Home BERITA Pastoral Kehadiran di Belanda: Misi tak Harus Wah, Sederhana Saja

Pastoral Kehadiran di Belanda: Misi tak Harus Wah, Sederhana Saja

0
Sr. Theresianne PMY, suster Indonesia yang menjadi tenaga misionaris di Den Bosch, Negeri Belanda. (Dok. Kongregasi PMY)

ACARA “NgeRECEH” secara daring kembali  diadakan oleh Novisiat Anna Chatarina Kongregasi PMY dalam rangka HUT-nya yang ke-34. Sekaligus juga menyambut Hari Misi Sedunia tanggal 23 Oktober 2022.

Dengan tajuk “NgeRECEH”, karena sifatnya obrolan atau syering sederhana. Namun dengan acara yang ringan ini diharapkan para peserta memetik pengalaman yang berharga dari narasumber.

Kali ini gelaran ketiga dengan narasumber Sr. Theresianne PMY yang sejak 2010 bermisi di Belanda; tepatnya di Kota Den Bosch, pusat Kongregasi PMY di Negeri Belanda saat ini berada. Di awal penugasan, ia diminta menjadi salah satu pengurus makam kongregasi. Kemudian sejak tahun 2012 sampai sekarang, ia menjadi ekonom Kongregasi PMY.

Sr. Theresianne PMY, suster Indonesia yang menjadi tenaga misionaris di Den Bosch, Negeri Belanda. (Alrin Rahardianto)

Misi dan misionaris

Para suster di Indonesia, juga teman-teman menyebut Sr. Theresianne PMY sebagai seorang misionaris di Belanda. Sebenarnya agak ragu dengan sebutan ini. Apalagi orang Belanda tidak senang, bahwa negerinya di sebut negeri misi.

Mereka beranggapan negara yang layak sebagai negara misi adalah negara-negara di Afrika, negara yang miskin. Memang tidak memungkiri bahwa Belanda adalah negeri yang makmur sejahtera.

Menjadi misionaris di Belanda baginya tidak mudah, karena mereka seakan tidak lagi membutuhkan kehadiran kaum religius. Karya-karya kaum religius sudah tidak ada lagi.

Negara dan masyarakat telah sedemikian “maju” berkembang menjadi sangat sekuler. Lembaga pelayanan masyarakat sangat terorganisir dengan baik,  dikelola secara profesional. Orang-orang miskin papa dan kaum tua mendapat jaminan sosial dari pemerintah.

Inspirasi sebagai misionaris

Bapa Suci Paus Fransiskus, dalam pesannya pada Hari Misi Sedunia ke-96 mengutip tiga frase kunci yang menyatukandasar hidup dan misi setiap murid: “Kamu akan menjadi saksi-Ku”, “sampai ke ujung bumi” dan “Kamu akan menerima kuasa Roh Kudus”

Pesan ini,mengingatkanya pada beberapa misionaris yang telah menginspirasi perjalanan panggilan dan perutusan yang dijalaninya, yakni:

  1. Romo Binzler SJ dari Jerman. Almarhum Romo Binzler SJ pernah menjadi pastor Paroki Delanggu  di Kabupate Klaten. Ia sangat dicintai oleh anak-anak, sering mengunjungi sekolah waktu mereka masih di SD. Ia suka menyapa anak-anak bergantian, anak satu per satu digendong nya lalu diberi permen, bulgur dan susu bubuk untuk di bawa pulang ke rumah. Pengalaman ini memberi rasa bahagia, sebagai anak yang bisa merasakan kasih seorang Bapa. Romo Binzler SJ mampu memberi kesaksian akan Yesus yang cinta kepada anak-anak.
  2. Romo Gieles SJ berasal dari Belanda. Ia adalah dosen ekonomi pada saat Sr. Theresiane PMY masih berkuliah di Universitas Sanata Dharma. Romo suka dan selalu berujar, kita studi jurusan ‘”lmu ekonomi lemah” yang dikatakannya sambil bergurau. Apa yang dikatakannya singgah dan menggerakan hati, bahwa sebagai bagian dari anggota “Gereja“ untuk selalu berpihak kepada orang miskin.
  3. Romo Carolus Burrows OMI berasal dari Irlandia. Ia sejak lama sampai sekarang masih bertugas di Cilacap. Banyak mengembangkan karya kemanusiaan di daerah Kampung Laut Cilacap. Sr. Theresiane PMY pernah bekerja pada Romo Carolus Burrows OMI, walau hanya sebentar.  Pengalaman ini membuatnya memahami apa yang dimaksudkan dengan pergi ke “ujung bumi”, yaitu melakukan pelayanan kategorial yang tidak terjangkau oleh orang lain.

“…. diutus sampai ke ujung dunia” diartikannya tidak secara harafiah: yaitu kita melakukan suatu hal, menjawab situasi yang kurang mendapat perhatian atau tidak tersentuh, tidak terjangkau oleh pihak lainnya.

Para peserta syering bersama Sr. Theresianne PMY dari Den Bosch, Negeri Belanda.

Voedsel bank di Den Bosch, Belanda

Contohnya ketika disampaikannya kepada pimpinan bahwa banyak orang miskin di Kota Den Bosch yang masih membutuhkan pertolongan. Mereka semula tidak percaya dengan apa yang disampaikannya.

Mereka tahu bahwa semua orang miskin telah dijamin oleh pemerintah dengan uang jaminan sosial yang diterimakannya, tersedianya rumah singgah untuk kaum tuna wisma hampir di setiap kota, adanya proyek voedsel bank di setiap kota yang menyediakan makanan bagi mereka yang membutuhkannya.

Meskipun pemerintah telah menjamin kehidupan mereka dengan layanan sosial yang ada. Ternyata masih tetap ada celah-celah kesulitan yang dihadapi orang miskin, dengan aturan yang ada tersebut.

