Sumba
Satu kali pengalaman perayaan malam tahun baru yang berkesan adalah beberapa tahun lalu ketika saya mengunjungi Pulau Sumba. Sebenarnya saya datang ke Pulau Sumba untuk urusan pekerjaan tetapi karena waktunya tepat di akhir tahun, jadilah saya merayakan malam tahun baru pertama kali di sana, jauh dari sanak keluarga.
Pulau Sumba terletak di bagian timur Indonesia, tepatnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Untuk mencapainya bisa dengan pesawat Jakarta- Waingapu via Bali. Di sana, saya menginap di biara di daerah terpencil, Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya.
Sewaktu saya menginjakkan kaki pertama kali di Kodi, saya sudah pasrah dengan apa yang akan saya alami malam tahun baru nanti. Jangan bayangkan ada keramaian di sana, lha, wong listrik saja sulit. Listrik baru nyala pada pukul 18.00 WITA dan padam pukul 06.00 WITA. Juga jangan harapkan bisa melihat hiburan atau menikmati wisata kuliner seperti yang saya alami di malam pergantian tahun sebelumnya.
Ini benar-benar asli pedesaan bahkan boleh dikatakan ini pedalaman terpencil. So, saya pasrah.
Saya menuruti saja ajakan tuan rumah untuk mengikuti acara malam tahun baru yakni ibadah malam. Dimulai dengan mazmur dan puji-pujian, lalu ada bacaan Kitab Suci, renungan malam dan sharing iman.
Ibadat malam
Wah, saya terkesan sekali. Jauh dari keramaian kota Jakarta, saya benar-benar dapat mengikuti ibadah ini dengan khidmat. Saat itu saya sungguh bisa merasakan bagaimana saya berpisah dan mengucapkan goodbye kepada tahun yang berlalu. Detik-detik melepas tahun sampai bisa saya rasakan di relung terdalam hati saya.
Seolah saya melepaskan sebuah planet yang berisi 12 bulan itu keluar angkasa dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Saya seolah bisa mengalami acara “pelepasan planet” itu dengan seluruh panca indera saya. Apalagi saat kami menghitung mundur detik-detik pergantian tahun itu, terasa sekali ada sesuatu yang hilang dari hidup saya saat jarum jam menunjuk angka duabelas.
Ibarat sepasang kekasih yang harus berpisah, seolah saya hanya mampu melambaikan tangan saja saat sang pujaan hati pergi selamanya. Perasaan saya, sedih, heran, senang, takjub, berat, syukur bercampur jadi satu di dada.
Udara dingin yang menusuk tidak saya rasakan lagi. Saya benar-benar larut dalam syukur ibadah itu. Setelah ibadah kami merayakan pesta kecil-kecilan dengan memutar musik dan menyantap hidangan ayam bakar buatan sendiri. Itulah hiburan kami tetapi jangan tanya nikmatnya.
Sungguh luar biasa. (Bersambung)
Photo credit: Indahnya Pulau Sumba di NTB (Ist)
Artikel terkait: Percikan Api Sepanjang Tahun: Antara Sumba dan Taipei (2)