Home BERITA Pendidikan: Untuk Pembentukan Hasrat Baik dan Benar

Pendidikan: Untuk Pembentukan Hasrat Baik dan Benar

0
Ilustrasi: Seorang suster OSA di Ketapang tengah mengajar anak-anak PAUD. (Dok. OSA)

BEBAS atau merdeka. Ini adalah kata-kata yang sering diucapkan orang saat masih dalam kondisi terikat dalam keadaan tertentu ya tidak menyenangkan hatinya.

Apakah itu kondisi masih atau sedang terikat pada peraturan, jam kerja yang dirasakan terlalu lama, suatu hubungan yang tidak menyenangkan.

Jean-Jacques Rousseau adalah filsuf terkenal yang banyak bicara tentang tema kebebasan. Pandangan itulah yang membawa pengaruh sangat penting di dunia pendidikan.

Rousseau antara lain berpendapat, manusia adalah makhluk yang bebas. “Man is born free and everywhere he is in chains,” begitu tulisnya.

Menjaga identitas diri tak hilang

Menurut Rousseau, kebebasan adalah kondisi bebas atau merdeka dari hubungan sosial. Namun karena terikat dengan masyarakat, manusia mau tidak mau harus bersosialisasi. Dan itu bisa menjadikan identitas diri dan kebebasan batinnya hilang.

Agar identitas diri tercapai, tak hilang atau untuk mempertahankan kebebasan batinnya, perlu ada masyarakat baik dan beradab.

Masyarakat beradab dan baik baru eksis, kalau terjadi pengaruh pendidikan.

Karena di situlah sebenarnya manusia diciptakan Tuhan baik adanya. “Everything is good as it comes from the hands of the author of things: everything degenerates in the hands of man,” begitu kata Rousseau.

Namun sayangnya, manusia itu rentan. Bukan hanya bisa untuk dan mau berubah. Tapi juga bisa diubah.

The aim is set by our natures: we are active, independent beings who are transformed (and readily malformed) by culture and social hierarchies; but we are also capable of autonomous critical rationality in the service of civic harmony,” demikian argumen Rousseau.

Hasrat yang benar: Perfectibilite

Karena itulah, mengambil gagasan Rousseau, pendidikan harus diarahkan pada pembentukan dan hasrat manusia yang benar. Pendidikan mempengaruhi masyarakat beradab.

Dalam buku Discours kedua, Rousseau mengenalkan gambaran yang menentukan filosofi pendidikan modern yaitu perfectibilite.

Perfectibilite mengarah pada keselarasan antara kemauan dan kemampuan. Keselarasan ini mendasari kebebasan batin dan identitas diri manusia.

Pendidikan memastikan perkembangan manusia yang mengarah pada kriteria formal sehingga identitas diri manusia akan tercapai.

Pendidikan diperlukan agar identitas diri dan kebebasan batin tetap ada, tidak hilang.

Perfectibilite pertama adalah ketika manusia terbuka terhadap perkembangan. Melalui proses pendidikan yang sesuai dengan inti pendidikan. Pendidikan di dalamnya selalu mengandaikan adanya kebebasan terbuka, kebebasan batin pribadi.

Sebuah kondisi di mana manusia dapat mengekspresikan diri sehingga identitas dirinya ada. Menjadi manusia beradab.

Inti pendidikan sekaligus tolok ukur proses pendidikan adalah berhasil menjadi manusia di dalam masyarakat beradab. Juga menjadi manusia yang mempunyai kebebasan batin; terlepas dari norma-norma sosial dan hubungan sosial.

Apabila identitas diri manusia tetap ada dan tidak mengikuti harapan masyarakat sosial, manusia dapat disebut manusia bebas.

“It should enable us to be freely and rationally self-legistating, actively participating in the construction of the political arrangements that form our character, our sentiments and motives,” demikian argument Rousseau.

Perfectibilite kedua adalah identitas diri merupakan kebutuhan diri.

Melalui pendidikan ini manusia dipersiapkan untuk  memenuhi kebutuhannya di masa depan. “Education should be designed to preserve that activity, to bypass a natural tendency to dependency and the ills it produces,” tulis Rousseau.

Manusia mandiri mampu memenuhi kebutuhannya sendiri; tidak tergantung pada orang lain. Karena ketika tergantung pada orang lain, maka ia akan terikat dan menjadi tidak lagi bebas.

Pendidikan psikologi aktif manusia berbeda sesuai dengan tahapannya. Pikiran, perasaan, dan proses pemahaman anak anak berbeda sama sekali dengan orang dewasa.

“Education is in the first instance moral education: that is, education of a person’s active psychology: his fundamental needs, the habitual direction of his imagination and sentiments, his ability to reason and to act from reason,” demikian Rousseau.

Ilustrasi: Sr. Ludovika OSA mengajar anak-anak PAUD di Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau, Kalbar. (Dok. Sr. Ludovika OSA)

Empat fase kriteria

Buku Rousseau berjudul Emile menunjuk perbedaan  kriteria diantara level–level berbeda berupa empat fase. Yakni, bayi, kanak–kanak, puberitas, dan remaja. Di setiap fase itu, hasrat dan kemampuan bisa berubah. 

Berdasarkan pendapat Rousseau tentang kebebasan manusia, metode tiga langkah yaitu antropologi, epistemologi, dan etika adalah sebagai berikut:     

Antropologi

  • Manusia itu terlahir merdeka, bebas (man is born free);
  • Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang bebas dalam melakukan apa yang diinginkan dan melakukan apa yang suka. (The truly free man wants only what he can do and does what he pleases).

