Pengantar Redaksi
Atas izin penuiisnya, kami tayangkan sharing iman ini untuk para pembaca sekalian.
—————–
SAYA seorang survivor Covid-19. Saya menjadi PDP no 2.300 sekian dan menjadi PDP Indonesia ke-960 sekian. Dan dinyatakan sembuh pada tanggal 24 April 2020.
Nama saya Bernardus Djonoputro. Saya gaptek tidak bisa buat video kekinian, jadi menulis. Mohon maklum apabila terasa terlalu panjang. Dan oleh-oleh foto terlampir.
Tidak bermaksud untuk menggurui atau mengajarkan apa-apa, melainkan ingin sharing pengalaman misteri ilahi yang saya alami melalui pergulatan melawan virus mematikan ini.
Mudah-mudahan bisa menjadi bahan masukan pengetahuan praktis bagi kita semua dalam menghadapi badai pandemi yang saat ini masih terus mengintai kita.
Mohon maaf, apabila banyak cerita saya bernuansa terlalu pribadi, karena sungguh karunia-Nya yang Maha Penyembuh telah menyentuh saya dengan kesempatan memanggul salib-Nya, dan memberikan kesempatan hidup baru melalui sakit saya.
Be pro-active
Menurut saya, inti utama dari usaha melawan Covid-19 adalah be proactive , jangan terlambat. Kita harus di depan si virus, peka akan gejala, dan harus ngotot untuk terus test, check, rontgen, scan, test, check lagi.
Dari pengalaman pribadi melihat teman atau pasien yang saya kenal yang tidak berhasil survive, semua hampir memiliki kesamaan. Yaitu salah diagnosa yang terlanjur dibiarkan, terlambat check, atau memiliki riwayat penyakit berat lain nya.
Apalagi dalam statistik pandemi Covid-19, saya merasa masuk kelompok umur rentan, karena umur saya 56 dan bekerja dengan waktu panjang, banyak bepergian dan bertemu dengan sangat banyak orang. Jadi ya harus pro aktif.
Stres juga adalah pemicu utama merajalela nya virus dalam tubuh kita. Untuk saya, kehilangan teman dekat alm Dj Ketua IAI, dan sorang diri berada di ruang ICU melihat kematian setiap saat, merupakan tekanan stres yang luar biasa.
Beratnya pasien Covid-19 ini adalah suasana kesendirian karena isolasi, menjalani seluruh rasa sakit, masa pengobatan, masa kritis, dan pemulihan dijalani sendiri.
Bergumul dengan virus yang jahat dan berat ini, bagi saya sungguh penderitaan sekali, karena orang-orang yang saya cintai dan semua keluarga berada nun jauh di luar sana. Dan lebih berat lagi, perasaan yakin ini pasti penderitaan berat bagi mereka yang saya cintai juga, karena hanya bisa mengantar ke pintu isolasi, dan baru akan bertemu lagi kemudian.
Dalam isolasi, sungguh hanya ada saya dan Maha Pencipta saya.
Isolasi membuat pengalaman batin dan spiritual sangat mengemuka dalam pergumulan saya melawan virus ini.
Sebagai latar belakang, saya ini sehat, cukup fit untuk umur saya karena kebiasaan olahraga serius sejak muda sebagai atlit, dan sampai saat ini masih terus rutin berolahraga dan pola makan sehat.
Tidak mempunyai penyakit bawaan apa pun. Nah, berat badan saya sejak diduga positif, dalam waktu tiga pekan sampai turun 15 kg.
Awal Maret 2020 lalu dan melihat perkembangan di luar dan anjuran pemerintah, kami sekeluarga memutuskan untuk melakukan distancing, berjaga-jaga.
Isteri dan mertua (beliau memiliki riwayat sakit jantung) untuk distancing di Bandung. Saya masih harus bekerja di Jakarta, sehingga masih riskan.
Dan betul. Walaupun kami sudah proaktif, ternyata kami harus mengalami terpapar.
- 20 Mar – tidak enak menelan dan agak demam 37.2. Saya ke dokter saya di sebuah RS, hanya boleh ke IGD. Diperiksa, katanya radang amandel (tonsil), sementara paru-paru dicec pakai stetoskop, menurut dokter tidak ada masalah. Diberi obat radang. Cefixime, Medixon, Theragran, Fluimicil.
