Melihat waktu yang sangat singkat berkunjung, lalu Joni minta izin padaku untuk sekedar silaturahmi dengan beberapa temannya. Maklum Joni rencana akan pindah ikut ibunya ke kotaku. Jadi mungkin mau sekalian berpamitan dengan teman-temannya, begitu pikirku. Aku izinkan Joni pergi dengan perjanjian sebelum jam empat Joni harus sudah kembali ke rumah untuk bersiap. Kuberi uang seratus ribu untuk membeli oleh-oleh kas kota ini.
”Baik, mbak,” katanya mantab.
“Sebelum jam dua aku sudah kembali,” janjinya lagi.
Tak kunjung tiba
Tetapi ternyata tunggu punya tunggu sampai pukul lima Joni belum kembali dengan sepeda motor pinjamannya. Hp-nya mati. Tadi sempat bisa ditelpon tetapi beberapa saat kemudian hpnya tidak aktif. Rasa was-was mulai menyelimuti kami. Kemana si Joni?
Kerabatku nampak cemas campur marah dengan kelakuan Joni. Berkali-kali beliau katakan udahlah mbak/mas kita tinggal saja. Tasnya bisa kita bawa saja biar dia tidak punya baju lagi buat salin. Besok suruh dia nyusul. Ini pasti keluyuran sama teman-temannya.
Akhirnya mengingat situasi yang tidak memungkinkan untuk menunggu Joni, keputusanku sudah bulat: kami pergi tanpa Joni. Apalagi waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, berarti sudah lima jam kami menunggu Joni tanpa kabar berita.
Mudah-mudahan Joni tidak ada apa-apa. Hanya itu doa yang kupanjatkan pada Tuhan. Raut wajah kerabatku sudah amat putus asa. Meskipun kerabatku berusaha menutupi namun tersirat kegelisahannya saat mengucap nama Joni. Kemana si Joni? Dengan siapa dia pergi? Kok ya tidak pamitan? Dan masih sederet pertanyaan tanpa jawab menghantuinya.
Jam tiga dinihari
Keesokan harinya sms dari kampung mengabarkan Joni baru tiba di rumah pukul tiga pagi. Joni ternyata pergi ke pantai dengan teman-temannya. Ya Tuhan!
Begitu mudahnya Joni mengingkari kata-katanya dan lebih menyedihkan lagi gampang sekali Joni berubah pikiran hanya demi kesenangan sesaat. Padahal Joni pasti tahu, betapa kami menantinya hingga larut. Juga dia tahu ada pekerjaan yang harus dia lakukan sekembalinya dari kampung. Oleh keluarga Joni diberi usaha steam motor di depan rumah. Semua tinggal kembali pada niat Joni.
Saat mendengar Joni sudah ada di rumah, kerabatku yang semula emosi, nampak mulai mengendor amarahnya. ”Biar bagaimana pun Joni anak kerabat sendiri. Kerabatku gak tega, dia makan apa dan bagaimana dia bisa menyusul ke sini sementara matanya kurang awas begitu”.
”Joni itu gampang terpengaruh teman-temannya. Aku takut dia diajak berkelahi dan Joni nekat saja meladeni. Kemarin saja tengah malam dia pulang dan dalam keadaan setengah mabuk minta aku melamarkan gadisnya untuk dinikahi. Aku mau pulang dulu jemput Joni. Kalau di sana ada apa-apa, bagaimana?,” kata kerabatku.
Sudah pusing mikir tingkah Joni yang seenaknya kabur, sekarang aku mulai pusing mendengar keluh kesah kerabatku yang intinya beliau mau pulang menjemput Joni di kampung. Oh My God! Bukannya baru beberapa jam yang lalu kerabat itu tiba disini, sekarang beliau mau pulang menjemput si kurang ajar itu?
Hampir orang seisi rumah memprotes keputusan kerabatku. Pertama alasannya perjalanan ini butuh ongkos tidak sedikit; kedua tidak mendidik Joni. Anak kurangajar itu pasti makin besar kepala dengan perlakuan ibunya! Weleh-weleh…aku pun geleng-geleng kepala. (Bersambung)