Renungan Harian
Sabtu, 14 Agustus 2021
PW. St. Maksimilianus Maria Kolbe, Imam dan Martir
Bacaan I: Yos. 24: 14-29
Injil: Mat. 19: 13-15
SEORANG karyawan, setiap sore minta izin pulang sebentar untuk mengantarkan anaknya ke Taman Pendidikan Alquran (TPA). Setiap sore Senin sampai Jum’at, anaknya belajar ngaji.
Di kampung, saya melihat setiap sore anak-anak “digiring” orangtuanya ke masjid (mushola) untuk belajar ngaji. Bahkan beberapa anak yang usia SD sudah bisa menggaungkan adzan berkat pelajaran ngaji yang mereka terima.
Melihat bagaimana orangtua mengantar anaknya dan bahkan ada beberapa anak yang nangis karena malas tetapi tetap “digiring” orangtuanya untuk belajar ngaji, ada perasaan iri dalam diri saya.
Perasaan iri ini sumbernya dari pengalaman di paroki-paroki di mana saya menjalani pengutusan sering kali kesulitan dengan para orangtua.
Ketika ada pelajaran atau pembinaan iman di gereja, sering kali anak-anak sulit untuk datang mengikuti pelajaran atau pembinaan. Hanya karena tidak ada yang mengantar atau orangtuanya tidak mau mengantarkan.
Beberapa kali saya berhadapan dengan situasi yang amat sulit, ketika anak-anak persiapan Komuni Pertama.
Sering dibuat aturan kalau anak-anak yang ikut persiapan Komuni Pertama presensinya banyak bolong, maka tidak diperkenankan ikut menerima Komuni Pertama.
Sering kali anak-anaknya menangis, karena tidak diperkenankan. Sementara anaknya punya alasan bahwa mereka sering mbolos karena orangtuanya tidak mau mengantar.
Hal lain yang memprihatinkan adalah pada saat pertemuan-pertemuan dengan para orang tua calon Komuni Pertama atau Sakramen Penguatan, lebih dari separo orangtua yang hadir hanya “sebelah”.
Kalau ditanya kemana pasangannya jawabnya selalu bahwa mereka sibuk. Jadi seolah-olah mereka yang datang lengkap dengan pasangannya itu bukan orang sibuk.
Sering kali, saya titip pesan agar orangtuanya datang lengkap. Bahkan sering saya menelepon para orangtua, namun hasil tidak menggembirakan.
Situasi ini sungguh menjadi situasi yang memprihatinkan, karena pendidikan iman anak-anak menjadi terabaikan.
Kadang saya berpikir:
“Banyak orangtua yang menghalangi anak-anaknya untuk bertemu dengan Tuhan. Anak-anak ingin bertemu dengan Tuhan dan mendapatkan rahma-tNya, tetapi dihalang-halangi oleh para orangtua mereka sendiri.”
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini Yesus menegur para murid yang menghalang-halangi anak-anak yang hendak menemuiNya.
“Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepadaKu.”
Bagaimana dengan aku?
Apakah aku menjadi penghalang bagi anak-anak untuk datang kepada Tuhan?