Jawabannya, peristiwa mundurnya Paus itu sendiri dan setiap kata yang diucapkannya selama 17 hari itu. Entah mengapa, semakin saya merenungkan keputusan mundurnya dan kata-kata yang diucapkan Benedictus XVI selama 17 hari itu, saya temukan “kedalaman” makna dan ajakan pendalaman iman yang menggugah.
Ketika dunia terkejut oleh keputusan itu, para tokoh negara-negara terpandang pada umumnya memberi hormat pada keputusan Paus ini. Presiden Amerika Barack Obama, Konselir Jerman Angela Merchel, Presiden Itali Napoletano, mantan Perdana Menteri Israel Simon Peres, semua “angkat topi” untuk keputusan besar yang tidak mudah ini.
Para ahli Hukum Gereja dan Ecclesiolog boleh saja berdebat tanpa henti apakah seorang Paus sebenarnya bisa mundur begitu saja. Para sosiolog atau “corporate specialist” boleh saja sekarang ini lebih leluasa mengeluarkan pendapat bahwa “Gereja Katolik Semesta tak ubahnya perusahaan biasa yang pimpinannya bisa lengser sewaktu-waktu”. Tetapi kalau kita sedikit saja mau mencermati ketulusan kata-kata Benedictus XVI, khususnya selama 17 hari terakhir sebelum beliau “lengser”, ada begitu banyak kekayaan iman yang bisa kita timba.
Belajar dari keputusan mundur
Ini misalnya: Pontificate bukan jabatan. Kerendahan hati dalam menghayatinya.
Bagi yang mengenal Prof. Ratzinger dan pemikiran-pemikirannya, berita mundurnya sebagai Paus sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. “Sudah sering diomongkan”, kata Romo Georg Ratzinger, kakak sulungnya yang ditahbiskan menjadi imam berbarengan dengan Joseph Ratzinger tahun 1951.
Interpretasi mengenai Konsili Vatikan II-lah yang membuat dia berseberangan dengan sahabat-sahabatnya itu. Setelah Konsili Vatikan II berakhir, Ratzinger menjadi lebih dekat dengan teolog-teolog Konsili di luar Jerman, yang ia kenal lebih akrab selama sidang Konsili seperti Hans Urs von Balthasar dan Henri de Lubac.
Bersama mereka, Ratzinger mendirikan majalah Communio yang berwibawa, yang menjadi “pelatihan” teologi para pengikut “aliran Ratzinger” seperti Angelo Scola, Christoph Schönborn dan Marc Ouellet. 3 nama terakhir ini sangat “papabile” pada Konclave 2013 ini.
Dalam diskusi di Radio Jerman itu, Ratzinger mengumpamakan Gereja Katolik sedang hidup di zaman yang serupa dengan zaman Revolusi Perancis. Gereja mengalami begitu banyak “penindasan dan pemberontakan”, sebagaimana yang terjadi ketika umat manusia diantar dari Abad Pertengahan menuju zaman modern.
Ratzinger menceritakan tragisnya Paus Pius VI yang diculik oleh pasukan Perancis dan meninggal di penjara pada tahun 1799. Pada tahun 1969 itu, ketika masih menjadi dosen Teologi di Jerman, Ratzinger sudah meramalkan bahwa Gereja Katolik mendatang adalah Gereja Katolik yang “mengecil”, pengikutnya berkurang, dipaksa meninggalkan kemegahan gereja, biara dan gedung-gedungnya yang sudah dibangun berabad-abad.
Di banyak tempat, Gereja Katolik akan menjadi gereja minoritas, kurang berpengaruh baik dalam bidang sosial maupun politik. Di banyak tempat, Gereja Katolik akan menjadi Gereja yang tertindas, terhina, dan karena itu akan menjadi Gereja yang lebih asli, lebih spiritual dan lebih sederhana, seperti Gereja Perdana.
