Home BERITA Pijar Vatikan: Arswendo dan Peristiwa 27 Juli 1996 (31G)

Pijar Vatikan: Arswendo dan Peristiwa 27 Juli 1996 (31G)

0
Peristiwa 27 Juli 1996 by Kompas.

SETIAP tanggal 27 Juli tiba, pasti saya ingat pada peristiwa “Kudatuli” (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) tragedi penyerbuan markas PDIP di Jl.Diponegoro itu.

Setiap 27 Juli tiba, saya juga pasti ingat Arswendo. Mengapa?

Hari Sabtu, 27 Juli 1996 persis ketika markas PDIP diserbu itu, Arswendo, Romo Mudji, almarhum Romo Krismanto Pr dan saya, sedang siap-siap di meja pembicara pada seminar di Wisma Indocement di Jl. Sudirman.

Pagi itu, kami diundang menjadi pembicara pada seminar sehari yang diselenggarakan Perduki (Persekutuan Doa Usahawan Katolik Indonesia).

Tema yang dipilih pada seminar itu cukup “dahsyat”: “Murtad, Pindah Gereja, Pindah Agama”.

Acara yang sedianya dimulai jam 9 pagi akhirnya molor menjadi jam 11 lebih. Maklum para peserta jadi tertahan datang gara-gara peristiwa “Kudatuli” itu.

Sambil menunggu peserta datang, saya ngopi di pojok ruangan bersama Mas Wendo. Saya cerita semalam saya misa di ruang tengah markas PDIP yang lagi diserbu itu.

Issue-nya sih banyak yang meninggal di tempat kami misa semalam. Jangan-jangan teman-teman yang semalam ikut misa ada yang ikut tewas juga.

Dengan polosnya Mas Wendo komentar: “Misa semalam jadi perjamuan terakhir dong.”

Saya cerita juga ke Mas Wendo, dari jumlah hosti yang saya bawa, yang ikut misa semalam ada 200 orang lebih. Tentu selain pengunjung unjuk rasa, teman-teman PDIP dengan kaos merah hitamnya saya lihat banyak sekali yang menerima komuni.

Saya ingat juga, yang menjadi dirigen umat pada misa itu adalah Pak Jacob Nuwawea.

Tetapi yang mendapat komentar “dahsyat” dari Mas Wendo, bukan misa dan tragedi penyerbuan sesudahnya. Mungkin peristiwa Kudatuli untuk Arswendo adalah kecelakaan politik, sama seperti dirinya yang juga menjadi kurban politisasi angket.

Dia mengatakan “dahsyat” ketika saya cerita dalam kotbah semalam di markas PDIP itu saya mengutip kata-kata Mgr.Leo Soekoto: “Kepada yang baik dan benar kita harus taat. Kepada yang kurang baik dan kurang benar ya jangan terlalu taat!” 

Sesudah misa pelantikan Dewan Penyantun di Kapel Atas Atma Jaya sepekan sebelum kejadian Kudatuli, saya sempat bicara berdua dengan Mgr. Leo Soekoto SJ.

Saya bertanya : “Monsinyur, rsudah mendengar belum issue kalau Atma Jaya mau digusur seperti Gedung Veteran sebelah yang katanya mau dijadikan mal?”

Uskup Jakarta boss saya itu memberikan jawaban yang tak terduga: “Kalau sampai Atma Jaya digusur, kamu dan Krismanto harus mengerahkan para mahasiswa dan karyawan untuk demo besar-besaran.”

Lho kok demo, Monsinyur?

Jawab Mgr. Leo ya seperti yang saya ceritakan pada misa di markas PDIP menjelang peristiwa Kudatuli itu: “Kepada yang baik dan benar kita harus taat. Kepada yang kurang baik dan kurang benar ya jangan terlalu taat.”

Dahsyat sekali Uskup kita itu, celetuk Arswendo. Memang ketika di kotbah saya mengatakan itu kepada teman-teman PDIP yang ikut misa, mereka semua spontan bertepuk tangan.

Cerita tentang Arswendo pada 27 Juli 1996 itu. Masih ada lagi yang tidak kalah seru. Sambil menunggu peserta, saya bicara terus terang pada Mas Wendo kalau semula Perduki juga akan mengundang artis yang waktu itu lagi diisyukan pacaran sama anak Presiden.

Kita ingin dengar, apakah seandainya jadi menikah nanti, ia masih akan tetap Katolik dan mempertahankan imannya. Tema seminar kan memang sekitar murtad dan pindah agama ini.

Mas Wendo agak kaget, ketika saya cerita bahwa artis ini akhirnya membatalkan kesediaannya karena akan semeja dengan Arswendo.

Ketika saya datang mengirim undangan ke institutnya di Jl. Wijaya bersama almarhum Pak Yusma dari Perduki, dengan ketusnya saudari artis kita ini bilang: “Tidak mungkin dong Romo, saya duduk semeja dengan orang yang pernah melecehkan Nabi dan merendahkan calon mertua saya.”

Kurang lebih seperti itulah yang kami dengar alasan pembatalannya. Kalau kami dan teman-teman panitia mengelus dada mendengar komentar seperti itu, lain sekali dengan Arswendo.

Sambil tertawa ngakak Mas Wendo bilang: “Mosok orang Cendana kalah bersaing sama alumnus Cipinang.”

Itulah Arswendo. (Berlanjut)

http://www.sesawi.net/pijar-vatikan-pewarta-iman-yang-tak-pernah-lelah-puisi-sosok-pastor-dambaan-umat-31f/

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version