TULISAN ini murni semata-mata sebuah sharing pengalaman. Yang namanya sharing tentu saja berpangkal dari pengalaman pribadi. Maka, tak usah berprasangka buruk bahwa ada maksud tertentu dari sharing ini.
Bukan untuk pamer. Juga bukan dalam rangka promosi diri atau apalah – lagian apa sih yang mau dipromosikan – selain kesaksian Sukacita Injil yang bersumber dari Kristus sendiri.
Saya mohon maaf bila ada pihak-pihak tertentu yang merasa tidak nyaman saat membaca sharing atau tulisan ini. Sekali lagi, maafkan daku.
Begini, hari ini, Kamis, 3 November 2016, genap satu tahun saya menjalani tugas perutusan di Paroki Kristus Raja Ungaran. Persis setahun lalu di tanggal yang sama – hanya harinya yang berbeda yakni Selasa – saya pindah tugas dari Paroki Kebon Dalem Semarang ke Paroki Ungaran dengan menempuh jalan kaki. Istilah rohaninya peregrinasi. Waktu itu, banyak umat menemani peregrinasi itu, dalam waktu sekitar tujuh jam.
Nah, sore ini, mengenang dan mensyukuri setahun peristiwa itu, kulakukan pula peregrinasi lagi. Peregrinasi kulakukan dari Gereja Kristus Raja Ungaran menuju Gereja St. Yakobus Zebedeus Pudak Payung.
Mengapa? Jawabannya, karena terkait dengan intensi doa yang kubawa dalam peregrinasi kali ini. Itu yang nanti akan saya bagikan dalam sharing ini.
Sebelum menguraikan jawaban itu, izinkan saya beryukur.
- Pertama, syukur pada Allah, sore ini, Kamis, (03/11), tak ada jadwal pelayanan Misa Lingkungan karena esok hari adalah Jumat Pertama bulan November.
- Kedua, syukur pada Allah rencana acara Sarasehan Kebangsaan yang sedianya kami langsungkan Kamis malam (3/11) di Pendopo Kabupaten Semarang bersama kawan-kawan pendukung toleransi dan kebhinekaan yang dimotori sahabat saya Mustafa Ali, karena satu dan lain hal ditunda.
- Itulah sebabnya, saya bisa menempuh peregrinasi ini.
Ada sejumlah ajakan dan imbauan agar kita berdoa bagi bangsa kita, khususnya menjelang demo yang akan digelar di DKI 4 November 2016. Maka, dengan segala kesadaran demi perdamaian dan kerukunan bangsa ini, saya memilih melakukan aksi pribadi berupa “Peregrinasi untuk Pertiwi”.
Apa maksudnya? Begini, dan ini terkait dengan pertanyaan mengapa peregrinasi itu kutempuh dari Gereja Ungaran ke Gereja Pudak Payung yang kulayani saat ini. Saya syukuri setahun perutusan di Ungaran dengan “Peregrinasi untuk Pertiwi.”
Adorasi Ekaristi Abadi
Satu tahun bertugas di Ungaran, saya dan umat dianugerahi dua Kapel Adorasi Ekaristi Abadi. Satu di Pudak Payung (per 30 April 2016) dan satu lagi di Ungaran (per 30 September 2016).
Itulah sebabnya, “Peregrinasi untuk Pertiwi” kuawali dengan mendaraskan Doa Koronka Kerahiman Ilahi di Kapel Adorasi Ekaristi Abadi Ungaran dan kuakhiri lagi dengan Doa Koronka Kerahiman Ilahi di Kapel Adorasi Ekaristi Pudak Payung. Intensinya adalah untuk perdamaian di negeri kita yang hari-hari ini sungguh amat kita rindukan.
Apa hubungannya antara perdamaian dan Adorasi Ekaristi Abadi?
Paus Paulus VI dalam Mysterium Fidei (MF) menegaskan pentingnya Adorasi Ekaristi Abadi dalam kaitannya dengan damai dan persatuan (MF 69-70). Santo Johannes Paulus dalam Dominicae Cenae (DC ) menulis bahwa Adorasi Ekaristi Abadi membuat kita lebih peka terhadap ketidakadilan dan kejahatan (DC 6). Bahkan Paus Emeritus Benediktus XVI menulis dalam Sacramentum Caritatis (Scar) bahwa Adorasi Ekaristi Abadi meruntuhkan tembok-tembok permusuhan (SCar 66).
