Puncta 14.11.23
Selasa Biasa XXXII
Lukas 17: 7-10
DALANG almarhum Ki Seno Nugroho pinter dan kocak memainkan tokoh Bagong dan Petruk, karakter yang mewakili rakyat jelata.
Mereka diutus oleh Semar, bapaknya untuk memboyong para punggawa Pandawa agar turun ke Karang Kadempel. Semar, pamomong Pandawa ingin membangun Kahyangan.
Niat itu dihalangi oleh Kresna yang akan meminjam Jamus Kalimasada karena Dwarawati sedang mengalami “pagebluk”.
Baladewa marah kepada Petruk, “Bapakmu kuwi wong sekeng, wong ora duwe, gedibal pitulikur, wong elek nyolok mripat, wong kere kok arep mbangun kahyangan”.
Kata-kata hinaan itu membuat Bagong dan Petruk tersinggung. Terjadilah perang antara Kresna gadungan dan Punakawan.
(Apa ada makna tertentu dengan terjungkalnya patung para Pandawa di Balaikota Solo, sementara patung Panakawan berdiri tegak?)
Karena Petruk dan Bagong menyadari sebagai anak yang diutus orangtuanya. Mereka menjalankan tugas, walau harus menghadapi raja digdaya.
“Kawula punika namung abdi ingkang dipun utus tiyang sepuh kinen mboyong para punggawa” (Kami ini hanya utusan yang disuruh orangtua untuk memboyong para pimpinan Amarta datang ke Karang Kadempel).
Semar, Gareng, Petruk dan Bagong itu disebut Punakawan. Mereka adalah hamba yang setia mendampingi para ksatria. Mereka adalah gambaran rakyat kecil yang tidak pernah mengeluh walau hidup terasa berat.
Hamba-hamba ini melaksanakan tugasnya dengan tulus dan setia agar para ksatria lurus hidupnya, terus berjuang menjalankan darma.
Yesus mengajarkan kepada para murid agar dapat menjadi hamba yang setia dan bertanggungjawab melaksanakan tugasnya. Bekerja tanpa pamrih dan tidak mengharapkan pujian atau penghormatan.
“Demikian jugalah kalian. Apabila kalian telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kalian berkata, “Kami ini adalah hamba-hamba tak berguna; kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan,” kata Yesus.
Para Punakawan itu dengan setia melayani tuannya. Mereka senang jika tuannya berhasil dan bahagia. Kita ini juga mengabdi kepada Tuhan. Apakah kita sudah bisa menyenangkan hati Tuhan?
Ataukah kita justru menjadi hamba yang lupa diri, mengejar kedudukan, mencari ketenaran dan mengabdi kepada harta kekayaan?
Pelayanan menjadi tidak berarti jika kita mengejar hal-hal duniawi.
Hujan deras di sore hari,
Yang tertinggal ada pelangi,
Apalah artinya semangat melayani,
Kalau yang dicari hanya ingin diakui?
Cawas, melayani dengan tulus bukan cari fulus
Rm. A. Joko Purwanto, Pr