Dalam konteks ini, pada audiensi umum terakhir pada tanggal 27 Februari 2013, Paus Benedictus “Ratzinger” mengatakan:
“Kita semua tahu, dalam perjalanannya, Gereja tidak selalu mengalami hal-hal yang baik, yang terang dan menyenangkan. Gereja kita banyak mengalami hal-hal yang buruk, yang gelap dan menderita. Ibarat perahu, gereja sering diterpa badai. Kita mengalami seolah Tuhan “tidur” di perahu itu. Tapi kita yakin Tuhan ada di sana, di dalam perahu kita. Gereja ini bukan milik saya, milik kamu, milik kita, tetapi milik Dia !”
Menjadi “orang nomor satu” di gereja Katolik hanyalah status “semu”. Yang menjadi “nomor satu” dalam “bahtera gereja kita” selalu Kristus.
Kristus dan GerejaNya: Pusat hidup kita.
Selama 17 hari sejak Paus mengumumkan pengunduran dirinya sampai “pensiun”-nya, Paus Ratzinger banyak sekali berbicara mengenai Gereja. Bahkan pada saat Paus “pamitan” dengan para imam dan umat Keuskupan Roma di Aula Paulus VI pada tanggal 14 Februari 2013 pagi, Paus Benedictus XVI memberi “kuliah eklesiologi Konsili Vatikan II”.
Dari semua pidato Paus menjelang “lengser keprabon”, pidato kepada imam dan umat Keuskupan Roma yang ia cintai inilah merupakan pidato terpanjang dan terdalam.
Menjelang “lengsernya”, Prof Ratzinger nampak ingin sekali memberikan “jurus pamungkas” refleksi teologisnya tentang Kristus dan Gereja. “Kado terakhir dari Paus: kuliah eklesiologi yang hebat di Hari Valentine”, kata Don Francesco, seorang pastor paroki di bilangan Tiburtina Roma.
Pada kesempatan itu, Paus memang panjang lebar bicara mengenai Gereja dan diskusi tema-temanya selama Konsili Vatikan II.
Sebuah anekdot muncul, ketika sebagai teolog muda Ratzinger bertugas mendampingi Kardinal Frings pada Konsili Vatikan. Ide-ide yang dilontarkan Ratzinger membuat dia dan Kardinal Frings akhirnya dipanggil Paus Yohanes XXIII dan peristiwa ini lalu muncul sebagai kisah.
Awalnya baik Ratzinger maupun Kardinal Frings sempat terpikir bahwa mereka akan “dipecat” karena usulannya “sangat progressif”, ternyata malah dipuji Paus Yohanes XXIII.
Cinta kepada Gereja
Kepada para imamnya, Paus mengingatkan lagi bahwa: “Noi siamo la Chiesa, la Chiesa non è una struttura; noi stessi cristiani, insieme, siamo tutti il Corpo vivo della Chiesa!” (Kita ini Gereja dan Gereja itu bukan stuktur. Kita semua ini orang Kristen. Dan bersama-sama, kita ini tubuh yang hidup dalam Gereja!”).
Kencintaan Paus Benedictus pada Gereja juga dia ungkapkan pada pidato di hari terakhir, beberapa jam sebelum beliau resmi pensiun dan terbang ke Castel Gandolfo. Pada “pamitan” resmi Paus di depan para Kardinal yang umumnya tak bisa menyembunyikan rasa harunya, Paus masih juga bicara mengenai Gereja.
Di saat-saat akhir kepemimpinannya, Paus Benedictus XVI mengatakan:
“Vorrei lasciarvi un pensiero semplice, che mi sta molto a cuore: un pensiero sulla Chiesa, sul suo mistero, che costituisce per tutti noi – possiamo dire – la ragione e la passione della vita. Mi lascio aiutare da un’espressione di Romano Guardini, scritta proprio nell’anno in cui i Padri del Concilio Vaticano II approvavano la Costituzione Lumen Gentium, nel suo ultimo libro, con una dedica personale anche per me; perciò le parole di questo libro mi sono particolarmente care. Dice Guardini: La Chiesa “non è un’istituzione escogitata e costruita a tavolino…, ma una realtà vivente… Essa vive lungo il corso del tempo, in divenire, come ogni essere vivente, trasformandosi… Eppure nella sua natura rimane sempre la stessa, e il suo cuore è Cristo ! ….Essa è nel mondo, ma non è del mondo : è di Dio, di Cristo, dello Spirito.. ”
(Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya menyampaikan pemikiran kecil, yang ada dalam lubuk hati saya yang paling dalam; sekedar pemikiran mengenai Gereja, misterinya yang bisa dikatakan membangun kebersamaan kita ini, dan alasannya serta kecintaan kita pada kehidupan ini. Saya sangat terbantu oleh ungkapan (teolog) Romano Guardini, yang beliau tulis tepat ketika Konsili Vatikan II sedang membahas Konstitusi Lumen Gentium. Secara pribadi saya memang sangat menyenangi Romano Guardini dan tulisan-tulisannya.
