SAAT ini, apakah yang masih istimewa dari PentAkosta? Apakah tentang tanda heran yang tampak dalam peristiwa para rasul dapat berkata-kata dalam bahasa yang tidak pernah mereka kenal?
Dan dengan itu, perbedaan bahasa, suku, bangsa, ras, agama, Yahudi dan bukan Yahudi, disunat dan tidak disunat, makan daging babi atau tidak – bukan lagi menjadi kendala bagi perjuangan untuk mewujudkan persekutuan?
Setidaknya, sejak peristiwa para rasul –yang semuanya berasal dari Galilea– dapat berkata-kata dalam bahasa yang dimengerti oleh pendengar-pendengar dari berbagai bangsa: Partia, Media, Elam, Mesopotamia, Yudea, Kapadokia, Pontus, Asia, Frigia, Mesir, Libia, Kirene, Roma, Kreta, Arab terbukalah cakrawala berpikir dan bermisi dari murid-murid Yesus.
Bahasa penghuni surga
Kerajaan Allah itu pada hakikatnya milik semua kaum dan bahasa. Ia merangkul semua dan bukannya mencerai-beraikan –dan syukur– Kitab Suci tidak pernah mengatakan apa pun tentang bahasa yang dipakai oleh penghuni surga.
Hal remeh seperti itu memang tidak perlu ditulis dalam Kitab Suci. Dan jika ternyata ada, hal itu pasti hasil halusinasi penulis.
Menerjemahkan Kitab Suci dalam berbagai bahasa
Peristiwa “Roh Kudus turun atas para rasul”, mengakhiri pikiran yang memboikot bahasa tertentu sebagai alat komunikasi penghuni surga.
Sejak saat itu, murid-murid Kristus tercerahkan; mereka tidak lagi menggenggam iman mereka secara ekslusif.
Pewartaan Kabar Gembira dapat dilakukan dalam berbagai bahasa. Atas alasan itulah Injil harus diterjemahkan dalam rupa-rupa bahasa. Para murid Kristus tidak dibelenggu oleh tuntutan untuk menghafal Kitab Suci yang ditulis dalam bahasa asing.
Karena, jika kelak di surga Allah ternyata memakai bahasa tertentu, pasti masih ada surga lain – tempat Allah yang menerima dan merangkul semua bertakhta.
Atas keyakinan akan Allah yang inklusif itu, saya tidak terusik oleh pandangan yang berbeda tentang surga.
Barangkali kita memang memiliki Allah yang berbeda.
Menurut saya, surga sebagai destinasi terakhir umat beriman tidak boleh hanya dihuni oleh bangsa yang memakai bahasa tertentu.
Sikap yang dituntut
Jika bukan mengenai cerita tentang para murid yang dapat berkata-kata dalam berbagai bahasa, saat ini apakah yang istimewa dari Pentekosta?
Apakah tentang perasaan luar biasa menakjubkan sekaligus menggairahkan dari para murid ketika mengalami Pentakosta tampak sebagai lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap ke atas para murid? (bdk. Kis 2:1-11)
Cerita itu dinarasikan secara jelas dalam Kitab Suci. Pengkhotbah yang baik tidak perlu melukiskan ulang hal-hal yang telah terungkap jelas seperti itu.
Jika demikian, apakah yang istimewa dari Pentakosta saat ini?
Melampaui impian, harapan, mungkin juga halusinasi para murid akan terjadinya hal-hal yang menakjubkan dan luar biasa. Terutama barangkali tentang keinginan untuk mengambil-alih kekuasaan politik, Roh Kudus sebagai Penolong yang dijanjikan Kristus ternyata hadir dan mengembalikan para murid ke dalam diri mereka masing-masing.
Kristus berbicara tentang sikap batin, tentang persatuan, dan tentang penghapusan kendala bahasa, suku, dan kekuasaan.
Mengampuni
Dari semua sikap yang dituntut Roh Kudus, sikap mengampuni adalah yang paling utama. Kedatangan Roh Kudus didahului wejangan Tuhan Yesus kepada para murid untuk menjadi utusan-Nya. “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.”
Pada saat itu, Tuhan Yesus menghembusi para murid dengan Roh Kudus.
Satu-satunya anugerah Roh Kudus, yang Yesus berikan adalah anugerah pengampunan.
“Jika kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni; dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.”
Roh Kudus diberikan kepada kita agar kita mampu mengampuni, karena kita tidak dapat mengampuni dengan kekuatan kita sendiri.
Kemampuan untuk mengampuni itu diberikan Tuhan Yesus kepada semua umat beriman.
Maka, ketika menerima perlakuan yang mungkin melukai, menyakitkan, menjengkelkan. Bahkan mengerikan seperti yang Tuhan Yesus terima saat disalibkan, pengampunan adalah satu-satunya cara yang bakal mengubah keadaan.
Dalam kasus-kasus seperti ini mengapa bukan balas dendamlah sikap yang secara manusiawi harus kita ambil?
Bukankah sikap mengampuni menjadi bumerang. Orang lain akan melangkahi kita, dan mereka akan berpikir bahwa kita lemah?
Menjadi berbeda
Jika tidak ada Pentakosta, yaitu peristiwa Roh Kudus turun menaungi Gereja, kita mungkin akan terus memilih balas dendam sebagai satu-satunya cara pemuasan batin.
Namun, bukankah cara yang sama juga dimiliki – mungkin memang satu-satunya – oleh hewan-hewan yang tidak berakal budi?
Yoon Hong Gyun penulis buku bestseller berjudul How to Respect Myself (2022) menulis demikian: “Berteriak, memecahkan barang, atau menyerang orang lain adalah tindakan yang dapat dilakukan hewan lain.”
Kata-kata itu adalah sindiran bagi orang yang sulit memaafkan dan mengampuni.
Hal yang dituliskan Gyun di atas sebenarnya bentuk praktis dari wejangan Tuhan Yesus kepada para murid.
Tuhan Yesus tahu, pengampunan adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Karena kesulitan itulah Roh Kudus dibutuhkan.
Maka, jika kita ingin mengetahui wujud kehadiran Roh Kudus dalam hidup kita, bukalah hati kita untuk mengampuni.
Itulah saat kita menjadi berbeda dengan hewan.
Ledalero, Minggu Pentakosta 05062022