Home BERITA Pijar Vatikan II di Tahun Iman: Memahami Tanda-tanda Zaman (Signa Temporum) 14A

Pijar Vatikan II di Tahun Iman: Memahami Tanda-tanda Zaman (Signa Temporum) 14A

0

KETIKA masih mengajar di Jurusan Kateketik FKIP Universitas Atma Jaya Jakarta, saya pernah mendapat surat undangan untuk memberi renungan Natal dari salah satu instansi pemerintah. Yang menarik (dank arena itu akan selalu saya ingat), pada amplop undangan itu tertulis : “Kepada Yth.Bapak A.Kunarwoko, Universitas Atma Jaya, Jurusan Ketik !”

Ketika undangan itu saya tunjukkan ke teman-teman dosen, mereka tertawa terbahak-bahak. Tentu saja, saya tidak menyalahkan staf instansi pemerintah yang menulis alamat undangan itu.

Bagi saudara-saudara kita yang tidak Katolik, istilah “kateketik” mungkin menjadi istilah yang belum pernah mereka dengar. Yang mereka tahu adalah: mengetik atau ketik itu tadi. Harus diakui, kebanyakan istilah dalam gereja kita yang berasal dari “luar sono” memang hanya ngetop dan dikenal di kalangan kita sendiri.

Misalnya saja istilah-istilah seperti liturgi, ekaristi, sakramen, komuni, konsekrasi, anamnese, homili, sinode, koinonia, diakonia, martyria, dogma,  krisma, adven, eskatologi, doxologi, konsili, curia, konklaf, beatifikasi, kanonisasi, dsb.

Istilah tak akrab

Apakah semua umat Katolik pasti mengerti sebutan atau istilah yang umum dipakai dalam gereja kita? Ternyata tidak!

Teman saya seorang romo paroki di Jakarta Timur pernah bercerita, pada misa Minggu sore di parokinya, ada pembaca pengumuman yang bikin heboh.

Dengan mantapnya, pembaca pengumuman itu bilang: “Besok Minggu pada misa pukul 9, akan diadakan misa penerimaan sakramen krisma yang akan dipimpin oleh Margareta Leo Soekoto, Uskup Agung Jakarta”.

Lektor itu rupanya tidak tahu bahwa “Mgr” di depan nama Leo Soekoto itu artinya Monsignor/ Monseigneur, bukannya Margareta.

Lektor itu mengira, istilah “Mgr” di depan nama Leo Soekoto itu singkatan nama baptis, bukan julukan. Bagus dia tidak bilang margarine yang artinya mentega, atau margarita minuman eksotis ala Mexico itu!

Begitulah, banyak istilah dalam gereja kita yang tak lagi akrab di telinga umat kita. Mereka lebih akrab dengan istilah-istilah yang mereka serap hampir setiap hari seperti : alhamdulilah, insya Allah, mawadah, waromah, shekinah, inna ilahi wa innailahi rojiun, Allahu Akbar, mualaf, jilbab, zakat, sholat, dzikir, azhan, magrib, subuh, halal, haram, wudhu, minal aizin wal faizin, dsb dsb. Itu istilah-istilah yang berasal dari lingkungan keagamaan mayoritas negeri ini.

Kalau yang dari lingkungan belanja atau lingkungan pergaulan, pasti lebih banyak lagi. Nyanthelnya juga lebih cepat! Beberapa ibu-ibu penggila belanja kalau datang ke Roma, selalu bilang: “Nggak ngerti bahasa Itali nggak apa-apa. Yang penting ngerti “saldi”! Untuk para turis yang datang ke Itali, saldi yang artinya sale, lebih “berbunyi” dan lebih cepat ditangkap dari istilah apapun, apalagi istilah teologi dan gerejani.

Tanda-tanda zaman

Konsili Vatikan dan dokumen-dokumen yang dihasilkannya, juga mewariskan banyak istilah dan pengertian baru bagi gereja kita. Salah satu istilah pada Konsili Vatikan II yang cukup penting adalah istilah: tanda-tanda zaman atau signa temporum.

Almarhum Romo Dick Hartoko SJ, pendiri dan pengasuh majalah Basis  memakai istilah Tanda-Tanda Zaman ini untuk rubriknya yang sangat tersohor. Rubrik Tanda-Tanda Zaman-nya Romo Dick seolah menjadi “trade-mark” dan positioning Majalah Basis. Di kalangan penggiat sastra dan budaya tanah-air, mutu dan wibawa tulisan Romo Dick pada rubrik Tanda-Tanda Zaman, bisa disejajarkan dengan rubrik “Catatan Pinggir”-nya Goenawan Mohammad di Majalah Tempo.

Menurut almarhum HB Jassin, “Paus” sastra Indonesia, rubrik Tanda-Tanda Zaman itulah, yang antara lain membuat majalah Basis menjadi “perbentengan pikiran yang sehat, yang tetap mempertahankan kebenaran nilai-nilai di tengah kegalauan zaman”. Sementara pakar sejarah Indonesia di Universitas Keio dan Sophia, Jepang, Nobuto Yamamoto mengatakan: “Tanda-Tanda Zaman bahasanya bagus dan indah. Dari tulisan sependek itu, saya bisa ikut merasakan ada permasalahan di dalam kebudayaan Indonesia”. (Bersambung)

Photo credit: Ilustrasi (ist)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version