MASIH lama perang dapat dihapus dari peta kehidupan umat manusia. Alat yang sering digunakan untuk meraih kepentingan ekonomi dan politik itu biasanya memakan korban rakyat kecil dan miskin. Terutama kaum perempuan dan anak-anak.
Betapa sedih, menyaksikan sejumlah rakyat Afghanistan ketakutan. Malahan harus melarikan diri dari negaranya. Wajah mereka diliputi rasa putus asa.
Merekalah korban perang.
Banyak upaya untuk menghentikan perang dan menciptakan damai. Ada langkah yang salah seperti “si vis pacem, para bellum” (bila engkau ingin damai, bersiaplah untuk perang).
Suatu “contradictio in terminis” atau istilah yang melawan dirinya sendiri.
Mau damai kok malah siap perang?
Menempuh jalan dialog, duduk tenang dan saling mempedulikan masih sulit dilakukan.
Padahal di sinilah kuncinya: saling mendengarkan. Tidak sekedar mendengarkan dengan telinga kepala, tetapi melibatkan pikiran dan hati.
Terbuka.
Betapa pentingnya bersikap terbuka. Karena hati, pikiran, mata dan telinga orang sudah lama tertutup, diperlukan kekuatan luar biasa untuk membukanya.
Rahmat Tuhan sungguh berperan.
Firman Tuhan dalam Kitab Nabi Yesaya menegaskan,”Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri akan datang menyelamatkan kamu! Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka. Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai.” (Yes 35: 4-6).
Tuhanlah yang membuka semua ikatan.
Santo Yakobus mengajar supaya dalam beriman orang tidak memandang muka atau menerapkan diskriminasi (Yak 2:1-4). Sikap diskriminatif itu eksklusif.
Karenanya, selalu tertutup.
Tatkala menyembuhkan seorang tuli dan bisu, Sang Guru Kehidupan berdoa dan berkata, “Efata.”, artinya: Terbukalah. (Mrk 7: 34).
Dengan itu terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah ikatan lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik (Mrk 7: 34-35).
Dialah Tuhan yang membuka dan membebaskan.
Rahmat Allah yang membuka telinga kepala, pikiran dan hati manusia inilah yang amat diperlukan untuk menciptakan damai di muka bumi. Perlu ditanamkan dan dibiasakan mulai dari keluarga, komunitas agama, masyarakat, negara hingga dunia.
Dengan demikian, setiap orang bisa ikut menciptakan perdamaian.
Minggu, 5 September 2021