Seperti adanya kewajiban biaya tanggungan pribadi untuk pengobatan, seseorang harus menempuh jarak yang jauh menuju ke tempat voedsel bank, seseorang harus menunggu lama 2-3 pekan untuk akhirnya bisa terdaftar sebagai anggota voedsel bank.

Padahal kebutuhan pengobatan dan makan sangat mendesak. Bahkan beberapa kasus mereka tidak tertolong.

Di situlah terlihat adanya celah-celah lorong ujung dunia yang tidak semua orang bisa melihatnya. Oleh karennya, dirinya merasa terpanggil untuk hadir ditempat  untuk melakukan sesuatu sebisa mungkin.

Akhirnya dirinya bisa menyakinkan pimpinan dan sekarang dipercaya memegang proyek sosial yang memberi bantuan kepada orang miskin di sekitar Kota Den Bosch.

Dan dimulai juga untuk mencoba bekerjasama, membangun jaringan yang lebih luas dengan organisasi layanan sosial lainnya.

Menjadi misionaris kreatif

Untuk melakukan karya sosial, Sr. Theresianne PMY tidak selalu mempunyai dana. Untuk itu, banyak hal dia lakukan; seperti mengolah makanan sisa yang masih layak untuk menjadi masakan baru yang kemudian langsung diantarnya dengan sepeda ke warga yang membutuhkan.

Merenda kain cempal untuk pencarian dana proyek voedsel bank yang hasilnya dijual 10 Euro per buahnya. Uang hasil penjualan dipakainya untuk membantu. Seperti memberi bantuan biaya untuk pengobatan rumah sakit, pembelian obat yang tidak ditanggung oleh pihak asuransi.

Inilah kreatifitas yang dimaksud.

Karena kegiatannya sudah dikenal warga Kota Den Bosch, banyak dari mereka menyumbangkan pakaian pantas pakai, baju hangat, kopyah dan syal. Karena tidak ada penyimpanan di biara, maka sumbangan tersebut segera dimasukan ke bagasi mobil untuk segera diantar bagi yang membutuhkan.

Seperti para migran dari Suriah, Irak, Erithrea, Somalia, yang butuh baju-baju hangat selama menghadapi musim dingin. 

Misi tak harus wah, cukup dengan hal sederhana

Sesungguhnya pelayanan yang dilakukan oleh seorang misionaris tidaklah dituntut pelayanan yang hebat. Namun bisa diusahakan dengan sederhana yaitu “pastoral kehadiran”. Dengan kehadirannya di Rumah Bruder Fransiskan  dan menjadi tenaga sukarela sebagai penerima tamu dalam pelayanan konsultasi pastoral bagi orang jalanan.

  • Menghadiri pertemuan kegiatan bersama kelompok perempuan migran, dengan kegiatan menjahit.
  • Memberi les Bahasa Belanda pada seorang perempuan migran dari Maroko.
  • Kunjungan keluarga orang tidak mampu, orang sakit, orang mengalami kesepian.

Dari kehadiran ini, orang yang dikunjungi dan dilayani mendapat energi positif sehingga mereka bahagia dan semangat dalam menjalani hidup.

Di Belanda, orang miskin tersembunyi, hampir sulit menemukannya.

Kemiskinan yang ada lebih banyak bersifat kemiskinan rohani, banyak orang mengalami kesepian. Sementara  sebagai orang asing banyak mengalami konfrontasi tinggal di negeri asing.

Maka, satu-satunya yang menjadi kekuatan dalam menjalani pengutusan adalah doa keheningan yang terus menerus perlu dibangun yang memampukan kita untuk layak menerima kuasa Roh-Nya. Agar mampu menjalani perutusan gereja mewartakan kabar gembira ke ujung bumi.

Dalam melayani, lihatlah sebagai pribadi; jangan atribut dan semuanya duduk setara di hadapan Tuhan. Kalau tidak memahami arti melayani, tidak akan mendapat kekuatan. Bahkan energi  bisa tersedot habis.

Memang dalam melayani, terkadang dihadapkan pada situasi menthok tidak bisa berkembang. Namun dengan kesabaran, keterbukaan hati dan berpikir kreatif, semua akan terselesaikan dengan sendirinya.

Jawaban lugas dari Sr. Theresianne PMY ini, menanggapi pertanyaan Mas Yais dari Ganjuran atas kesulitan-kesulitan nya selama bermisionaris di Belanda.

Pastoral kehadiran

Dalam Kongregasi PMY, sapaan dan kehadiran kepada warga adalah bentuk pastoral kehadiran yang dihayati oleh para Suster PMY.

Hal ini disetujui oleh salah satu peserta Aji Prastyanto dari Wonosobo, sebagai pelaku CU Lestari yang baru tiga pekan bisa menikmati ruang kantor yang megah di Kota Wonosobo.

Tiba-tiba diminta kembali ke desa oleh Sr. Theresianne PMY. Terkejut dan tidak mengerti atas permintaan tersebut. Ditambah dengan kegelisahaan, ketika tidak tahu apa yang akan diperbuat ketika membuat “Program Halo Anggota”.

Akhirnya program tersebut dirumuskan dalam tiga langkah sederhana, yaitu konsisten hadir, mendengarkan, menemani.

Dengan tiga langkah tersebut relasi antara managemen dan anggota CU Lestari terbentuk. Para anggota merasa disapa, ditemani dan didengarkan.

Hasilnya antusiasme, kegembiraan kembali menjadi sumber kekuatan untuk melangkah. Meski perjumpaan ini tidak bisa menyelesaikan masalah mereka, tetapi kehadiran diterima. Kehadiran sebagai teman yang setara.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version