“Iyo. Saya tadi ke sekolah. Pak Guru masih di sana.” Kemudian gadis belia itu memanggil adiknya.
“Ko (red: Engkau) cepat ke sini. Ini ada Pak Guru punya teman datang.” Kali ini adik laki-laki kecil datang dan menjumpaiku. Ia ulurkan tangan dengan sangat ramah. Matanya berbinar-binar menatapku. Ia tersenyum dan memamerkan gigi yang putih. Kaos merah hitam Persipura itu tampak terlalu besar untuknya.
Mereka berdua mengantarku keliling kolam-kolam di sekitar pondok sambil bercakap-cakap dengan sangat bersahabat. “Kaka dari Jawa ka?”
“Iyo,” jawabku singkat. Aku terkesan dengan keramahan dan pekerti dua anak belia itu. Dengan bangga mereka berkisah tentang Pak Guru yang tinggal dengan mereka. Tentang kolam-kolam dan ikan-ikan di dalamnya. Seandainya aku lebih lama bersama mereka, mereka akan berkisah lebih banyak lagi tentang Pak Guru itu. Menyaksikan bagaimana mereka begitu ramah dan bersikap hormat, aku menjadi terkesan dengan Pak Guru itu.
Di hari yang lain, aku bertemu dengan gadis belia itu dalam perjalanan pulang dari sekolah. Ia menyapaku lebih dulu. “Selamat siang, Kaka. Pak Guru masih di sekolah, ka?”
“Selamat siang. Masih. Su (red: sudah) pulang ka?” Ia menjawab dengan suara yang tegas dan penuh percaya diri. Lalu ia melambaikan tangan. Langkahnya gesit menyusur Jalan Merdeka.
Aku terkesan dengan gadis belia, anak lelaki berkaus Persipura, dan tentu saja Pak Guru yang mendidik mereka. Untukku, mereka adalah orang-orang yang luar biasa, yang menyalakan lentera untuk pendidikan di Papua.
Lalu, aku berandai-andai: “Seandainya saja lebih banyak orang seperti Pak Guru itu akan ada lebih banyak gadis belia dan adik kecil berkaus Persipura yang mengagumkan…”