Epistemologi

Manusia mendapatkan pengetahuannya melalui pendidikan. (To maintain inner freedom under the conditions of the civilised social is, therefore, the core as actually the cause of educational influence).

Etika

Semuanya itu baik adanya. Karena semua itu datang dari tangan pencipta segala sesuatu. Namun, di tangan manusia segala sesuatu yang baik itu jadi merosot. (Everything is good as it comes from the hands of the author of things: everything degenerates in the hands of man).

Pendidikan itu penting untuk mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan yang didapatkan setiap orang digunakan untuk mempertahankan identitas dirinya dan kebebasan batinnya.

Formal dan tidak formal

Pengetahuan dapat didapatkan melalui pendidikan formal dan tidak formal.

Pendidikan formal adalah kegiatan belajar di sekolah. Pendidikan yang diterima oleh seseorang disesuaikan dengan  tahapannya. Di setiap tahapan, seseorang mengalami perubahan. Karena itu,tujuan pendidikan di setiap tahapan berbeda.

Rancangan pendidikan harus dirancang dan disesuaikan dengan ke-4 fase seperti pikiran Rousseau.

Pendidikan yang diterima orang nantinya dapat digunakan sebagai bekal hidup. Agar ia bisa mencukupi kebutuhan hidupnya di masa depan:

  • sehingga tidak menggantungkan dirinya pada orang lain;
  • sehingga kebebasannya tetap ada.
  • masih bisa mempertahankan identitas dirinya.

Pendidikan formal selama ini kadang malah membatasi kebebasan individu dalam menentukan atau mempertahankan identitas dirinya. Hal ini lambat laun akan membuat seseorang kehilangan identitas dirinya.

Gunanya aturan

Dalam dunia pendidikan, aturan yang dibuat akan mengikat seseorang, sehingga menjadikan seseorang tidak suka atau tidak bisa menikmati bersekolah karena tidak dapat mengekpresikan dirinya.  

  • Adanya peraturan yang dibuat sekolah membuat tidak adanya kesempatan seseorang untuk melakukan apa yang disukai dan terpaksa melakukan peraturan.
  • Adanya keterpaksaan akan membuat seseorang kehilangan motivasi dalam bersekolah. Hilangnya motivasi seseorang akan membawa dampak terhadap hasil pendidikannya.

Ruang kebebasan di sekolah

Ada dua hal yang dapat dilakukan sekolah untuk dapat memberikan ruang kebebasan bagi setiap individu. Yaitu, kebebasan berpakaian dan kebebasanmengikuti mata pelajaran.

Pemakaian seragam sekolah, membatasi seseorang  untuk mengekpresikan kebebasan dirinya  dalam memilih baju yang disukainya untuk dikenakan yang sesuai dengan keinginan hati.

Ketika keinginan hati didapatkan  tentu saja akan membuat seseorang merasa senang atau gembira.

Perasaan senang dan gembira  inilah yang akan menjadi motivasi untuk belajar dengan semangat dan menikmati pelajaran yang dipelajari sehingga pelajaran itu akan mudah dimengerti dan dipahami dengan baik apa inti sarinya.

Seseorang juga akan menyukai pelajaran tersebut. Hal  itu akan membuat seseorang mendapatkan hasil yang maksimal.

Ilustrasi: Seorang suster OSA menjadikan pelajaran itu menyenangkan. (Dok. OSA)

Jadwal pelajaran sekolah yang ditetapkan oleh setiap setiap harinya menuntut seseorang untuk mengikutinya dengan terpaksa, tidak sesuai dengan suasana hatinya.

Di saat mood jelek karena ada kejadian yang tidak menyenangkan, orang tidak akan bisa fokus lagi saat mengikuti pelajaran. Ia akan menjadi perhatian guru.

Guru bisa jadi juga kurang memahami penyebabnya. Akibatnya, dia akan dengan mudah terpancing menjadi  marah.

Memarahi murid bukannya membuat mood menjadi lebih baik. Sebaiknya malah semakin memperburuk mood-nya sehingga akan semakin tidak fokus.

Hal ini akan membuat orang makin tidak menikmati pelajarandan mungkin malah akan membuat murid membenci -katakanlah-pelajaran matematika.

Hal ini akan membuatnya  semakin tidak bia mengikuti pelajaran matematika dengan baik dan mengalami kesulitan memahami sehingga hasilnya pasti tidak maksimal.

Lain halnya bila diberi kebebasan memilih mata pelajaran yang diinginkan. Contoh memilih pelajaran musik atau olahraga agar mood menjadi baik dan kembali normal sehingga kita menjadi rileks.

Kebebasan dalam memilih mata pelajaran yang diikuti akan menjadi motivasi utama untuk pergi setiap hari ke sekolah. Seseorang tidak akan mencari–cari alasan untuk tidak pergi ke sekolah di hari–hari tertentu karena takut dengan mata pelajaran yang tidak sukai. 

Bebas melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginan hati diperlukan. Ini agar orang tidak kehilangan identitas dirinya dan bisa mempertahankan identitasnya.

Melalui pendidikan, eorang akan mendapatkan pengetahuan. Tanpa harus kehilangan identitas dirinya. Malah masih tetap punya kebebasan mengekspresikan diri sendiri.

Pustaka:

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version