Di bawah ini, saya kisahkan kembali beberapa nukilan intisari pembahasan tema tersebut bersama nara sumber utama yakni Romo Eka Wahyu Djaka OSC.
Pembatalan nikah
Tidak bisa kita pungkiri dan kita melihat fakta bahwa begitu banyak perkawinan katolik pun ikut nyungsep ke jurang kehancuran. Awalnya janji pernikahan yang indah di gereja dengan lantunan koor yang merdu, namun beberapa tahun kemudian keretakan mulai menganga.
Janji perkawinan di hadapan Tuhan melalui perantaraNya Gereja dan imam, pasangan nikah berjanji bisa bersama-sama dalam keadaan suka maupun duka, kesediaan mau mendidik anak secara katolik, dan sebagainya.
Namun, bagai tebu dengan sepah manisnya yang lalu dibuang ke got, pun pula keharmonisan rumah tangga hanya seumur jagung. Benturan-benturan dalam hidup berumahtangga tak bisa dikelola dengan baik. Maka, jadilah kehancuran siap menanti di depan dan ujung-ujungnya pengadilan negeri menjadi pelabuhan terakhir dimana bahtera rumahtangga mesti disandarkan untuk seterusnya.
Perceraian adalah momok menakutkan bagi semua pasangan nikah yang awalnya berniat membina rumahtangga sehidup semati. Kalau bercerai tak bisa, ya maunya pembatalan nikah. Namun, kata Romo Eka, proses pembatalan nikah katolik tidak semudah membalik tangan. “Prosesnya sangat-sangat panjang dan barangkali juga melelahkan,” kata Romo dalam acara PRK Februari lalu.
Padahal, kata Romo, ketika pasangan nikah itu menjawab tegas bahwa perkawinan mereka bukan atas dasar perjodohan paksaan orangtua, melainkan atas kehendak bebas mereka sendiri. Diawali saling mengenal, lalu pacaran dan kemudian sepakat membina hubungan lebih serius dalam jenjang perkawinan…dan akhirnya menikah dan dikarunia anak.
“Tapi dalam perjalanan waktu, janji nikah sepertinya mulai menguap cepat, ketika benturan-benturan kepentingan masing-masing individu mulai menyeruak ke permukaan,” kata Romo Eka. “Ego masing-masing individu lebih berbicara dan tidak bisa mengelola emosi dan perasaan ketika harus menerima banyak kekurangan pasangannya,” jelas pastur dari Ordo Salib Suci ini.
Begitu mudahnya orang lalu mengatakan satu kata menyakitkan ini: cerai saja!
Rupanya tema riil dalam kehidupan keluarga ini menarik perhatian para undangan yang datang dari berbagai paroki di wilayah Keuskupan Purwokerto. Ada yang datang dari Ajibarang, Bumiayu, Slawi, Wangon, Banyumas, Purbalingga, Gombong, Katedral Kristus Raja Purwokerto, dan Paroki St. Yosep Purwokerto. Yang menyenangkan tentu saja ketika menyaksikan semua bangku terisi penuh sampai baris-baris paling belakang.
Penampilan lagu-lagu pujian persembahan Kelompok Tri Els Vocal Group dari Purwokerto ikut menambah semarak perhelatan rohani ini. Apalagi sang nara sumber utama yakni Romo Eka Wahyu Djaka OSC pinter mendaulat emosi audiens dengan cada dan humornya.
Cinta sebagai kata kunci
Meski perkawinan dihempas badai, demikian kata Romo Eka, cinta harus tetap menjadi obor penerang. Bagai pohon pelindung di musim kemarau, pohon bernama cinta ini pun bisa dipupuk di lahan yang subur bernama kesabaran dan saling tenggang rasa. “Banyak pasutri katolik masih semangat memupuk pohon cinta mereka,” kata Romo Eka.
Sejarah masa lampau, sahutnya lagi, memang tak bisa tidak akan memengaruhi emosi manusia pada masa kini. Romo lalu mengisahkan hidupnya sendiri sebagai anak sulung dari keluarga tentara. Ditempeleng atau digampar pakai sepatu dinas tentara menjadi ‘makanan sehari-hari’ sebagai anak yang dididik sangat disiplin.
He…he…banyak ibu-ibu sampai meringis mendengar kisah Romo Eka yang sering dipopor pakai sabuk dinas bapaknya. “Kok tega ya?,” begitu isi hati ibu-ibu. “Apakah bapak Romo itu tidak beriman?,” tanyanya diam-diam.
Eh jangan salah loh. Bapaknya Romo itu seorang prodiakon karir alias sudah lama sekali. Tapi karena perlakuan kasar bapaknya itu, terkadang di hati terdalam Romo juga ada perasaan tidak hepi dengan ayahnya sendiri. “Kalau pulang dinas luas dan bawa oleh-oleh, saya malah tidak pernah dapat karena jatahnya hanya untuk ibu dan ketiga adik saya,” curhat Romo.
Cerita punya cerita, ternyata kakek Romo pun berlaku sama: sangat keras dalam mendidik. Jadi ada semacam ‘lingkaran kekerasan’ yang tanpa sadar terwariskan dalam garis keluarga. “Saya pun kadang tanpa sadar ikut mewarisi sikap seperti itu,” demikian syering.
Melupakan sejarah masa silam, kata Romo, adalah perjalanan sangat panjang. Yang penting, mohon rahmat untuk “memaafkan” masa lampu dan minta rahmat untuk memiliki positive mindset di masa kini. (Bersambung)
artikel yg sangat bagus, khususnya bagi keluarga2 ataupun bagi yg akan berkeluarga. kiranya CINTA dan KEHADIRAH TUHAN kunci penting dlm hidup rumah tangga..terimakasih dan izin share BD