Tak terkecuali Paus Benedictus XVI sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan Tahta Suci Vatikan. Karena itu, lalu muncul berbagai spekulasi liar, bagaimanakah ‘nasib’ Kardinal Joseph Ratzinger ini kalau sudah tidak memakai jubah putih kebesarannya sebagai seorang Paus dan kembali memakai jubah hitam bertopi merah sebagai kardinal pada umumnya.
Imunitas
Imunitas alias ‘tidak bisa disentuh’ oleh gugatan hukum menjadi isu paling santer saat ini, ketika media Barat menyebutkan: begitu Paus meninggalkan tembok Vatikan, maka dia akan segera bisa dituntut pengadilan untuk “mempertanggungjawabkan” ulah para pastur, kardinal, uskup yang telah berlaku tidak senonoh dalam membina relasi dengan anak-anak dan terutama juga dengan kaum perempuan.
Persoalannya memang sungguh krusial, kata seorang pejabat Vatikan, begitu kita melihat ‘nasib buruk’ yang menimpa bekas presiden atau perdana menteri di negara-negara lain. Begitu lengser keprabon, maka para mantan presiden atau PM ini langsung berhadapan dengan hukum dan tak ayal juga harus rela hidup di balik jeruji besi penjara.
Nah, bagaimana dengan ‘nasib’ masa depan Kardinal Joseph Ratzinger setelah cincin kepausannya dilepas dan dilebur serta meninggalkan kekuasaan Tahta Suci?
Perjanjian Lateran
Mari kita menengok sejarah ke belakang.
Perjanjian Lateran yang dibuat tahun 1929 antara Pemerintah Italia dan Tahta Suci menyebutkan antara lain Vatikan resmi menjadi sebuah negara berdaulat dan “tak tersentuh” oleh hukum sipil yang berlaku di Italia. Singkat kata, sebagai warga negara Vatikan, maka hak-hak hukum seorang Paus akan dihormati di areal wilayah teritori Vatikan dan sebagai Paus dia juga mengantongi kebebalan diplomatik ketika keluar dari tembok Vatikan untuk bepergian ke luar negeri.
Tapi apa yang terjadi kemudian?
Kejadian di Inggris adalah contohnya. Ketika masih menjadi Paus pun dan saat melakukan lawatan rohani ke Inggris tahun 2010, seorang atheis totok bernama Richard Dawkins sudah berkoar-koar melawan Paus. Dia mendorong agar Scotland Yard bisa segera menangkap Paus Benedictus XVI atas ketidakacuhannya merespon isu besar tentang praktik kejahatan seksual pedofilia.
Langkah Dawkins kemudian menyulut aksi sama di hati Christopher Hitchens yang mulai mengompori para pengacara di AS untuk melakukan gugatan hukum atas perkara yang sama. Sang tertuduh dalam kasus ini adalah para pelaku kejahatan seksual itu, namun ‘benteng’nya juga harus diserang yakni Vatikan.
Sejak tahun 2011 di AS, sebuah gerakan bernama Center for Constitutional Right (CRR) berbasis di New York bersama Network of those Abused by Priests (SNAP) juga melakukan langkah hukum lebih tegas dan jelas: mengajukan gugatan hukum melawan sang tertuduh: Vatikan.
CRR dan SNAP menuduh Vatikan senagaja melindungi para pastur ‘penjahat kelamin’ ini dengan tidak melakukan tindakan tegas atau tetap membiarkan mereka berkarya dan menjabat tanpa adanya sebuah intervensi yang signifikan untuk ‘mengakhiri’ karir dan jabatan mereka.
Bukan ‘karyawan’ Vatikan
Apa jawaban Vatikan atas gugatan hukum seperti itu?
Jelas dan tegas namun juga membuat mengernyitkan dahi. Vatikan mengatakan, para pastur yang telah berlaku tidak senonoh itu bukan merupakan ‘karyawan’ Vatikan. Mereka secara individual adalah tanggungjawab keuskupan atau ordo/kongregasi religious yang menjadi ‘induk’ inkardinansi masing-masing pastur ini.
Paus Benedictus sendiri secara pribadi sudah menyatakan mohon ampun atas segala ‘tragedi moral’ yang dilakukan para pejabat Gereja ini. Namun, kata para penggugat ini, ucapan penyesalan itu tidak cukup karena sudah lebih dari tiga dekade Paus Benedictus pernah berada dalam posisi strategis untuk “bertindak ekstra keras’ menertibkan para pastur kurang bermartabat ini.
Sebelum menjadi Uskup Roma dan sekaligus Paus, Paus Benedictus adalah seorang Kardinal dan Uskup di Jerman.
Januari tahun 2013 lalu saja, publik di Los Angeles dibuat gempar oleh keputusan Uskup Agung LA yang melarang mantan mantan Uskup Agung LA Kardinal Roger Mahony –untuk ‘tampil ke publik’ dengan alasan agar terhindarkan dari serangan keamanan yang mengancam jiwanya. Kardinal ini bisa dijadikan ‘sasaran tembak’ lantaran dianggap ‘melindungi’ para pastur amoral yang berkarya di keuskupannya karena berbagai skandal seks yang terjadi sejak tahun 1980-an.
Yang melakukan ‘tindak amoral’ adalah para pastur. Yang kena getahnya adalah Uskupnya yang malang yakni Kardinal Roger Mahony yang adalah Uskup Agung LA kurun waktu tahun 1985-2011. Kini, penggantinya sekarang melarang Mahony tampil ke publik.
Yang mungkin terjadi di kemudian hari adalah Kardinal Ratzinger menjadi sasaran tembak oleh kelompok ‘sakit hati’ lantaran harus menanggung dosa-dosa para pastur penikmat pedofilia.
Pastur lain yang berbuat curang, tapi Paus yang kena getah kejahatannya. (Bersambung)
Photo credit: Ist
Artikel terkait:
- Paus Benedictus XVI Mundur: Siapa Paus Berikutnya? (6)
- Paus Benedictus XVI Mundur: Menanti Asap Putih Keluar dari Cerobong Vatikan, “Habemus Papam!” (7A)
- Paus Benedictus XVI Mundur: Menanti Asap Putih Keluar dari Cerobong Vatikan, “Habemus Papam!” (7B)
- Breaking News: Paus Benedictus XVI Mundur (1)
- Paus Benedictus XVI Mundur: Pesan Prapaska Terakhir Kalinya (8)
- Paus Benedictus XVI Mundur: Jadi Buron dan Sasaran Tembak Banyak Orang (11A)
- Paus Benedictus XVI Mundur: Siapa Paus Berikutnya? (6)
- Paus Benedictus XVI Mundur: Mata Kiri Buta dan Kupingnya Tuli (10)
- Paus Benedictus XVI Mundur: Kubah Basilika Santo Petrus Tersambar Petir (9)
- Paus Benedictus XVI Mundur: Jadi Buron dan Sasaran Tembak Banyak Orang (11B)
- Paus Benedictus XVI Mundur: Sungguh, Gereja Bagai Bahtera Mengarungi Prahara (12)