Home BERITA Pentingnya Budaya Srawung Zaman Now (4)

Pentingnya Budaya Srawung Zaman Now (4)

0
Penggiat srawung.

ADA sebuah lagu ciptaan Franky Sahilatua yang sangat terkenal berjudul Pancasila Rumah Kita. Lagu ini sangat relevan dan cocok untuk terus dipatrikan dalam hati setiap orang, tak terkecuali rekan-rekan muda.

Situasi bangsa Indonesia saat ini menghadapi tantangan dan ancaman yang nyata terkait adanya gerakan radikalisme, kekerasan atas nama agama, dan berbagai upaya untuk menggantikan sistem hidup bernegara atas dasar Pancasila.

Menurut hemat saya, lagu ini bisa makin meneguhkan apa yang menjadi gerak bersama umat Keuskupan Agung Semarang dengan diadakannya acara Srawung Persaudaraan Sejati Orang Muda se-Keuskupan Agung Semarang” pada tanggal 26-28 Oktober 2018.

Berikut ini syair lagu itu:

Pancasila rumah kita
rumah untuk kita semua
nilai dasar Indonesia rumah kita selamanya

Untuk semua puji namanya
untuk semua cinta sesama
untuk semua warna menyatu
untuk semua bersambung rasa
untuk semua saling membagi
pada semua insan, sama dapat sama rasa

Deklarasi Muntilan

Saya ingat akan salah satu poin Deklarasi Muntilan Buah-Buah Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Agama KAS di Muntilan, 24-26 Oktober 2014 waktu itu.

Dalam poin kedua ditegaskan bahwa:

“Para narasumber meneguhkan kami bahwa Persaudaraan sejati adalah mimpi dan cita-cita yang menjadi kerinduan hidup setiap orang beriman. Karena itu kami sadar bahwa beragama dan menganut kepercayaan saja belum cukup. Kami harus menjadi semakin beman yang melampaui perbedaan dan bersatu dalam semangat kebangsaan, membangun Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.”

Ya, persaudaraan sejati sampai sekarang masih menjadi mimpi dan cita-cita kita semua sebagai anak yang lahir dan dibesarkan di rahim ibu pertiwi Indonesia. Indonesia adalah negara yang sangat luas dan kaya akan budaya, agama, keyakinan, dan suku bangsa.

Sebagai orang Katolik (di) Indonesia, sudah sepantasnya kita bangga dan bersyukur atas anugerah ini.

Jika ditarik garis diagonal dari Sabang sampai Merauke, hal itu sama saja dengan garis diagonal dari London ke Ankara. Sepanjang garis diagonal itu, Indonesia memiliki 17.499 pulau, terdiri dari 1.340 suku bangsa, 740 bahasa daerah yang aktif, 6 agama dan berbagai aliran kepercayaan.

Bangga dan bersyukur belumlah cukup. Anugerah itu harus dirawat dan dijaga bersama.

Bagaimana caranya?

Tidak sekedar perjumpaan

Salah satu caranya dengan mengembangkan budaya srawung. Kita tahu bahwa srawung adalah sebuah istilah Jawa yang mengandung arti kumpul atau pertemuan yang dilakukan lebih dari satu orang atau kelompok.

Srawung Persaudaraan Sejati Orang Muda Lintas Agama KAS: Dari Kongres ke Srawung (2)

Dalam tradisi masyarakat pedesaan, istilah srawung sudah akrab di telinga mereka, karena hal itu merupakan media untuk saling bercerita tentang realitas kehidupan.

Srawung mengandung filosofi yang mendalam. Srawung tidak hanya dimaknai sebuah perjumpaan. Dari srawung itulah ada sebentuk rasa yang muncul, yakni belajar, menimba inspirasi (ngangsu kawruh).

Dengan demikian, srawung merupakan bagian dari tatanan nilai yang melekat secara khas dalam khazanah kesadaran di kalangan masyarakat.

Dalam srawung, masyarakat bisa saling ngudoroso atau menyampaikan realitas yang terjadi di sekitarnya. Tidak hanya apa yang ada dalam pikiran, tetapi apa yang ada dalam perasaan mereka pun semua bisa diungkapkan.

Srawung juga merupakan pengalaman-pengalaman batin yang kadang sulit dibahasakan, tapi terasa di hati. Dengan adanya srawung inilah banyak permasalahan dalam realitas kehidupan ini bisa dibicarakan, dicarikan solusi secara bersama. Maka acara Srawung Persaudaraan Sejati Orang Muda Se-Keuskupan Agung Semarang 2018 perlu kita dukung bersama dan apresiasi.

Mengutip pesan Paus Fransiskus saat Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-48 pada tahun 2014, berdialog atau srawung berarti percaya bahwa orang lain mempunyai sesuatu yang pantas disampaikan, dan menyenangi pandangan dan perspektifnya.

Dengan melibatkan dalam dialog tidak berarti mengesampingkan ide-ide dan tradisi-tradisi kita sendiri, tetapi menampik pendakuan bahwa hanya milik kita yang sah atau mutlak.

