Sahabat pelita hati
SAAT ziarah ke Tanah Suci pada tahun 2014 yang lalu, rombongan kami diberi kesempatan singgah ke kampung Emaus. Di kampung itu sekarang dibangun sebuah biara dan dilengkapi dengan kapel atau gereja yang tata akustiknya. Gereja yang dibangun dengan batu-batu alam itu memiliki gema yang menggaung indah. Kami pun diberi kesempatan untuk menyanyikan satu lagu “Dentang Rahmat” dan suara kami terdengar menggema indah. Inilah kampung Emaus yang disebut dalam pelita sabda hari ini.
Sahabat terkasih,
Kedua murid atau lebih tepatnya adalah pengikut Yesus, bergegas pulang menuju Emaus. Dengan hati kecewa mereka meninggalkan Yerusalem dan pulang ke kampung halaman setelah Guru yang mereka andalkan ternyata sungguh tak berdaya menghadapi para prajurit yang menyiksa dan menyalibkan-Nya.
Hati mereka hancur. Ditambah lagi ada kabar dari sejumlah perempuan yang menyatakan bahwa jenazah Tuhan tidak ditemukan di makam, ada pula yang mengabarkan Yesus guru mereka hidup lagi.
Sebuah kabar yang tak pernah masuk di akal, justru makin membuat mereka tambah terusik hatinya. Mereka pun tidak sadar yang berjalan bersama mereka adalah Yesus, sang Guru yang benar-benar telah bangkit. Namun pada akhirnya, “terbukalah mata mereka.”
Inilah ujung akhir dari kisah Yesus yang menampakkan diri kepada dua orang murid yang berjalan menuju Emaus. Sebenarnya ada proses bertahap sehingga mata hati mereka terbuka.
Pertama, kedua murid itu sedang kecewa karena Yesus yang selama ini mereka kagumi sebagai seorang Guru yang penuh kuasa ternyata wafat dengan keji dan hina. Wafat-Nya meruntuhkan iman dan kepercayaan mereka.
Kedua, kabar bahwa jenasah Yesus dicuri orang semakin membuat mereka tak memiliki pegangan. Mereka semakin putus asa sehingga bergegas pulang ke Emaus, kampung halamannya. Kekalutan hatinya menyebabkan mereka tak mampu mengingat kembali pengajaran Tuhan bahwa Mesias harus wafat dan bangkit di hari ketiga.
Ketiga, mata dan pikiran mereka baru terbuka ketika Tuhan mengucap berkat dan memecah-mecahkan roti di rumah mereka. Mereka baru sadar bahwa yang berjalan bersama mereka adalah Tuhan yang sudah bangkit.
Keempat, mereka tak tahan untuk menyimpan pengalaman sukacita itu. Segera mereka bergegas ke kota memjumpai para rasul dan bersaksi bahwa Tuhan benar-benar telah bangkit.
Sahabat terkasih,
pengalaman kedua orang murid yang berjalan menuju Emaus mengingatkan kita bahwa Tuhan selalu ada bersama kita. Kekalutan hati kitalah yang menyebabkan kita tak mampu melihat dan merasakan bahwa sejatinya Tuhan ada di dekat kita.
Semoga kita selalu memiliki hati yang bersih dan jernih sehingga mampu merasakan penyertaan Tuhan dalam hidup sehari-hari. Tetap semangat dan berkah Dalem.
Jika gunung Merapi meletus guguran lava meluncur tiada putus. Inilah kisah dua murid menuju Emaus, hatinya kalut dan kata-katanya ketus.
dari Banyutemumpang, Sawangan, Magelang,
Berkah Dalem – St. Istata Raharjo,Pr
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)
————————————————————————————
Bacaan:
Kisah Rasul 3:1-10
Lukas 24:13-35
Pada hari itu juga dua orang dari murid-murid Yesus pergi ke sebuah kampung bernama Emaus, yang terletak kira-kira tujuh mil jauhnya dari Yerusalem, dan mereka bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang telah terjadi. Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran, datanglah Yesus sendiri mendekati mereka, lalu berjalan bersama-sama dengan mereka.Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia. Yesus berkata kepada mereka: “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Maka berhentilah mereka dengan muka muram. Seorang dari mereka, namanya Kleopas, menjawab-Nya: “Adakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?” Kata-Nya kepada mereka: “Apakah itu?” Jawab mereka: “Apa yang terjadi dengan Yesus orang Nazaret. Dia adalah seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan di depan seluruh bangsa kami. Tetapi imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin kami telah menyerahkan Dia untuk dihukum mati dan mereka telah menyalibkan-Nya. Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel. Tetapi sementara itu telah lewat tiga hari, sejak semuanya itu terjadi. Tetapi beberapa perempuan dari kalangan kami telah mengejutkan kami: Pagi-pagi buta mereka telah pergi ke kubur, dan tidak menemukan mayat-Nya. Lalu mereka datang dengan berita, bahwa telah kelihatan kepada mereka malaikat-malaikat, yang mengatakan, bahwa Ia hidup. Dan beberapa teman kami telah pergi ke kubur itu dan mendapati, bahwa memang benar yang dikatakan perempuan-perempuan itu, tetapi Dia tidak mereka lihat.” Lalu Ia berkata kepada mereka: “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?” Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi. Mereka mendekati kampung yang mereka tuju, lalu Ia berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalanan-Nya. Tetapi mereka sangat mendesak-Nya, katanya: “Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam.” Lalu masuklah Ia untuk tinggal bersama-sama dengan mereka. Waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. Ketika itu terbukalah mata mereka dan mereka pun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka. Kata mereka seorang kepada yang lain: “Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?” Lalu bangunlah mereka dan terus kembali ke Yerusalem. Di situ mereka mendapati kesebelas murid itu. Mereka sedang berkumpul bersama-sama dengan teman-teman mereka. Kata mereka itu: “Sesungguhnya Tuhan telah bangkit dan telah menampakkan diri kepada Simon.” Lalu kedua orang itu pun menceriterakan apa yang terjadi di tengah jalan dan bagaimana mereka mengenal Dia pada waktu Ia memecah-mecahkan roti (Luk. 24:30-31,33-35.)