- 25 Mar – radang belum hilang, tanpa demam. Saya memaksa ke RS untuk di cek, dikasih obat sama dengan antibiotik. Cefixime, Medixon, Theragran, Fluimicil.
- Mar 27 – stres, karena berpulang nya alm Dj, Ketua IAI. Walau sudah dua bulan tidak jumpa kecuali melalui medsos, alm adalah teman baik berjuang dalam isu-isu arsitektur dan perkotaan kontemporer di Indonesia.
- Mar 28 – saya meminta isteri untuk kembali ke Jakarta, tapi kita tetap hati-hati, dan dia tinggal di penginapan dekat rumah.
- Mar 29 – memutuskan proaktif ambil darah untuk ikut Rapid Test di sebuah RS Kemayoran.
- Mar 30 malam – rapid test, hasilnya negatif. Sedikit lega. Namun, ada yang berbeda hari ini. Malam ini mulai hilang rasa dan penciuman. Bahkan minyak kayu putih dan Vicks yang keras, tidak tercium. Makanan menjadi tawar rasanya. Saya sangat curiga.
- Mar 31 – Apr 1 – walaupun hasil test negatif, kami merasa perlu cek terus, sehingga ke RS lagi. Kami bahkan memutuskan untuk tinggal di penginapan dekat RS, agar bisa ke dokter atau IGD setiap saat. Hal ini untuk mengatasi, karena dalam protokol Covid-19 kita tidak bisa rawat inap, hanya bisa di RS rujukan, dengan memperlihatkan surat rujukan. Nah, surat rujukan ini sangat sulit didapat, karena kita harus betul-betul bergejala ketika diperiksa di IGD.
- Mar 31 – ke RS lagi untuk cec demam 37.5. Kembali hanya di terima IGD. Kita ngotot minta ECG dan thorax foto. Ternyata dugaan saya benar, ada flek kabut pneumonia beberapa di paru. Kami harus ngotot minta semua data dan memaksa untuk dapat Surat Rujukan covid-19 malam itu, agar bisa punya pegangan untuk ke RS rujukan atau ke Wisma Atlet. Catatan: kita hanya akan di terima kalau punya rujukan.
Virus mulai menyerang keras. Anxiety dan gangguan psikosomatis langsung mendominasi diri saya. Tegang, ketakutan, apriori terhadap sistem kesehatan di luar sana, tidak bisa tidur, meracau.
Malam itu kami mulai keliling-keliling beberapa RS di Jakarta dan BSD, untuk bisa ketemu ahli paru. Namun tanpa sukses.
- 1 April- kuasa Tuhan berjalan, memberikan kami jalan untuk bisa diterima di sebuah RS, melalui kebaikan saudara, teman dan kolega. Kami tidak bisa mendapatkan ambulans dari semua sumber resmi. Maka isteri saya harus mengantar sendiri. Malam itu sesuai protokol, diperiksa IGD RSPP. Malam nya langsung masuk ruang isolasi Covid-19 RS. Tes scan thorax, menunjukan pneumonia sudah memenuhi paru saya, hanya dalam waktu dua hari sejak rontgen sebelumnya.
- 3 April schwaab test positif. Rupanya hasil ini memicu stres saya, dan menurunkan kondisi saya.
- 5 April tengah malam masuk ICU karena kesulitan bernafas. Yang Maha Tahu menuntun tim perawat untuk mengevakuasi saya ke ICU. Saya masuk ICU di Minggu Palma subuh, awal dari rangkaian Minggu Suci Paskah.
- 6-7 April kritis, tidak bisa bernafas. Badan sakit semua, dari ujung jari kaki sampai kepala. Semua otot-otot terasa seperti dipaksa kerja, kelelahan luar biasa, demam dan tidak mau makan. Isteri sudah diberitahu bahwa perlu dilakukan tindakan terminal, inkubasi ventilator dll. Pada saat ini saturasi oksigen sudah turun sekali dan tekanan oksigen 60 dan turun terus. Ternyata dokter sudah melihat kesempatan survive saya 50/50…… bahkan kurang.