Dalam kesadaran itulah maka saya sengaja menempuh “Peregrinasi untuk Pertiwi” dari Kapel Adorasi Ekaristi di Ungaran ke Kapel Adorasi Ekaristi Pudak Payung. Tujuannya hanya satu perdamaian bangsa kita.
Rosario Suci
Sepanjang perjalanan dari Ungaran menuju Pudak Payung, saya daraskan Doa Rosario Suci demi perdamaian bangsa kita. Kupersembahkan bangsa ini dan segala persoalannya kepada Tuhan sambil merenungkan sejarah karya penyelamatan-Nya.
Doa Rosario Suci itu kumulai dari Peristiwa Gembira, Cahaya, Sedih dan Mulia. Lalu kudaraskan lima peristiwa Rosario Merah Putih seperti dianjurkan Keuskupan Agung Jakarta. Tak terasa, ternyata sekali tempuh “Peregrinasi untuk Pertiwi” dari Ungaran hingga Pudak Payung lima rangkaian peristiwa Rosario Suci itu terdaraskan.
Intermezzo Salib Jatuh
Saat sedang mendaraskan Rosario Suci pada Peristiwa Sedih, sampai pada peristiwa keempat, saya tersadarkan bahwa salib Rosario saya jatuh entah di mana. Kesadaran itu muncul saat saya berada di depan pintu gerbang Toko Pusat Gypsum Ungaran.
Sadar bahwa salib Rosario saya jatuh, saya putuskan untuk berbalik dan kembali menyusuri trotoar yang kulewati untuk mencari salib itu. Beberapa puluh meter kutempuh balik lalu kembali menyusuri trotoar yang sama sambil menyalakan senter dari android saya.
Syukur pada Allah, salib Rosario yang terjatuh itu kutemukan kembali di trotoar (di sekitar Kepiting Bagan yang ada di seberang jalan itu). Salib yang jatuh itu kucari malam itu juga bukan karena bahannya tetapi karena makna salibnya. Tanda penebusan Kristus inti doa Roasrio Suci.
Puji Tuhan kutemukan kembali.
Selain salib jatuh, begitu melewati batas kota Ungaran dan Semarang, muncul intermezzo tantangan lain: gerimis turun dari langit. Ada godaan untuk berteduh di Warung Sega Thiwul Mas Smith.
Namun godaan itu kulawan. Saya tetap melanjutkan perjalanan “Peregrinasi untuk Pertiwi” di bawah gerimis. Bahu harum tanah basah membuncah. Tak ingin aku menyerah! Jalan terus tak boleh putus. (Boleh percaya boleh tidak, begitu saya tiba di tempat tujuan, gerimis berubah menjadi hujan. Tapi daku aman sebab sudah sampai tujuan.)
Melawan arus
Perjalanan “Peregrinasi untuk Pertiwi” dari Ungaran menuju Pudak Payung kutempuh dengan cara melawan arus. Saya berjalan di trotoar sebelah kanan. Namun dengan berjalan melawan arus itu, saya merasa lebih aman.
Pertama, tak ada bahaya tertabrak dari belakang. Kedua, tak ada bahaya pula tertabrak dari depan. Pandangan saya ke depan lebih aman. Ternyata melawan arus sekali-kali memang diperlukan, bahkan demi keselamatan.
Tak terasa, pukul 18.00 saya berangkat dari Ungaran, satu jam tiga puluh lima menit kemudian saya sudah sampai di Kapel Adorasi Ekaristi Abadi Pudak Payung. Pada pukul 18.00 WIB kubuka “Peregrinasi untuk Pertiwi” dengan bersujud di Kapel Adorasi Ekaristi Abadi Ungaran. Pukul.19.35 kututup dengan bersujud di Kapel Adorasi Ekaristi Abadi. Semoga terciptalah damai-sejahtera bagi Bumi Pertiwi ini, walau selalu saja ada tantangan yang menghadang.
Demikianlah kuakhiri sharing ini dengan ucapan syukur dan terima kasih atas doa dan dukungan yang kuterima sepanjang “Peregrinasi untuk Pertiwi” ini.
Terima kasih Andi dan Ganang yang diam-diam mengawal dari belakang tanpa kutahu. Juga terima kasih anak-anak: Aurel, Angel, Dio dan Nico yang menyambutku di Pudak Payung dengan cinta dan ceria.
Tuhan memberkati.
Girlan Ungaran – Pudak Payung