Renungan Harian
Minggu, 4 Juli 2021
Hari Minggu Biasa XIV
Bacaan I: Yeh. 2: 2-5
Bacaan II: 2Kor. 12: 7-10
Injil: Mrk. 6: 1-6
SEORANG teman, suaminya dalam dua hari terakhir merasakan bahwa badannya tidak enak dan merasa sakit tenggorokan. Pada hari kedua suaminya merasakan demam agak tinggi.
Dalam situasi merebaknya pandemi Covid-19 ini, beberapa teman menyarankan agar periksa ke dokter dan tes antigen untuk mengetahui apakah suaminya terpapar virus covid 19 atau tidak.
Namun saran teman-teman ini ditolak dengan alasan demam yang dialami akibat radang tenggorokan. Dan lagi menurut teman saya mereka hampir selalu pergi berdua.
Empat hari kemudian karena suatu urusan yang mengharuskan tes antigen, maka mereka melakukan tes antigen dan hasilnya suami terdeteksi positif Covid-19 sedang dirinya negatif.
Oleh karenanya, suami diminta untuk tes PCR untuk mendapatkan kepastian dan keakuratan.
Mengetahui hasil tes antigen itu teman saya langsung sewot dan mengatakan bahwa tidak mungkin kalau suaminya positif. Karena menurutnya, suami kemana-mana selalu bersama dengan dirinya.
Bahkan teman saya mulai mempertanyakan keabsahan dan kesahihan alat tes serta tempat tes antigen.
Teman-teman menghibur agar tetap tenang sambil berharap bahwa hasil tes PCR negatif. Tetapi teman saya ini dengan keras mengatakan bahwa tidak mungkin suaminya positif.
Esok hari, hasil tes PCR suaminya menunjukkan bahwa suaminya positif terpapar Covid- 19, maka dia disarankan untuk tes PCR juga.
Teman saya menolak bahwa suaminya positif, menurutnya ini tidak mungkin, dan berpikir untuk tes di tempat lain.
Teman-teman menyarankan tidak perlu tes di tempat lain, yang penting suaminya harus isolasi mandiri dan dirinya menjalani tes PCR.
Ternyata hasil tes PCR dia juga positif. Ia amat marah dan sedih; marah dan sedih karena bagaimana mungkin mereka terpapar virus Covid-19.
Dia jarang ke luar rumah, dan kalaupun keluar rumah selalu mematuhi protokol kesehatan. Dalam kemarahan dan kesedihannya dia mulai menyalahkan suami sebagai biang keladi dirinya terpapar.
Semua kemarahan dan kekesalan itu ditumpahkan ke suami dan segala sesuatu di luar dirinya. Ia merasa bahwa dirinya seharusnya tidak terpapar, dirinya tidak pantas menerima semua ini.
Ada yang dia lupa, bahwa dia dan suami sering pergi makan di luar dan banyak jalan-jalan.
Pengalaman penolakan dan pengingkaran dialami oleh banyak orang manakala sesuatu yang tidak diharapkan dan dipikirkan menimpa dirinya.
Dalam pengalaman menolak dan mengingkari hal yang paling sering muncul adalah menyalahkan orang lain atau sesuatu di luar dirinyal.
Menyalahkan orang lain atau sesuatu di luar dirinya menjadi hiburan semu, karena semakin “mengkambing hitamkan” orang lain atau sesuatu akan membuat penolakan semakin dalam dan menjadikan dirinya semakin tertekan.
Namun demikian “pengkambing hitaman” banyak dipilih hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya bersih tidak bersalah, meski tidak membantu menyelesaikan masalah.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Markus, orang-orang Nasaret tidak mendapatkan apa yang mereka harapan dari Yesus.
Mereka merasa sebagai orang-orang sekampung akan mendapatkan apa yang mereka harapkan dan ternyata tidak mendapatkan.
Sehingga mereka menolak Yesus dan mengusir Dia. “Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria?”
Bagaimana dengan aku?
Bagaimana keterbukaanku pada karya Allah dalam diriku?