
Renungan Harian
Jumat, 15 Oktober 2021
PW. S. Theresia dr Yesus
Bacaan I: Rom. 4: 1-8
Injil: Luk. 12: 1-7
SAYA sering mendengar kritik dari banyak teman berkaitan dengan kotbah para imam. Teman-teman mengkritik bahwa kotbah para imam terlalu ngawang-ngawang sehingga tidak banyak berguna bagi umat.
Sementara kritik lain yang benar tetapi cukup pedas adalah bahwa para imam berkotbah tetapi tidak bisa menjalankan apa yang dikotbahkan.
Para imam seperti kaum Farisi.
Sering kali pembelaan yang muncul dari diri saya adalah bahwa tidak semua yang dikotbahkan bisa dilakukan oleh imam. Tentu jawaban saya ini hanyalah rasionalisasi yang tidak penting.
Saya menyadari betul bahwa kritik teman-teman itu adalah kritik yang membangun dan baik.
Saya sendiri amat sadar beban yang tidak mudah ketika mempersiapkan kotbah. Bebannya bukan soal tafsir Kitab Suci dan penerapannya, tetapi lebih beban bahwa apa yang saya kotbahkan sering kali masih jauh dari perilaku saya pribadi.
Seorang teman rahib OCSO (pertapaan Rawaseneng) pernah syering bahwa dirinya sebenarnya berat untuk menjadi imam di pertapaan. Beban beratnya ada pada harus berkotbah.
Seorang imam di pertapaan harus berkotbah untuk saudara-saudara sekomunitas yang setiap hari hidup bersama dengannya dan pasti kenal persis kehidupannya setiap hari.
Berat karena satu pihak harus berkotbah dan pihak lain perilakunya masih jauh dari apa yang dikotbahkan.
Bagi saya setiap kali berkhotbah adalah tantangan dan pergulatan. Pergulatan untuk selalu menyadari betapa diriku masih jauh dari apa yang kukotbahkan.
Aku sadar saat aku berkotbah hal pertama dan penting adalah aku mengkotbahi diriku sendiri.
Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Lukas mengingatkan dan menegur betapa godaan untuk menutupi kelemahan diri dengan berkotbah yang muluk-muluk dengan kata-kata indah selalu ada pada diri saya.
“Waspadalah terhadap ragi, yaitu kemunafikan orang Farisi.”
Bagaimana dengan aku? Sudah selaraskah antar tuturanku dan perilakuku.