Pesawat udara jenis Airbus 320-200 dari Medan tujuan Jakarta yang saya tumpangi terguncang-guncang. Saya yang duduk di kursi 5A mulai merasa tegang. Beberapa kali pesawat miring ke kiri, lalu terasa anjlok tiba-tiba.
Belajar percaya
Belum lagi rasa kaget reda, tiba-tiba saya rasakan pesawat menanjak beberapa detik untuk kemudian terbanting lagi ke bawah. Sebelumnya badan pesawat seperti menukik turun dan miring ke kiri sampai 45 derajat. Saya sudah mulai komat-kamit membaca doa dan berpikir pesawat ini mau jatuh.
Saya lihat penumpang di kanan saya sudah menjerit-jerit histeris dan beberapa penumpang di belakang terdengar menangis sambil berteriak, “Ya Allah!”, “Allahu Akbar!”,” Tolong, Tuhan!.”.
Rasa horor segera menguasai pikiran. Kami semua sungguh ketakutan saat pesawat terguncang-guncang selama satu jam lebih. Tadi sebelum take off, cuaca memang sangat buruk. Mungkin pesawat mengalami turbulensi atau apa.
Di tengah situasi yang menegangkan tersebut, perhatian saya tertuju kepada seorang bapak yang tampak tenang sekali. Ia hanya memejamkan matanya dan tangannya memegang pinggiran kursi. Saat saya menanyakan mengapa dia tidak nampak takut seperti kami-kami yang pucat pasi, ia hanya menjawab singkat bahwa ia percaya pada pilot.
Jawaban bapak ini sempat membuat saya terperangah. Kok bisa ya, saat semua penumpang sudah panik dibayangi kiamat mendadak, bapak ini bisa berpikir positif. Ketenangannya ini mengingatkan saya pada suatu istilah psikologi yang disebut resiliensi.
Resiliensi itu adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit (Reivich dan Shatté, 2002).
Ada kalanya seseorang berada dalam sebuah keadaan amat berat, stres dan cemas karena berbagai macam hal. Ada orang yang mampu bertahan dalam situasi negatif tersebut tetapi banyak juga yang gagal dan tetap galau. Kemampuan untuk tetap berjuang dan dan bertahan dalam tekanan berat merupakan sebuah kemampuan dari orang tersebut yang disebut resiliensi (Tugade & Fredrikson, 2004).
Mandela
Resiliensi ini berkaitan dengan kecerdasan emosional seseorang.
Daniel Jay Goleman, psikolog dan penulis buku Emotional Intelligence mengatakan bahwa kecerdasan emosional amat penting dalam kehidupan seseorang karena terkait dengan cara berpikir yang positif. Dengan mengaplikasikan kecerdasan emosional dalam kehidupan maka akan berdampak positif dalam kesehatan fisik, keberhasilan akademis, kemudahan dalam membina hubungan dengan orang lain, dan meningkatkan resiliensi.
Satu hal penting yang patut dicatat bahwa ternyata resiliensi bukanlah ciri kepribadian seseorang melainkan hasil dari sebuah proses. Pribadi-pribadi yang memiliki resiliensi pada umumnya adalah tipikal pemimpin yang tahan banting dan pantang menyerah.
Saya teringat tokoh yang saya kagumi yakni Nelson Mandela. Perjuangannya melawan perbudakan membuat Mandela harus mendekam di balik terali besi sampai beberapa kali. Dalam masa perjuangannya itu, iapun ditimpa kemalangan saat puteranya, Makgatho Mandela meninggal karena terkena AIDS. Namun Mandela tidak pernah menyerah meski hidupnya menderita. Ia bertahan dan terus berjuang.
Demikian juga kisah hidup Margaret Thatcer , PM wanita pertama Inggris yang dijuluki Si Wanita Besi. Beberapa kali kalah dalam pemilihan anggota parlemen ia tak patah arang. Dan saat ia menjabat kedudukan Perdana Menteri Inggris kebijakan ekonominya banyak ditentang bukan hanya oleh rakyat tetapi juga lawan-lawan politiknya. Tentu tidak mudah menghadapi situasi semacam itu tetapi kecerdasan dipadu dengan semangat bajanya telah menjadikan Margaret Thatcher sebagai salah satu tokoh dunia yang disegani. Pastilah tokoh-tokoh dunia ini tidak diragukan lagi memiliki resiliensi yang tinggi.
Saya kagum dengan bapak tadi. Boleh jadi ia adalah seseorang yang mempunyai resiliensi sehingga ia satu-satunya penumpang yang tidak terpengaruh dengan kejadian ini. Ia tetap tenang dan tegar meski lingkungan sekitarnya menunjukkan perilaku negatif. Dan, akhirnya memang pesawat dapat mendarat dengan selamat meskipun terlambat dari jadwal yang ditentukan.
Cuaca di luar pesawat masih hujan. Kami semua masih shocked dan tegang di kursi kami masing-masing saat roda pesawat menyentuh landasan pacu Bandara Soekarno-Hatta Jakarta pukul 02.00 dini hari. Begitu pesawat berhenti dengan sempurna, seluruh penumpang langsung bertepuk tangan dan kami langsung bersalam-salaman, lega bukan kepalang.
Saya keluar dari pesawat dengan sempoyongan. Sungguh, ini penerbangan yang paling menegangkan sepanjang umur saya!
Yesus dan Maria adalah Grand Master 2 Resiliensi, Maria dengan 7 masalah berat selalu tetap tenang ; tidak ada tanda 2 kekuatiran , kekecewaan , ketakutan , kemarahan dan dikatakan sbb :” Maria menyimpan semua itu dalam hati nya ” . Yesus terlebih hebat lagi ; dalam jalan salibnya ; 1.setelah jatuh bangun 3 kali ; dalam deraan yang dahsyat ; toh Yesus mengatakan kepada Ibu 2 Yerusalem : ” Mengapa menangis , tangisilah dirimu sendiri dan anak 2 mu. Adakah perasaan negatif (ketakutan , kemarahan , kekuatiran ) pada diri Yesus ? 2. Kepada si penjahat : Hari ini engkau dan aku akan ada dalam firdaus .3. Yesus yang sudah bergantungan begitu lama di salib ; toh masih menunjukan kasih – perhatiannya dengan menitipkan Maria kepada Yohanes dan 4. Pada akhirnya Yesus menunjukkan sosok manusia yang mempunyai Kasih yang sempurna : Ampunilah mereka Bapa karena mereka tidak mengerti apa yang telah mereka lakukan.
terima kasih pak atas atensinya