SAAT ini, semua aspek kehidupan -termasuk tulis-menulis- menjadi enak dan gampang. Karena telah dimudahkan oleh kemajuan teknologi komunikasi nirkabel.
Sekarang kini, kata Mathias Hariyadi di sesi pelatihan virtual “Menulis di Media Massa” Komisi Komsos KWI, kita semua melihat dan mengalami sendiri hal yang dulu tidak pernah terbayangkan akan bisa terjadi demikian.
Menjadi wartawan dadakan
Sekarang ini, suka tidak suka, orang bisa menjadi jurnalis dengan jauh lebih gampang.
Hari ini punya HP atau tablet, maka hari ini pula orang sudah mampu memproduksi “berita”. Entah itu informasi berupa komentar, gambar, ulasan, foto dan bahkan video yang dia “buat” sendiri melalui HP atau tablet-nya.
Tentu dalam hal ini, untuk sementara waktu, kita perlu menafikan mutu atau orisinalitas produk “berita” made in HP atau tablet itu. Apa pun komentarnya, kini setiap orang sudah dimampukan membuat “berita”.
Ini sesuatu hal baru. Menarik, menantang, sekaligus juga mencemaskan.
Turun ke lapangan itu sebuah keniscayaan
Dulu sekali, kata Mathias Hariyadi, orang hanya bisa menjadi wartawan atau jurnalis di sebuah industri media -baik cetak maupun televisi- hanya dengan satu cara: keluar kantor dan pergi ke “lapangan” untuk meliput peristiwa atau kejadian.
Jadi, orang kalau mau sukses menjadi wartawan ya harus mau “terjun ke lapangan” untuk meliput kegiatan atau peristiwa.
Di situlah, sang jurnalis akan bisa mencecap semua atmosfir peristiwa itu dengan semua indera manusiawinya.
Di lapangan peristiwa -TKP- itulah seorang jurnalis bisa melihat, mendengar dan mendengarkan (pelaku dan saksi peristiwa), merasakan denyut peristiwa (suasana sekitar dan reaksi orang lain atas “terjadinya” peristiwa).
“Semua itu masuk dalam cakupan radar keilmuannya dan kemudian disimpan dalam memori untuk kemudian diproduksi di kantor.
Artinya, semua aspek peristiwa yang terjadi di lapangan itu yang dia simpan di memori dan catatan itu kemudian dibeberkan kembali dalam paparan yakni tulisan, foto atau sekarang video,” papar Mathias Hariyadi.
Dulu hampir tidak mungkin bisa menulis sebuah peristiwa dengan baik disertai deskripsi situasi yang lengkap dan informatif bilamana sang jurnalis hanya “duduk manis” di belakang meja menghadap layar komputer.
“Wartawan yang berkualitas dan baik itu selalu lahir dari ‘lapangan’. Ia bisa menjadi ‘besar’ karena teruji dari pengalaman lapangan.
Bukan produk karbitan atau menjadi wartawan “salon” alias jurnalis yang tidak pernah berkeringat,” tegas wartawan yang beberapa kali diajak Komisi Komsos KWI mengampu program pelatihan menulis saat berlangsung Pekan Komsos Nasional ini.
Citizen journalism
Sekarang ini, kata Mathias Hariyadi, memang ada tantangan sekaligus kemudahan “berkarya” lantaran terjadi perkembangan luar biasa cepat di bidang teknologi komunikasi nirkabel.
Tiba-tiba saja, ungkap Mathias Hariyadi, banyak orang mendadak bisa “menjadi” wartawan.
“Siapa saja yang ada di dekat lokasi peristiwa, maka dia bisa langsung memotret peristiwa, menulisnya dan bahkan juga bisa langsung mengirim video rekamannya in the real time kepada orang lain,” paparnya.
“Setiap orang kini bisa menjadi penggiat jurnalisme warga (citizen journalism),” lanjutnya.
Namun, Mathias Hariyadi juga tak lupa mengungkapkan kekhawatirannya. Sekarang ini mulai muncul kecenderungan umum bahwa banyak “jurnalis” anyar dan dadakan itu suka dan sering mengambil jalan pintas.
“Jalur pintas bisa menjadi penulis anyar dan hebat sangat dimungkinkan, karena praktik copy-and-paste.
Dengan sangat mudah orang bisa meniru cara atau ragam menulis orang lain dan praktik macam itu sekarang ditempuh dengan tujuan macam-macam,” ungkapnya.
Pentingnya mengalami sendiri
Dalam pesannya di Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-55 bertema “Datang dan Lihatlah”, Paus Fransiskus dengan amat jelas dan tegas memberi ajakan mulia.
Beliau mengajak para jurnalis agar masing-masing bisa mengalami sendiri peristiwa itu sendiri di lapangan. Bukan di balik layar komputer atau malah sambil minum kopi di kafe.
Melihat dan mengalami sendiri sembari mencerna peristiwa di lapamgan itu penting, fundamental, dan tak bisa ditawar-tawar.
