ISTILAHNYA adalah pending coffee. Kita memang tak biasa mendengar atau menemukan istilah ini dalam khazanah pergaulan kita sehari-hari.
Sungguh jauh dari panggang api.
Namun dalam proses tata kelola semangat belarasa untuk sesama melalui Berkhat Santo Yusup atau BKSY ini, istilah pending coffee itu hukumnya wajib: harus digemakan setiap hari.
Loh, kok harus begitu? Nah, ini dasar argumentasinya.
Manakala kita mampir minum kopi di sebuah konter resto, kita mungkin saja hanya “mampu” minum 1-2 gelas kopi saja. Karena kopi seharusnya memang bukan jadi asupan minuman sehari-hari. Kopi mesti diperlakukan sebagai asupan minuman yang sifatnya optional atau tambahan di kala leisure time.
Tapi karena di saku kita ada sejumlah uang untuk -katakanlah- bisa membeli 2-4 cup kopi lagi, maka paket minuman kopi yang kedua, ketiga, dan keempat itu nantinya akan kita “simpan” sejenak.
Barulah kemudian kita berikan kepada teman-teman ngobrol yang sebentar lagi akan datang menemani leisure time kita.
Dengan begitu, istilah pending coffee ini tidak lain merupakan kerelaan untuk “mentraktir” orang lain agar mereka bisa menikmati seduhan kopi enak di kala senggang.
Konon, minum seduhan kopi dengan takaran sedikit saja tapi tanpa gula itu sehat. Memanglah, orang Indonesia sudah terlalu manja lidahnya.
Bahkan untuk minum kopi pun harus ada citarasa manis dan aroma sedap sehingga gula, krim, dan campuran lainnya ikut dimasukkan ke dalam cup.
Padahal di belahan dunia lainnya -misalnya di Amerika dan Eropa- kebiasaan minum kopi itu justru harus “murni” alias kopi tubruk item dan tanpa gula.
Membantu sesama
Mari kita kembali ke filsafat pending coffee ini.
Program Berkhat Santo Yusup (BKSY) ini selalu aktif menggemakan prinsip pending coffee.
Jalan ceritanya begini.
Untuk masyarakat dengan tingkat kemampuan finansialnya tinggi, membeli kopi seharga di atas Rp 50 ribu itu urusan gampang. Bahkan, orang-orang kantoran sering kali dengan mudahnya “membuang” uang sebesar itu untuk membeli paket kopi besutan resto asing.
Lagi, orang berada mungkin sudah punya program asuransi kesehatan dan asuransi jiwa dengan setiap membayar premi tahunan ke lembaga perusahaan asuransi terkenal.
Ingat bahwa prinsip dasar asuransi adalah kita “mengalihkan” risiko babak belur karena dana keuangan kita terkuras habis karena mengalami kecelakaan, sakit, dan juga meninggal dunia.
Dengan ikut program asuransi kesehatan, asuransi jiwa, dan asuransi kerugian, maka risiko keuangan yang babak belur karena harus bayar sana-sini menjadi tidak ada lagi karena sudah “diambil oper” kewajiban bayar sana-sini itu oleh perusahaan asuransi.
Itulah gunanya kita mengasuransikan rumah kita dari risiko bahaya banjir, kena petir, ambruk kena dampak gempa, dan sekian banyak bencana alam lainnya.
Juga kalau mobil kita nabrak atau ketrabrak, maka perusahaan asuransi kerugian akan mengganti biaya reparasi.
Bahkan kalau mobil kita hilang pun, perusahaan asuransi akan mengganti dengan yang baru sesuai ketentuan pertanggunganjawab atas risiko all risk atau TLO (total lost only)
Kita juga mengasuransikan kesehatan dan jiwa kita, kalau sesekali sakit serius maka biaya rumah sakit, obat, jasa medik dokter dan lainnya yang mestinya harus kita bayar kini sudah diambil oper oleh perusahaan asuransi.
Bukan asuransi
Prinsip sangat berbeda di program Berkhat Santo Yusup (BKSY). Sudah pasti bahwa BKSY ini bukan program asuransi.
“Lebih tepat menyebutnya sebagai program belarasa untuk sesama kita yang memang sungguh layak dibantu,” ungkap Kaduhu Sasrayudha yang juga diamini oleh segenap penggiat PaLingSah.
Dalam konteks inilah, istilah pending coffee lalu menemukan pondasi pijakannya dan relevansinya untuk kita praktikkan dalam BSKY.
Aneka risiko kehidupan yang sudah kita “operkan” kepada pihak lain sehingga keseharian kita jadi terjamin karena ikut program asuransi kerugian, asuransi kesehatan, dan asuransi jiwa, maka sisa dana yang kita punyai untuk beli ini dan itu mungkin ada baiknya kalau kita “sumbangkan” kepada BSKY.
Agar donasi kita itu -terserah mau seberapa banyak berikan sejumlah uang amal- nantinya bisa dikelola oleh BKSY untuk mempraktikkan prinsip pending coffee ini.
Dengan target masyarakat yang memang layak dibantu. Bahkan, Anda sendiri pun bisa menentukan kira-kira sasaran kebaikan melalui pending coffee itu ingin Anda sumbangkan untuk siapa.
Sungguh. Bahkan dengan sumbangan amal kasih hanya senilai Rp 80 ribu/tahun, Anda sudah bisa berbuat kebaikan tak terhingga bagi asisten rumah tangga, tetangga, teman, dan tentu saja kerabat dekat.
Berkat pending coffee senilai hanya Rp 80 ribu per tahun, maka Anda sudah mempraktikkan iman dalam tindakan nyata: berbelarasa dengan sesama. (Berlanjut)