Renungan Harian
Senin, 21 Juni 2021
PW. St. Aloysius Gonzaga
Bacaan I: Kej. 12: 1-9
Injil: Mat. 7: 1-5
PADA suatu kali, kami mengadakan evaluasi untuk Perayaan Natal di paroki. Dalam pertemuan itu, semua seksi menyampaikan evaluasi atas apa yang telah dikerjakan, apa yang sudah baik, apa yang mendukung dan menunjang kerjanya.
Selain itu juga disampaikan apa yang kurang baik dan mengapa.
Selain mengevaluasi pekerjaan sendiri, juga penting memberikan evaluasi atas pekerjaan teman lain demi kemajuan di masa datang.
Hal yang paling penting dalam pertemuan itu masing-masing mengungkapkan perasaannya menjalani tugas yang dipercayakan kepadanya.
Pertemuan berjalan dengan baik, diselingi dengan gelak tawa yang menyenangkan. Mereka dengan jujur mengevaluasi diri sendiri dan ketika kinerjanya dievaluasi orang lain tidak menjadi sakit hati.
Di samping itu refleksi atas pelaksanaan tugas luar biasa menarik, karena mereka mampu menemukan nilai-nilai positif bagi diri mereka dan melihat betapa banyak rahmat yang dialami.
Salah satu hal yang dilihat oleh semua sebagai kekurangan adalah antisipasi atas kehadiran umat dalam jumlah yang amat banyak.
Kejadian itu adalah kejadian luar biasa karena selama ini belum pernah terjadi.
Umat yang hadir amat banyak, sehingga kursi-kursi yang disediakan di halaman gereja tidak mencukupi. Padahal, semua kursi yang ada termasuk kursi-kursi pastoran digunakan tetap tidak mencukupi.
Selain jumlah kursi yang tidak mencukupi, konsumsi untuk umat juga amat kurang.
Atas kejadian yang kurang mengenakkan itu hampir semua panitia memaklumi mengingat peristiwa itu adalah kejadian yang luar biasa.
Semua sadar bahwa menurut perhitungan semua cukup bahkan berlebih, tetapi hal yang tidak diduga begitu banyak umat yang hadir.
Namun ternyata ada seorang bapak yang mengevaluasi kejadian itu dengan sinis.
Ia mengatakan peristiwa itu terjadi karena kebodohan panitia. Secara khusus, ia menuding ketua panitia yang tidak mampu mengantisipasi.
Bapak itu kesannya bukan memberi evaluasi, tetapi melampiaskan kemarahan. Kata-kata yang keluar bukan hanya agak keras, tetapi juga menjurus ke kasar dan kurang sopan.
Kami semua diam mendengarkan bapak itu mengkritik dengan keras yang intinya bahwa ini kesalahan fatal dan semua itu akibat kebodohan panitia.
Setelah bapak itu selesai memberikan evaluasinya, ketua panitia berkata:
“Maaf, bukankah bapak adalah koodinator bidang yang membidangi perlengkapan, tempat dan konsumsi. Pada saat kejadian itu bapak ada dimana?”
Mendengar kata ketua panitia itu bapak itu memberi alasan bahwa dirinya sibuk sehingga tidak bisa ikut persiapan dan pada saat acara juga tidak bisa hadir karena harus pulang kampung.
Selain itu, masih terus bicara panjang memberikan alasan bahwa dirinya tidak bisa dilibatkan dalam kesalahan itu.
Mendengar semua apa yang dikatakan bapak itu, kami saling berpandang-pandangan dan memberi isyarat kepada ketua agar pertemuan diakhiri.
Semua yang mendengarkan sepakat bahwa mendengarkan bapak itu beralasan tidak berguna karena dia hanya mau menyalahkan orang lain.
Betapa mudah dalam diri kita menghakimi orang lain, tanpa menyadari betapa sebenarnya saya lebih buruk dari orang yang saya hakimi.
Apalagi di zaman media sosial sekarang ini betapa mudah seseorang menghakimi orang lain melalui media sosial tanpa menyadari siapa dirinya atau bahkan penghakiman itu digunakan untuk menutup aib diri sendiri.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Matius: “Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu sendiri, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar dari mata saudaramu.”
Bagaimana dengan aku?
Apakah cenderung untuk mudah menghakimi orang lain?