Puncta 13.09.21
PW St. Yohanes Krisostomus, Uskup dan Pujangga Gereja
Lukas 7: 1-10
SALAH satu presiden Uruguay yang dikenang rakyatnya adalah Jose Mujica. Walaupun ia punya kekuasaan dan fasilitas seorang kepala negara, namun hidupnya tetap sederhana.
Ia disebut sebagai presiden termiskin di dunia. Gajinya 90% disumbangkan bagi orang miskin. Ia tidak tinggal di istana negara. tetapi lebih suka tinggal di tanah pertaniannya di pinggir kota.
Ia dijuluki sebagai “Nelson Mandela” dari Amerika Selatan. Ia banyak membantu orang-orang kecil yang kesulitan.
Kendati menjadi “orang nomor satu” di negaranya, namun ia tidak lupa akan asal-usulnya. Hidupnya tetap sederhana dan biasa-biasa saja.
Justru karena kesahajaan dan kerendahan hatinya ini, dia dikenang dan dicintai oleh rakyatnya.
Dalam Injil hari ini dikisahkan seorang perwira yang baik dan rendah hati. Ia memperhatikan hambanya yang sakit.
Ia menyuruh utusan untuk menjemput Yesus agar menyembuhkan hambanya. Kendati ia adalah seorang perwira yang punya jabatan tinggi, namun ia merasa tidak pantas menyambut Yesus.
“Tuan, janganlah bersusah-susah, sebab aku merasa tidak layak menerima Tuan dalam rumahku. Sebab itu, aku juga merasa tidak pantas datang sendiri mendapatkan Tuan. Tetapi katakan sepatah kata saja, maka hambaku akan sembuh.”
Ia merasa tidak pantas menerima Tuhan. Ia adalah pemimpin yang rendah hati. Namun ia sangat percaya bahwa Yesus bisa menyembuhkan hambanya.
Asal Yesus berkata sepatah kata saja, pasti hambanya akan sembuh. Inilah iman yang sangat luar biasa. Dan terjadilah kemudian hambanya sembuh.
Kata-kata ini sering kita ucapkan saat imam mengangkat Hosti dan Anggur suci, “Inilah Anak Domba Allah yang menghapus dosa-dosa dunia. Berbahagialah kita yang diundang ke dalam perjamuan-Nya.”
Kita menjawab, “Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya. Tetapi bersabdalah saja maka saya akan sembuh.”
Saking seringnya kata-kata itu diucapkan, lalu tidak berisi apa-apa.
Tidak terjadi kesembuhan karena kata-kata itu hanya terucap di mulut saja. Tidak disertai dengan iman yang dalam seperti perwira yang pertama kali mengucapkannya.
Iman yang dalam itu diwujudkan lewat kasih yang tulus. Perwira itu mengasihi hambanya. Ia ingin hambanya sembuh. Ia mengusahakan dengan segala cara.
Kita tidak mengalami mukjijat penyembuhan atau doa-doa kita tidak dikabulkan, mungkin karena kita tidak sungguh-sungguh beriman.
Apalagi jika iman itu tidak kita wujudkan dalam tindakan kasih dan kebaikan.
Mengikuti Ekaristi, menyambut komuni ya hanya karena rutinitas dan kewajiban belaka.
Habis itu, pulang dari Ekaristi, masih marah dengan tetangga. Juga tidak peduli dengan orang yang menderita.
Ekaristi tidak ada makna. Sabda Tuhan tidak menyentuh hati kita. Maka hidup juga hambar tidak ada rasanya.
Perwira yang rendah hati dan dalam imannya itu memberi contoh bagaimana kita mesti mewujudkannya.
Mari kita beriman mendalam dengan tetap rendah hati dan terwujud dalam hidup sehari-hari.
Setiap pagi sarapan sepotong roti.
Ditemani secangkir hangat kopi.
Beriman dengan rendah hati,
Nampak dalam tindakan mengasihi.
Cawas, tetaplah rendah hati…