Puncta 12.04.23
Rabu Oktaf Paskah
Lukas 24: 13-35
DALAM bukunya Rome Sweet Home, Scott Hanh menceritakan pengalaman adikodrati saat mengikuti Ekaristi.
Ia adalah seorang pendeta Kristen Protestan dari Gereja Presbyterian di Pennsylvania. Scott Hanh adalah seorang profesor dan dosen teologi Kitab Suci di berbagai universitas Kristen.
Ekaristi mengubah dirinya. Ia menemukan rumah sejatinya yakni Gereja Katolik Roma.
Pergulatan imannya cukup panjang. Semakin mendalami Kitab Suci, semakin banyak dia menemukan kebenaran dalam Gereja Katolik. Doktrin-doktrin yang selama ini dia pegang runtuh saat dia memperdalam Kitab Suci.
Pengalamannya tentang Ekaristi adalah puncak dan akhir dari perjalanan imannya.
Ia menuliskan pengalamannya mengikuti Ekaristi dalam Gereja Katolik, “Saya tetap berada di luar lapangan sampai saya mendengar imam mengucapkan kalimat konsekrasi: “Inilah Tubuh-Ku… Inilah Piala Darah-Ku.”
Lalu segala keraguan saya hilang seketika. Pada saat saya melihat imam mengangkat Hosti yang berwarna putih tersebut, saya merasakan suatu doa meluap dari dalam hati saya dalam sebuah bisikan: “Ya Tuhanku dan Allahku. Sungguh-sungguh Engkaulah itu.”
Pengalaman pertama Scott Hahn mengikuti Ekaristi mendorongnya untuk menghadirinya secara rutin setiap hari. Hal ini dikarenakan ia melihat Kitab Suci tersingkap secara terang-benderang di dalam Liturgi Ekaristi. Dan ia ditarik semakin ke dalam inti perayaan Ekaristi.
Kehadirannya tidak hanya sebatas “mengamati,” tetapi lebih dari itu ia “berpartisipasi” di dalam perayaan Ekaristi secara aktif. Ia telah jatuh cinta kepada Ekaristi.
Pengalaman dua orang murid yang pergi ke Emaus adalah pengalaman iman. Di tengah perjalanan, mereka murung, putus asa, tidak bersemangat, tiada harapan lagi.
Dikatakan, “Berhentilah mereka dengan muka muram.” Mereka yang pulang kampung itu juga disebut “lamban hati.”
Mereka didatangi Yesus dan dijelaskan tentang isi Kitab Suci. Tetapi mereka belum mengenal Yesus. Baru terbukalah mata batin mereka, saat Yesus memecah-mecahkan roti, mengucap syukur dan memberikannya kepada mereka. Inilah Ekaristi.
Inilah Tuhan yang hadir secara nyata.
Mirip pengalaman Scott Hanh. Ia mempelajari Kitab Suci, namun belum menemukan apa yang mampu memuaskan dahaga rohaninya.
Baru ketika ia mengikuti Ekaristi, dia mengalami perjumpaan penuh dengan Tuhan, “Ya, Tuhanku dan Allahku. Sungguh-sungguh Engkaulah itu.”
Apakah kita sungguh menghayati kehadiran Yesus di dalam Ekaristi?
Saat pemecahan roti itulah Kristus mewahyukan Diri-Nya, sadarkah kita akan hal itu?
Malam-malam lampunya mati,
Cari senter malah kecemplung kali.
Syukur atas anugerah Ekaristi suci,
Engkau sungguh hadir mengasihi kami.
Cawas, ber-ekaristi tiap hari..