaga adalah membangun gereja Paroki St. Maria la Salette Muara Teweh karena gereja lama tidak mampu lagi menampung jumlah umat yang terus bertambah banyak.

Pada tahun 2008, ia dibebastugaskan sebagai seorang Pastor Paroki oleh Mgr. AM Sutrisnaatmaka MSF sesuai dengan aturan hukum Gereja Katolik, karena telah mencapai usia 75 tahun.

Pastor Herman Joseph MSF.

Ia dipindahkan ke Ampah, menjadi Pastor Rekan dari Pastor Atsui MSF dan mengambil alih tugas pengelolaan PLP (Pusat Latihan Pemberdayaan) untuk sementara waktu sampai dengan akhir tahun 2012.

Pada tahun 2010, Tarekat MSF memberi tugas kepadanya untuk membangun Pusat Kerasulan dan Biara Sacra Familia di Urup Ampah yang kemudian diresmikan dan diberkati oleh Mgr. AM Sutrisnaatmaka MSF pada 24 September 2012.

Setelah pemberkatan, beliau sempat menetap di biara ini dengan tetap membantu melayani perayaan Ekaristi di Paroki Ampah sampai April 2019.

Saat ini, Pastor Stahlhacke menghabiskan masa tuanya di Wisma Simeon Banjarbaru di Banjarmasin, Kalsel.

Meninggalkan negeri kelahirannya, ia mengepak sayap misi dan terbang seperti burung enggang menjangkau Tanah Miisi di Borneo. Tak ada penyesalan sedikit pun karena telah membatalkan kesepakatan bersama untuk menjadi seorang tukang cukur rambut pada seorang majikan.

Rupanya suara panggilan yang datang begitu tiba-tiba itu ternyata mengantar dia untuk mengabdi pada Sang empunya Tuaian itu, menjadi misionaris-Nya.

Ia dipanggil dan dipilih bukan untuk memangkas rambut melainkan untuk merawat dan menumbuhkan benih-benih di ladang Tuhan hingga ke tanah Kalimantan. Ia tidak sendirian. Ia bermisi bersama umat, bersama kaum awam yang militan.

Di masa-masa tuanya sekarang, ia boleh tersenyum karena benih-benih pewartaan yang ia tanam dengan penuh perjuangan, sedang memancarkan kuntum-kuntum indah dan menghasilkan buah-buah yang berguna demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan manusia. (Selesai)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version