Sungguh hanya komunikasi spiritual dengan Yesus yang menjadi penguat saya. Karena pengetahuan saya sangat terbatas, yang saya tahu ventilator adalah betul-betul ikhtiar terakhir manusia. Jadi dalam pikiran saya, ventilator tidak alami.
Sejak saya masuk ICU, doa-doa saya penuh dengan mohon ampunan, bimbingan dan keselamatan. Saya memohon, biarlah semua berjalan dan berakhir alamiah, dan tidak mau inkubasi buatan.
Hari pertama kritis, saya sempat tidak sadar selama 4 jam. Tim medis mencoba inkubasi ventilator, melalui operasi inkubasi di tenggorokan saya. Setelah tiga jam tidak berhasil, inkubasi dihentikan. Terima kasih Yesus karena Engkau menentukan yang terbaik.
Oksigen bertekanan terus dimasukan.
Kritis hari kedua, seluruh badan sangat sakit, jiwa ini rasanya antara berdoa dan menghilang, terus mendera. Mulut saya dan tenggorokan sakit luar biasa. Seluruh tenaga seperti terkuras habis meregang, nafas amat pendek 1 atau 2 detik dan badan berkeringat sepanjang hari.
Hari ke dua, keadaan masih buruk. Tapi ada satu hal yang berbeda, saya merasa terbangun dari tidur panjang, dan di antara kesakitan tenggorokan bisa merasakan masuknya oksigen pada setiap tarikan nafas saya.
Terima kasih Bapa atas nafas baru ku. Kesempatan hidup baru. Terima kasih Tuhan Yesus hamba mu bisa merasakan mukjizat mu yang menghidupkan.
Semua protokol di ICU dijalankan termasuk memasang arteries line untuk ambil darah permanen, infus pindah-pindah, dan obat-obatan masuk banyak sekali pagi, siang, malam, baik anti viral drugs avigan yang konon mahal sekali, chloroquine, tapi juga segala macam obat untuk mengurung dan melindungi organ lain, lambung, ginjal, jantung, anti darah tinggi, protein tinggi, vitamin.
Selama 9 hari di ICU, tidur hanya bisa satu atau dua jam. Rupanya menurut dokter, imsonia dan sulit tidur terus menerus merupakan khas kondisi pasien Covid.
Selain itu bunyi-bunyi mesin yang dipasang pada diri saya, menegangkan. Sangat menguras kekuatan tubuh, mulut pahit dan sakit, makanan yang masuk terasa seperti pasir, otot-otot kaki tangan menghilang seketika menjadi lemas, mata kabur dan nafas tersengal-sengal.
Saya memaksa untuk tidak mau dipasang alat kateter buang air besar dan kecil. Tidak alamiah!
Saya meyakini, bahwa sakit ini harus dilawan dengan tetap harus bergerak. Alam dilawan proses alami.
Jadi buang air kecil di pispot, dan buang air besar saya paksakan jalan terhuyung-huyung ke toilet dengan membawa infus. Alat lain dicopot dulu. Nafas pun tersenggal-sengal setiap langkah.
Ada jendela di mana sinar matahari pagi merasuk ke ICU, saya paksakan untuk berjemur dengan nafas tersenggal-sengal.
Tingkat stres di ICU sangat tinggi, karena pemandangan konstan melihat tetangga-tetanga yang tidak survive harus pulang dalam bungkus plastik dan peti khusus Covid-19.
Sungguh hati saya hancur membayangkan keluarga mereka yang tidak pernah melihat dan tidak akan lagi bertemu sejak mengantar ke isolasi.
May they all rest in peace.
Hari-hari saya di ICU ketika tidak tidur, diisi doa, dengan mendengarkan piano concerto Chopin di pagi hari, lagu-lagu Queen sepanjang hari. Berbagi rasa dengan para medik dan tim ICU.
Gembira membawa semangat.
Kamis Putih, Jumat Agung, keajaiban demi keajaiban, perbaikan demi perbaikan saya rasakan. Saturasi oksigen sudah selalu di 96-98.
- 12 Apr – hari Minggu Paskah, kebangkitan Yesus Kristus dari mati. Saya diperbole kan keluar ICU, kembali masuk ke ruang Isolasi Covid-19. Schwaab test masih positif. Sehingga semua obat, kecuali avigan dan chloroquine, masih full.