“Pengalaman di lapangan amat menentukan, karena mampu membentuk pola pikir dan konsep alur tulisan yang jelas dan masuk akal,” ungkap Mathias Hariyadi merespon pesan moral Paus Fransiskus.
Ide yang membumi dan aktual
Bicara tentang kiat agar bisa berhil menulis opini di media massa umum, maka lagi-lagi Mathias Hariyadi bicara berdasarkan pengalamannya pribadinya.
Sudah barang tentu, kata dia, menulis opini harus dimulai dengan kebiasaan kita mau mengikuti dan sellau mencermati isu-isu terkini yang lagi ngretren menjadi perbincangan publik.
Jadi, menulis opini itu merupakan wujud kontribusi hasil pemikiran kita yang kemudian dituangkan dalam alur pikir gagasan yang “menjual” (marketable) dan “membumi”.
Membumi artinya jangan pakai bahasa terlalu tinggi mengawang-awang di mana mayoritas publik malah tidak tahu atau mengakrabi ragam bahasa yang dipakai.
“Justru ketika kita mampu mengolah materi atau isu perbincangan yang pelik namun bisa dipaparkan secara sederhana dengan ragam bahasa tidak muluk-muluk, maka di situlah kita lalu mampu menulis dengan baik,” kata Mathias Hariyadi.
Itu kalau kita mau berkontribusi melalui artikel-artikel opini di media massa umum maupun yang khas Katolik.
Lain ceritanya lagi kalau menulis artikel berita. Karena opini sama sekali beda format cara pikir dan alur penulisannya dengan artikel berita atau laporan jurnalistik.
Opini adalah mengolah gagasan, ide, pemikiran orisinal “milik” kita dan kemudian kita paparkan dengan detil, runtut, dan menarik untuk audiens pembaca publik.
Jadi, pengetahuan individual dan cakupan pemahaman personal atas isu-isu aktual akan sangat menentukan.
Opini itu beda jauh dengan berita
Beda kasusnya dengan menulis laporan jurnalistik dalam bentuk paparan artikel berita. Basisnya beda dengan opini, karena berita harus bertumpu pada fakta yang sudah diverifikasi kebenaran dan validitas info-infonya.
“Semua detil tulisanmu itu harus berbasis fakta, bukan opini intelektualmu. Beritamu harus bersifat faktual, bukan ‘karangan’ atas ide-ide moral. Tapi benar-benar hasil sebuah liputan atas peristiwa nyata.
Stop, jangan lagi suka membuat tulisan bau-bau imbauan moral,” kata Mathias Hariyadi yang mengaku pernah “dimaki-maki” dengan sangat galak oleh editornya.
Lantaran karena awal-awal laporan tulisan jurnalistiknya masih saja ada “bau-bau” pastor yang suka menggurui umat.
Pelajaran berharga
Saat webinar kemarin itu, Mathias Hariyadi juga memberi langkah dan kiat menulis kepada peserta.
- Mencermati terlebih dahulu karakter dasar media tersebut: apakah itu media umum, khusus atau spesifik.
- Kemudian memilih rubrikasi mana yang terbuka peluang untuk berkontribusi.
- Bahasa yang digunakan sebisa mungkin sederhana dan mudah dipahami.
- Mulai berlatih merangkai kata dan menggunakan struktur kalimat (SPOK) yang merupakan dasar terpenting menulis.
Tahap selanjutnya mencoba menulis lalu mengirimkan artikel kepada redaksi.
Menurutnya, pengalaman ditolak dan tidak dimuat di media itu biasa. Yang terpenting jangan pernah putus asa dan selalu evaluasi.
Mendokumentasikan peristiwa
Bagi Mathias Hariyadi yang telah menulis sejumlah buku ini, menulis adalah komitmennya untuk selalu mendokumentasikan informasi dan memberi pengalaman kepada banyak orang.
Oleh sebab itu, Mathias sangat berharap melalui program pelatihan virtual Komisi Komsos KWI ini lalu mulai muncul calon-calon penulis Katolik.
Kehadiran mereka itu perlu dan penting, karena menjadi penghubung informasi yang baik untuk paroki, keuskupan, tarekat, dll.
Tidak hanya para imam yang bisa menulis dengan baik dan jelas, demikian menurut Mathias, tapi justru ini saatnya kaum awam bisa berkontribusi memberi kabar baik tentang Gereja kepada masyarakat.
Latihan dan terus latihan tanpa henti
Di Sesawi.Net, media berita katolik non komersial yang dikelolanya bersama sejumlah mantan Jesuit, Mathias Hariyadi mengaku dengan senang hati menerima segala tulisan dan kemudian mengedit bahkan memberi coaching penulisan.
Pada akhirnya, menulis akan menjadi gampang, bila semua proses “pembelajaran” dan pembinaan diri itu dialami dan direfleksikan untuk mencari pijakan diri agar bisa lebih maju dan berkembang. (Selesai)