Paus Fransiskus berharap agar gambaran Orang Samaria yang baik yang peduli akan luka-luka dari orang itu dengan menuangkan minyak dan anggur atasnya menjadi inspirasi kita.

“Biarlah komunikasi kita menjadi sebuah balsam yang meringankan rasa sakit dan anggur enak yang meriangkan hati. Semoga terang yang kita bawa kepada orang-orang lain tidak merupakan buah hasil kosmetik atau akibat-akibat khusus, tetapi kasih dan belaskasih bersesama kita terhadap mereka yang terluka dan ditinggalkan di tepi jalan,” tegas Paus Fransiskus.

Lilin kecil

Didorong atas kerinduan ibu pertiwi Indonesia yang damai dan penuh toleran, saya ingat bahwa pada tahun 2016 saya bersama dengan hampir seratus mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta bertemu.

Kami duduk bersama menggelar kegiatan “Angkringan Lintas Iman dan Tour Kampung” di kampus Universitas Sanata Dharma pada Sabtu-Minggu, 29-30 Oktober 2016. Acara Angkringan Lintas Iman waktu itu mengangkat tema: Bersama Merawat Keberagaman.

Hari Sabtu diisi dengan dialog bersama lintas iman, deklarasi dan doa bersama dengan cara masing-masing secara bergantian, serta renungan atau refleksi kebangsaan.

Pada hari Minggu pagi, 30 Oktober 2016, dengan membawa dua bendera merah putih seluruh peserta Angkringan Lintas Iman mengadakan tur kunjungan ke kampung Gowongan dan Kampung Rejowinangun.

Kampung Gowongan dicanangkan sebagai Kampung Pancasila oleh Walikota Yogyakarta pada tahun 2011. Sementara Kampung Rejowinangun dikenal sebagai pemenang lomba kampung ketahanan pangan tingkat DIY, baik bidang kerajinan, herbal (toga), sayuran, budaya, dan kuliner.

 

Di sana diadakan dialog, sarasehan dan sharing bersama upaya warga kampung dalam mewujudkan toleransi dan persaudaraan. Para mahasiswa menimba inspirasi dari upaya warga kampung dalam mewujudkan kampung yang toleran.

 

Di situlah tampak nyata Kampus Srawung Kampung, atau Kampus Kumpul Kampung. Dengan srawung, kesalahpahaman bisa diretas. Dengan srawung, kecurigaan antar pemeluk agama bisa diatasi. Di sana ada komunikasi yang terjadi.

Pada akhir acara, kami  mantap menyanyi Pancasila Rumah Kita karya Franky Sahilatua. Apa yang dibuat para mahasiswa lintas iman itu menjadi oase kasih bagi Ibu Pertiwi yang sedang bergolak. Bagi saya acara ini seperti lilin kecil yang harus tetap dijaga terus nyalanya.

Menjelang hajatan lima tahunan, yakni pemilihan presiden dan legeslatif tahun 2019, di beberapa tempat suhu politik sudah terasa memanas.

Suasana masyarakat pun ikut bergejolak. Kaum muda sebagai kaum intelektual yang sedang menggembleng diri dalam dunia kampus dan sekolah, perlu menyadari diri sebagai bagian dari keluarga besar umat manusia kendati berbeda agama dan etnis.

Banyak tokoh, sarana dan tempat untuk belajar hidup bertoleransi, belajar merawat keberagaman, belajar menjadi pribadi nasionalis sekaligus religius. Juga menjadi pribadi cerdas yang humanis.

Bangsa Indonesia memiliki seorang pahlawan yang nasionalis sekaligus religius.Oleh Presiden Soekarno, jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal Semarang. Mgr. Albertus Soegijapranata SJ namanya.

Dalam film Soegija karya Garin Nugroho (2012)diangkat pesan moral dari Mgr Soegijapranata yang masih aktual dengan kondisi Indonesia masa kini.

Dikatakan:

“Kemanusiaan itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan satu keluarga besar. Satu keluarga besar, di mana anak-anak masa depan tidak lagi mendengar nyanyian berbau kekerasan, tidak menuliskan kata-kata bermandi darah, jangan lagi ada curiga, kebencian dan permusuhan.”

Kesadaran sebagai keluarga besar umat manusia ini penting ditanamkan dalam diri setiap orang untuk mewujudkan kehidupan bersama yang toleran, harmonis, rukun, dan damai.

Mengutip filsuf Prof. N. Driyarkara SJ (1913-1967), perlu manusia membangun kota, dan kota membangun manusia. Baik buruknya sebuah kota, mentalitas macam apa yang berkembang, tergantung manusia yang mengelola kota itu.

Mari kita berdoa agar acara Srawung Persaudaraan Sejati Orang Muda Se-Keuskupan Agung Semarang 2018 dapat berjalan dengan baik dan lancar.

Buah-buah srawung bisa dirasakan demi hidup bersama yang damai di ibu pertiwi yang ber-Pancasila ini.

Salam Srawung.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version