Kata Guardini: “Gereja bukan lembaga yang dirancang dan diciptakan dari meja. Gereja adalah kenyataan hidup. Gereja hidup sepanjang masa. Sebagaimana makhluk lain yang hidup, Gereja juga mengalami perubahan. Tetapi pada hakikatnya Gereja selalu sama, karena hatinya adalah Kristus. Gereja ada di dunia, tetapi tidak dari dunia. Gereja adalah milik Allah, milik Kristus dan dalam RohNya).
Cara menggereja: Seperti main orkes!
Jujur saja, di antara kita ada banyak pertanyaan mengapa Benedictus mundur.
Selama ini tidak pernah (dan nampaknya tak akan pernah) ada pernyataan resmi dari Vatikan menjawab issue-issue miring tentang Gereja dan pengaruhnya pada keputusan Paus. Bahwa gereja kita “diterpa badai” dan menghadapi banyak persoalan berat, Paus Benedictus pun mengakuinya.
“Secara khusus, pada hari Rabu Abu ini, saya ingin mengingat begitu banyak dosa perpecahan yang ada dalam Gereja kita,” kata Paus.
Karena itu, beberapa saat sebelum Paus meninggalkan Vatikan, seruan “persatuan” ia gemakan kembali di hadapan para Kardinal. Sebagai Gereja, kita semua mesti hidup dan berkarya seperti orkes!
Beda peran dan jenis musiknya, namun serasi menghasilkan nada-nada indah.
Kata Paus Benedictus XVI: “come un’orchestra, dove le diversità, espressione della Chiesa universale, concorrano sempre alla superiore e concorde armonia”. (Seperti orkes, di mana ada keragaman, ekspresi Gereja semesta juga semestinya berjalan dalam harmoni yang tinggi dan serasi).
Grazie Santo Padre!
Paus Benedictus XVI sekarang sudah mundur dari jabatannya.
Yang sudah ia berikan kepada Gereja sudah begitu banyak. Kita berterimakasih, pernah diberi Tuhan seorang pimpinan Gereja yang begitu total dan tak tanggung-tanggung mencintai Tuhan dan GerejaNya. Kita bersyukur memiliki Paus yang berotak brilian, yang cakap menjembatani pemahaman kita tentang Tuhan, Gereja dan bagaimana mesti hidup di zaman modern yang baginya nilai rohani tidak selalu menjadi nilai tinggi, yang mental “relativisme”-nya sangat kental.
Rasanya tidak elok kita ikut-ikutan mengecam dan menghujat Paus dan gereja yang kita cintai ini seperti begitu banyak fihak melakukannya, khususnya kepada para imam kita. Meski kita muak, marah dan ikut malu karena skandal-skandal yang terjadi dalam Gereja kita, Paus Benedictus XVI tak pernah lelah mengingatkan bahwa itu adalah Gereja Kristus yang dihadiri dan dicintaiNya.
Selama 17 hari, saya bersyukur boleh mendapatkan bahan retret yang bermutu dan sungguh mendalam dari Paus Benedictus XVI. “Dari tempat semedimu, doakanlah kami semua agar tak pernah lelah mencintai Tuhan dan gerejaNya, seperti teladanmu. Grazie Santo Padre!”
Photo credit: Ilustrasi (Ist)
Artikel terkait: