Home BERITA Pastor Pedalaman Kaltim di Hari Minggu: Kisah Pastoral Liem Tjay (1)

Pastor Pedalaman Kaltim di Hari Minggu: Kisah Pastoral Liem Tjay (1)

0
Pastor mesti mencuci kaki sebelum masuk Gereja Transmigrasi Stasi Sebakung, Paroki Penajam, Keuskupan Agung Samarinda, Kaltim. (Dok. Liem Tjay)

“BISA berteman, diterima dalam UNIO Praja Keuskupan Agung Samarinda” merupakan kebanggaan dan sukacita bagi Liem Tjay.

Mengapa? Liem Tjay dapat menjadi bagian kehidupan Keuskupan lewat setiap pribadi imam diosesan maupun frater.

Persaudaraan dalam wadah UNIO Praja dialami dan direfleksikan sebagai salah satu sisi perjalanan hidup Liem Tjay sebagai imam-Nya yang diutus dan berkarya di Keuskupan Agung Samarinda, Kaltim.

Liem Tjay membuka catatan hidupnya dan ia menemukan fotokopi bahan retret para imam diosesan di Bontang tanggal 12-16 November 2003.

Refleksi yang ditawarkan oleh Liem Tjay sebagai pendamping retret adalah ekaristi sebagai perekat dalam hidup imamat.

Pengalaman pribadi Liem Tjay dalam melakoni, menjalani kehidupan nyata sebagai imam menjadi bahan permenungan dan sharing bagi para imam diosesan dalam retret.

Inilah para imam diosesan Keuskupan Agung Samarinda di tahun 2003 silam. (Dok. Liem Tjay)

Liem Tjay sebagai pastor di hari Minggu

Ini bahan renungan untuk retret para imam.

Minggu pagi, Liem sudah memanaskan motornya. Tas ransel yang isinya peralatan misa sudah siap. Tidak lupa rokoknya Surya 16, kacamata hitam, dan jaket hitam.

Baru saja dia mengunci pintu pastoran, tiba-tiba ada seorang ibu dengan anaknya datang. Dengan ramahnya Liem Tjay bertanya: ”Selamat pagi, Mama Rensi ada yang bisa saya bantu, Mama Rensi?”

Mama Rensi itu menjawab: ”Selamat pagi Bapak Pastor, saya mau ngomong sebentar.”

Lalu Liem Tjay mematikan motor dulu, dan membuka kembali pastoran. “Mari silahkan masuk”.

Liem Tjay mendengarkan Mama Rensi itu mengungkapkan masalah yang sedang dihadapi.

Stasi Sebakung di Paroki Penajam, Katim

Setelah dirasa cukup, Liem Tjay mulai menyalakan motor dan lanjut jalan turne ke stasi Sebakung.

Tiba di Stasi St. Petrus Sebakung yang jaraknya 60 km, Liem Tjay merasa senang umat sudah berdatangan menunggu pastor. Belum diparkirkan motornya, seorang bapak menyambutnya sambil mengomel: ”Pastor, jam berapa sekarang?”

Jawab Liem Tjay dengan tenang, walau hatinya jengkel: ”Yaaah, mau apa lagi?”

Sementara Liem Tjay mempersiapkan diri di kamar sakristi ukuran 2 x 2m, terdengar umat sedang berlatih lagu “Hati-ku gembira Alleuya…”

“Ah sialan, hatiku jengkel dan capai, masak disuruh gembira,” gumam Liem Tjay dalam hati.

Tiba tiba ada yang ketuk pintu, Nensi datang menghadap Pastor: ”Pastor, misdinarnya belum lengkap, lektornya juga,” lapor Nensi.

“Tunggu saja lima  menit ya, sambil latihan menyanyi,” jawab Liem Tjay.

Gereja St. Petrus Stasi Sebakung, Paroki Penajam di Kaltim yang berokasi di tengah rawa-rawa. (Dok. Liem Tjay)

Dia masuk kembali dan mengenakan stola dan kasula, lalu berdoa sejenak: “Tuhan, Engkau tahu hatiku jengkel, tapi aku harus memimpin misa, kotbahku belum siap, pikiranku kacau, bantulah aku ya Tuhan.”

Perayaan Ekaristi sedang berlangsung di Gereja Transmigrasi dari kayu papan berukur 10×10 m.

Liem Tjay membawa segala keprihatinan dirinya maupun umatnya dalam persembahan.

Dia sebagai imam-Nya, dan perantara-Nya menyampaikan semua keprihatinan umat-Nya pada Tuhan lewat persembahan. Kedua tangannya mengangkat roti dan anggur.

Roti dan anggur –lambang umat-Nya yang hadir dan yang tidak hadir.

Umatnya penuh dengan segala macam keprihatinan dan kegembiraan hidup, namun harapan akan hidup amat tinggi.

Roti dan anggur dikonsekrasikan lewat kedua tangan Liem Tjay dengan kuasa tahbisan imamat suci, roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus.

Tangan yang biasa digunakan oleh Liem Tjay untuk menulis, mengendarai motor tril, memasak, mencuci, memberi salam bahkan memaki-maki, menuding nuding, memukul, menampar kini dipakai sebagai alat-Nya untuk menguduskan roti dan anggur lambang persembahan umat-Nya.

Dirinya yang lemah dan terbatas sebagai manusia biasa, memiliki kemampuan yang luar biasa yaitu membuat mukjizat roti menjadi Tubuh-Nya, anggur menjadi Darah-Nya.

Konsekrasi

“Inilah Tubuh-Ku, inilah Darah-Ku, lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku,” kata-kata Yesus diucapkan kembali oleh Liem Tjay dengan penuh mantap.

Kata-kata Yesus disampaikan  sebagai ajakan kepada seluruh umat yang hadir untuk masuk dalam persembahan hidup-Nya di kayu salib.

Keheningan saat-saat Lonsekrasi tiba-tiba terpecah, tatkala seorang anak kecil menangis keras-keras dan dua anak berlari lari di dalam gereja.

“Biarlah anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalangi mereka, sebab merekalah yang empunya Kerajaan Allah.”

Sebagai seorang pemimpin misa, Liem Tjay bisa langsung menegur dari altar. Namun dia membiarkan peristiwa ini hanyut dalam liturgi ekaristi.

Selesai lagu Anak Donba Allah, Liem Tjay memecahkan hosti besar (Tubuh Kristus) dan satu potongan kecil dimasukkan ke dalam piala berisi Darah Kristus.

“Inilah Anak Domba berbahagialah yang diundang ke perjamuan Tuhan”, kata Liem Tjay sambil mengangkat Tubuh Kristus tinggi tinggi.

Dirinya adalah suara Yesus yang mengundang siapa saja yang mau datang kepada Yesus untuk menikmati kebahagiaan pesta perjamuan surga.

Komuni: membagi diri-Nya

Liem Tjay membagi-bagikan Tubuh Kristus. Satu per satu umatnya menerima dan menjawab “Amin”.

Ia bukan hanya sekedar membagikan Hosti pada saat komuni sebagai kewajiban tugas Liturgi Ekaristi, namun dia sendiri seperti Yesus yang dibagi-bagikan hidup-Nya untuk orang lain.

Hidupnya sebagai imam dibagi-bagikan kepada seluruh umat-Nya;

  • baik dari kecil sampai nenek nenek;
  • kaya-miskin, tua-muda, buruh-karyawan;
  • Aneka etnis: Flores, Timor, Tionghoa, Toraja, Dayak, Jawa, Manado, Batak;
  • yang bermasalah yang harmois, yang menyebalkan yang menyenangkan;
  • yang pelit, yang loyal kepada paroki, yang sakit kronis, yang sehat;
  • yang wajah cantik, ganteng sampai muka jelek;
  • yang sedang terhalang masalah perkawinan sampai yang pasangan S-I yang sudah mapan;
  • yang selalu dikunjungi maupun yang tidak pernah tersapa;
  • yang di pusat paroki sampai di ujung hutan sawit .

Setiap umat yang menyantap Tubuh Darah Kristus merasa tenang, damai, khusuk dalam doa ucapan syukur. Umat yang tidak sambut pun nampak tenang dan damai.

Liem Tjay memandang satu per satu umat yang berdoa dengan khusuk mengucap syukur, walau mereka hanya duduk melantai saja. Ia membagi rahmat Sakramen Imamatnya kepada umatnya.

“Semoga Allah Bapa memberkati kita semua,” dengan tangannya dia membuat tanda salib bagi umatnya. Berkat terakhir diterima.

Berkat terakhir dialirkan penuh limpah kepada umatnya sebagai bekal kekuatan rohani selama sepekan.

Pastor plus “dokter”, perjumpaan seusai misa

Setelah melepaskan kasula dan stola, Liem Tjay di depan gereja memberi salam kepada umatnya satu demi satu. Jabatan tangan adalah tanda sapaan yang menyentuh setiap umat. “Inilah umat-ku yang dipercayakan kepada-ku untuk digembalakan,” katanya dalam hati dengan mantap.

Inilah “litani” serba-serbi perjumpaan spontan itu.

  • “Bapak Pastor, kami minta waktu untuk membicarakan rencana aksi sosial,” Pak Markus Jedal mengingatkan.
  • “Bapak Pastor, doakan ini si kecil semalam demam, nangis terus, ada roh yang mengganggu,“ pinta Ibu Hendrika Nino.
  • “Minta berkat untuk air dan lilin Bapak Pastor, buat doa di makam Kakek Panus,” Wareh sambil memperlihatkan botol air dan lilin.
  • “Bapak pastor, saya ada masalah dengan tetangga beragama lain,” keluh Ibu Maria Satbam.
  • “Bapak Pastor, mohon ke rumah sebentar anak saya sakit keras,” pinta Bapak Anton Ati.
  • “Bapak Pastor, kami mau laporan keuangan stasi,” BapakMarkus Metan sambil menunjukan buku kas.
  • “Bapak Pastor, saya tidak senang dengan kotbah tadi, jelas ada pernyataan yang menyinggung perasan saya,” ujar Bapak Emanuel Lajar.
  • “Bapak Pastor, nanti Mudika mau main ke pastoran ya, ada kue nggak Pastor? Oh ya ada yang mau ikut membonceng pastor looh dia ikut sampai ke simpang sana,” goda si Nensi yang centil nan manja.
  • “Bapak Pastor, kami mau pinjam uang untuk beli tali plastik yang akan kami pakai untuk menghalau burung di ladang, kalau habis panen kami kembalikan,“ pinta Bapak Piet Kase.
  • “Bapak Pastor, ada sedikit rezeki dari hasil jual pisang,” Ibu Anastasia Knafmone sambil memberi amplop ke jubah pastor.
  • “Bapak Pastor, tolong berkati tangan sebelah kanan saya, kemarin baru saja tersengat tawon,” pinta Bpk. Piet Boli.
  • “Bapak Pastor, ini uang cicilan kalender tahun lalu, maaf lupa,” sambil tersenyum malu-malu Bernadeth Peni.
  • “Ini ada sedikit rokok buat Pater,” Kakek Yosep Mi sambil memberikan rokok Surya 16 kepada Liem Tjay.
  • “Bapak Pastor, kami dua minta berkat pernikahan, ini sudah bawa surat baptis,” pasangan Belasius Antu dan Rosalinda Siuk berharap pada pastor.
  • “Bapak Pastor, ada sedikit beras baru, banyak hama di ladang, jadi panen berkurang jika dibanding tahun lalu,” ungkap Pak Simon Seran.
  • “Bapak Pastor, setelah ini, kita makan di rumah saya, dekat saja dari simpang ini,” kata Pak Sirilus Lazar yang mendapat giliran masak buat makan kunjungan pastor.
Konsekrasi oleh imam dengan mana Tubuh dan Darah Kristus lalu dibagi-bagikan untuk umat. (Dok. Liem Tjay)

Makan siang di rumah umat

Setelah menerima dan mendaraskan “Litani Perjumpaan”, Liem Tjay dengan senang hati datang ke rumah Bapak Sirilus Lazar untuk istirahat sejenak dan makan siang.

Ada beberapa umat yang ikut makan bersama dengan Liem Tjay. Berkisah sambil menikmati makan siang dengan sayur dan lauk yang sederhana membuka jurang pemisah antara kaum berjubah dengan umat sederhana. Tak ada jarak antara klerus dengan awam.

Inilah pastoral kehadiran.

Kehadiran Liem Tjay dalam makan bersama melahirkan energi spiritual bagi umatnya untuk semangat dan bersatu dalam persaudaraan di tanah rantau. (Berlanjut)

 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version