- 13 Apr – mulai program pemulihan di ruang isolasi. Selama pemulihan, masih belum bisa makan, tapi terus memaksakan diri. Hanya madu, buah-buahan, susu formula yang bisa saya makan/minum. Selama masa isolasi, saya mulai diberikan terapi dengan alat latihan pernafasan. Selain itu saya mulai melakukan gerakan-gerakanringan dan mandi sebagai exercise. Latihan nafas saya gabung dengan meditasi, dan menyanyi karaoke lagu2 daerah Batak, Ambon, lagu daerah dll. Ini saya lakukan pagi, siang, sore. Saya rasakan energi positif dan kegembiraan, dan ini sangat membantu kekuatan saya.
- 18 Apr – dokter mengabarkan schwab test ke 3 hasilnya sudah negatif!
- 20 Apr – Dilakukan schwab test ke 4. Tim dokter mengabarkan bahwa saya diizinkan untuk isolasi mandiri, dengan full obat-obatan dibuatkan. Clearance free of Covid-19 akan diberikan setelah tes ke 4nNegative (atau 2 kali schwab terakhir negatif).
Sungguh kekuatan dahsyat doa-doa dan support istri, anak-anak, sahabat, handai taulan sungguh menjadi obat paling mujarab dalam menghadapi kesendirian diisolasi dan mengalahkan virus ini. Terima kasih.
- 20 April – Tuhan Yesus baik sekali kepada kami sekeluarga. Malam ini saya bisa pulang ke rumah untuk isolasi selama tiga pekan.
Virus ini sangat bahaya.
Jadi sebenarnya sejak 20 Maret ke 31 Maret (12 hari) gejala sebenarnya sudah terasa, yaitu infeksi tonsil, hilang penciuman dan rasa.
Walaupun saya sendiri sudah curiga dan proaktif, namun semua diagnosa, tidak mengarah ke Covid-19.
Ini lah sumber keterlambatan. Ketika gejala mulai lebih nyata, adalah ketika akan memasuki tahap kritis. Hanya dalam hitungan hari pneumonia sudah menguasai paru-paru kita.
Pada saat saya terpapar, rumah sakit kita masih sulit proses administrasi nya, sulit nya mendapatkan tes, dan hampir mustahil nya mendapat surat rujukan.
Imunitas awal badan kita, tingkat kebugaran raga dan kebugaran spritual adalah modal awal yang teramat penting dalam memerangi virus ini dalam tubuh kita.
Sangat penting untuk berserah diri, melalui perjalanan spiritual, ketika penyakit memburuk. Bagi saya, saya percaya pada kekuatan alam tanpa mengesampingkan keyakinan pencapaian ilmu kedokteran dan keandalan para tenaga medis.
Saya sebagai survivor, sekarang melakukan rehabilitasi dampak pneumonia dengan latihan jalan, fisik ringan, menyanyi, mendengarkan lagu, dan tentu doa. Bersyukur atas karunia kesempatan saya untuk memanggul salib Nya, dan diberikan nafas baru di Minggu Paskah.
Terima kasih perantaraan Bunda Maria, Santo Yusuf, Santa Clara, Santo Benediktus, dan Santo Josemaria Escriva, yang mengantar doa-doa saya ke pangkuan-Nya. Dan isteri dan anak-anak yang tak henti-henti nya berdoa dan berserah diri.
Kepada semua dokter yang merawat saya dan perawat yang tidak bisa saya sebutkan satu-satu. Terima kasih atas segala usaha dan perjuangan teman-teman semua dalam tugas berat sebagai frontline bersama pemerintah, dalam menghadapi pandemi ini, dan saya yakin Tuhan Yang Maha Besar akan memberikan berkat Nya pada anda semua.
Kini, dengan doa-doa tak henti dari keluarga, sahabat, handai taulan, semoga saya dapat segera ditunjukan jalan menemukan tugas saya dengan nafas baru ini.
Terlampir oleh-oleh foto dari isolasi.
Be proactive!
Amin. Terima kasih Yesus. Berkah dalem. Jakarta 22 April 2020
berniedjonoputro@gmail.com