Kitab Suci pernah menjadi asing bagi umat katolik pada masa lampau, yaitu sekitar tahun 1229. Ini merupakan kondisi khusus karena adanya penyelewengan teks Kitab Suci (terjemahan sesat) oleh sekte sesat (Albigensian) pada waktu itu.
Sehingga gereja perlu mengambil tindakan agar umat tidak tersesat jika membaca Kitab Suci tersebut. Inti utamanya bukan sebuah pelarangan membaca Kitab Suci, namun dalam membaca Kitab suci umat harus dengan bimbingan Gereja.
Maka larangan untuk membaca Alkitab pada saat itu merupakan tindakan gembala dalam menyelamatkan domba-dombanya.
Namun sejalan dengan hasil Konsili Vatikan II dalam dokumen Dei Verbum-nya nomor 22, dikatakan bahwa bagi kaum beriman kristiani jalan menuju Kitab Suci harus terbuka lebar-lebar.
Sabda Allah harus tersedia pada segala zaman dan Gereja dengan perhatian keibuannya mengusahakan agar dibuat terjemahan-terjemahan yang sesuai dan cermat ke dalam pelbagai bahasa, terutama berdasarkan teks asli Kitab Suci.
Terjemahan Kitab Suci pada awalnya dilakukan atas perintah Firaun Ptolemeus II. Maka dalam periode abad 3 – 1 SM Kitab Suci diterjemahkan dari bahasa aslinya Ibrani ke dalam bahasa Yunani. Kitab terjemahan itu dikenal sebagai Septuaginta yang berarti tujuh puluh, karena ada 70 orang ahli kitab Yahudi yang menerjemahkannya.
Mengapa bahasa Yunani?
Karena pada waktu itu, pengaruh Yunani sudah sangat berakar kuat, meliputi Mesir, Mediteranea, dan Timur Tengah. Bahasa sehari-hari (lingua franca) masyarakat pada masa itu adalah bahasa Yunani.
Di Indonesia, Kitab Suci Terjemahan Baru diterbitkan sekitar tahun 1974 sehingga jika dihitung saat ini sudah berusia hampir setengah abad.
Diperlukan hampir 24 tahun untuk menerjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Indonesia, yaitu sejak 1950. Proses terjemahan dibawah pengawasan Lembaga Alkitab Belanda (Nederlandsch Bijbel Genootschap).
Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) yang berdiri 9 Februari 1954 juga menerjemahkan Kitab Suci Perjanjian Lama bahasa Melayu (Dr. H.C. Klinkert) dan Perjanjian Baru (Pdt. Bode). Dan sementara itu Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) sejak tahun 1955 juga melakukan terjemahan Perjanjian Lama (lengkap dengan Deuterokanonika).
Dalam perkembangan selanjutnya, Pater Dr. C. Groenen, OFM sebagai pimpinan tim Lembaga Biblika Indonesia (LBI) mengusulkan kepada Presidium Konferensi Uskup se-Indonesia untuk menerima terjemahan LAI.
Usulan itu diterima dan disampaikan dalam Konsultasi Alkitab Terjemahan Baru tanggal 10-22 Juni 1968 di Cipayung, Bogor.
Kebersamaan LAI dan LBI dalam menerjemahkan Kitab Suci merupakan kerja sama Oikumenes pertama dalam dunia penerjemahan dan penerbitan Kitab Suci.
Hari Kamis lalu 9 Februari 2023 yang sekaligus merupakan Hari Ulang Tahun Lembaga Alkitab Indonesia ke-69, diluncurkan Kitab Suci Terjemahan Baru Edisi Kedua mengambil tempat di Balai Sarbini, Plaza Semanggi.
Acara peluncuran tersebut dihadiri perwakilan dari Katolik yaitu Kardinal Ign. Suharyo Hardjoatmojo, Mgr. Antonius Subianto Bunyamin, OSC (yang juga sebagai penyampai Firman dalam ibadat Oikumenes), Ketua LAI Pdt. Dr. Henriette T. Hutabarat Lebang, MA, Ketua LBI RP. Albertus Purnomo, OFM serta Jend. TNI Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia mewakili pemerintah Republik Indonesia.
Dalam Kitab Suci Terjemahan Baru Edisi Kedua ini antara lain terdapat perbaikan terjemahan kata-kata sesuai dengan perkembangan Bahasa Indonesia saat ini.
Sebagai contoh: “Ganja” (1Raj 7:2) yang saat ini digolongkan sebagai salah satu jenis “narkoba” diganti dengan “tiang”. “Mengkhamirkan” diganti menjadi “sudah membuat mengembang” dan masih banyak lagi.
Dengan terjemahan baru ini diharapkan Kitab Suci semakin membumi di kalangan umat Kristiani. Semakin mudah dalam memahami Sabda Tuhan sehingga semakin mengenal Allah yang kita imani.