PERISTIWA Natal membuat aku yakin dan percaya aku tidak sendiri. Aku tidak dibiarkan berjalan sendiri.
Sesulit apa pun keadaanku. Sepahit apa pun pengalamanku. Sesedih apa pun hidupku. Aku disertai dan dicintai.
Para gembala mencerminkan perjalanan hidup kita. Mereka dinilai jauh dari hal-hal agama, tidak agamis.
Tapi di dalam Tuhan, merekalah yang pertama digabungkan dalam kemuliaan-Nya.
Natal mengajariku waspada dan hati-hati dalam memandang, mencela, sakwasangka bahkan mengutuk kelompok tertentu dalam masyarakat.
Tidak mengasingkan atau mengesampingkan. Merekalah yang diundang pertama untuk melihat dan mengalami kemuliaan Allah.
Natal juga menyadarkanku untuk lebih memperhatikan, mengasihi dan melindungi mereka yang “kecil”.
Sang bayi mengajari bagaimana orang harus lebih ramah, terbuka dan menerima orang lain. Bahkan yang dianggap berdosa sekalipun.
Tidak menilai orang lain secara terburu-buru atau menyebarkan gosip yang tak jelas. Rasa solidaritas dan keberanian menjumpai yang lain, bercakap-cakap dalam persaudaraan dan persahabatan.
Itulah Jalan Golgota kehidupan.
Natal juga mengajariku, kebesaran yang benar tidak terletak dari apa yang aku miliki tetapi siapakah diriku ini.
Siapa aku dihadapan Allah. Apa yang Tuhan kerjakan bagi hidupku.
Natal juga meneguhkan kita bahwa kita dikuduskan kembali. Allah membuang semua beban dan duka.
Ia memenangkan hidup dengan memperjuangkan sukacita dan kegembiraan dalam hidup. Sukacita mengalah kegelapan dosa.
Sukacita mengobarkan semangat dan sinar kebaikan, persaudaraan dan persahabatan.
Seandainya aku pun tetap mengalami tragedi dalam kehidupan, aku akan menjumpai Simon dari Kirene yang turut memanggul salib Yesus menuju Kalvari.
Natal menempatkanku sedekat mungkin dengan Yesus dalam Gua Betlehem.
Selamat Natal. Tuhan beserta kita.
Sabda sudah menjadi daging dan tinggal diantara kita